Etika Meminjam Dana Untuk Usaha Secara Islami | Dima Hafizul Ilmi



      Syari’ah islam sebagai suatu jalan yang dibawa oleh rasul terakhir, mempunyai keunikan tersendiri. Yakni bersifat menyeluruh, komperehensif dan universal yang merangkum seluruh aspek kehidupan, bukan hanya tentang ritual (ibadah) saja, melainkan terdapat sosial (mualamah) didalamnya. Yang bertujuan untuk menjadi rules of the game atau aturan main manusia dalam kehidupan sosial.
Dalam islam, manusia diwajibkan untuk berusaha agar ia mendapatkan rezeki guna memenuhi kebutuhan kehidpannya. Islam juga mengajarkan kepada manusia bahwa Allah maha pemurah sehingga rezekinya sangat luas. Bahkan, Allah tidak memberikan rezeki itu kepada kaum muslimin saja, tetapi kepada siapa saja yang berusaha dan bekerja keras.
Banyak ayat al-qur’an dan hadits nabi saw yang memerintahkan manusia untuk bekerja. Manusia dapat bekerja apa saja, yang terpenting dalam kategori halal dan tidak melanggar garis-garis yang telah di tentukan oleh allah (sesuai syariah). Ia bisa melakukan aktivitas produksi, seperti pertanian, perkebunan, peternakan, pengolahan makanan dan minuman, dan lain sebagainya. Ia juga dapat melakukan aktivitas distribusi, seperti perdagangan dalam bidang jasa, seperti jasa transportasi, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya.
untuk memulai usaha tersebut, pasti semua orang tidak hanya membutuhkan rancangan dan perencanaan tetapi juga butuh yang namanya modal, baik materil maupun non materil, seberapapun kecilnya. Nah untuk dapat mencari modal tidak mungkin semua orang mempunyai secara keseluruhan. Adakalanya orang mendapatkan modal dari simpananya atau dari keluarnya dan kerabatnya. Adapula yang meminjam kepada rekan dan teman-teman nya. Jika tidak tersedia, peran instusi keuangan lah yang akan menjadi jalan tempuh terakhir, oleh karena itu keberadaan nya sangat penting karena dapat menyediakan modal bagi orang yang ingin berusaha.


            Dalam islam, hubungan pinjam meminjam tidak dilarang (diperbolehkan), bahkan di anjurkan agar terjadi hubungan saling tolong menolong dan saling menguntungkan, dan pada akhirnya berakibat kepada hubungan persaudaraan. Namun ada hal-hal yang harus diperhatikan dalam hubungan tersebut, karena di dalam islam harus mengikuti aturan-aturan syariah yang telah di perintahkan oleh allah dalam al-qur’an dan yang telah di ajarkan oleh rasulullah dalam hadits nya. Oleh karena itu, pihak-pihak yang berhubungan harus mengikuti etika yang digariskan oleh islam.
      
Dalam perbankan syariah, sebenarnya penggunaan kata pinjam-meminjam kurang tepat digunakan disebabkan 2 hal :
1.      1. Pinjam meminjam merupakan salah satu metode hubungan finansial dalam islam. Masih banyak metode yang diajarkan oleh syariah selain pinjaman, seperti jual beli, bagi hasil, sewa, dan sebagainya. Karena di dalam perbankan islam fungsi lembaganya berstatus mitra dengan nasabah (peminjam). Tidak ada istilah debitur dan kreditur di dalamnya, yang ada hanyalah mudharib (pengelola dana) dan sohibul mal (penyedia dana)

2.      2. Dalam islam, pinjam meminjam adalah akad sosial dan bukanlah akad komersial. Artinya, apabila seseorang meminjam sesuatu, ia tidak boleh disyaratkan untuk memberikan tambahan atas pokok pinjamannya.
Hal ini berdasarkan hadis nabi saw yang mengatakan :

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا

Setiap pinjaman yang membawa manfaat keuntungan adalah riba.”
Sedangkan para ulama sepakat bahwa riba itu haram. Oleh sebab itu, dalam perbankan syariah, pinjaman tidak disebut kredit tetapi pembiyaan (financing)


       Jika seseorang datang kepada bank syariah atau perbankan islam dan ingin meminjam dana untuk membeli barang tertentu, mislakan mobil, rumah, motor, tanah, suka atau tidak ia harus melakukan jual beli dengan bank syari’ah. Disini, bank syariah bertindak selaku penjual dan nasabah bertindak sebagai pembeli. Jika bank memberikan pembiayaan atau pinjaman (dalam pengertian konvensional) kepada nasabah untuk membeli barang-barang itu, bank tidak boleh mengambil keuntungan dari pinjaman itu.
Sebagai lembaga komersial yang menghapuskan keuntungan, bank syariah tidak mungkin melakukannya. Karena itu, untuk mendapatkan dan memproleh laba agar lembaga perbankan islam tetap hidup dan berjalan, mereka pastilah harus melakukan jual beli, dimana bank syariah dapat mengambil keuntungan dari harga barang yang di jual dan keuntungan dari jual beli diperbolehkan dalam islam (Qs. al-Baqarah 275).

        Berbeda pula halnya dengan keperluan usaha seperti bertani. Dank dan petani dalam hal ini dapat menyepakati kerja sama yang saling menguntunkan bagi mereka. Biasanya ada dua pilihan, yaitu :
1      *Menggunakan skema ba’i as-salam
2      *Bagi hasil
     Jika menggunakan ba’i as-salam, bank bertindak sebagai pembeli dan petani sebagai penjual. Bank membeli gabah dari petani dengan harga, kualitas, dan kuantitas yang disepakati saat diserahkan pada waktu yang akan datang, misalnya tiga bulan atau enam bulan kedepan. Bank lalu mebayar sesudah dilakukan perjanjian (akad). Ketika jatuh tempo, petani berkewajiban untuk menyerahkan barang yang dibeli itu (gabah). Gabah itu bisa dijual lagi kepada pihak lain dan bank mendapat keuntungan darinya.
       Contoh lainnya adalah perdagangan. Karena dalam perdagangan umumnya ada perputaran dana, nasabah dapat mengajukan pembiyaan mudharabah. Bank dan nasabah dapat bagi hasil atau keuntungan dengan memperkirakan perputaran rata-rata omzet pada tiap bulannya.

Dengan penjelasan diatas, sudah tentulah pelaksanaan agama islam yang di yang diturunkan oleh allah swt dan dibawa oleh nabi saw tersebut bersifat way of life.

Posting Komentar

0 Komentar