Muthlaq dan Muqayyad

 MUTHLAQ DAN MUQAYYAD 

(Ulumul Qur’an) 

Oleh 

Nurcholish Ma’mum 

A. PENDAHULUAN 

    Al-Qur’an merupakan salah satu kitab Allah SWT yang diturunkan kepada utusan-Nya, yaitu Nabi Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril as. Secara istilah, Al-Qur’an sendiri memiliki pengertian yaitu kalam Allah yang mengandung mukjizat, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang tertulis di dalam mushaf, diriwayatkan terus menerus secara mutawatir, dan membacanya menjadi ibadah. Al-Qur’an merupakan kitab yang menjadi pedoman hidup bagi umat manusia. Oleh karena itu, kita perlu memahami nilai-nilai atau makna yang terkandung di dalam-Nya. Sementara itu, untuk memenuhi keinginan kita untuk mempelajari dan mendalami nilai-nilai yang terdapat di dalam Al-Qur’an, maka kita perlu mendalami apa yang kita kenal dengan ‘Ulumul Qur’an. Pengertian ‘Ulumul Qur’an menurut Manna’ al-Qaththan dalam kitabnya Mabahits Fii ‘Ulum al-Qur’an yang dikutip oleh Abdul Wahid dan Muhammad Zaini dalam buku mereka yang berjudul Pengantar ‘Ulumul Qur’an dan ‘Ulumul Hadis adalah ‘Ulumul Qur’an adalah suatu ilmu yang memuat berbagai pembahasan yang terkait dengan al-Qur’an dari segi mengetahui sebab-sebab turunnya, pengumpulannya, susunannya, mengetahui tentang makky dan madany, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, dan berbagai hal yang mempunyai hubungan dengan al-Qur’an. Berbicara mengenai Al-Qur’an, maka tidak terlepas dengan lafazh atau bacaan Al-Qur’an. Begitu juga dalam ‘Ulumul Qur’an, ada salah satu pembahasan mengenai lafazh dalam Al-Qur’an, yaitu pembahasan mengenai mutlaq dan muqayyad yang akan dibahas dalam tulisan ini. 

B. PEMBAHASAN 

    1. Pengertian Muthlaq dan Muqayyad 

a. Pengertian Muthlaq 

    Menurut M. Quraish Shihab dalam bukunya Kaidah Tafsir yang dikutip oleh M. Fauzil’Adzim dalam makalahnya yang berjudul Muthlaq dan Muqayyad, kata Muthlaq (مطلق) dari segi bahasa berarti “suatu yang dilepas/tidak terikat”. Dari akar kata yang sama lahir kata thalaq (talak), yakni lepasnya hubungan suami maupun istri sudah tidak saling terikat. 

 Pengertian muthlaq secara terminologi seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Sholeh al-Utsaimin yang dikutip oleh Agus Miswanto menerangkan bahwa muthlaq adalah lafaz yang menunjukan pada hakekat tanpa dikaitkan dengan suatu sifat tertentu. Sedangkan menurut Muhammad al-Amin al-Sinqithi yang dikutip oleh Agus Miswanto mengemukakan bahwa muthlaq adalah lafaz yang mencakup satu orang yang tidak dikenal karena pertimbangan realitas (hakekat) yang mencakup bagi jenis-nya. Dan ini adalah lafaz nakirah untuk konteks perintah. 

 Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa muthlaq adalah lafazh atau kata yang menunjukkan kepada suatu hal yang tidak terikat oleh suatu karakteristik tertentu. 

 b. Pengertian Muqayyad 

     Menurut M. Quraish Shihab dalam bukunya Kaidah Tafsir yang dikutip oleh M. Fauzil’Adzim dalam makalahnya yang berjudul Muthlaq dan Muqayyad, kata Muqayyad (مقيد) dari segi bahasa berarti “ikatan yang menghalangi sesuatu memiliki kebebasan gerak (terikat/mempunyai batasan)”. 

 Sedangkan secara terminologi seperti yang dikemukakan oleh T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy yang dikutip oleh M. Fauzil Adzim mengemukakan bahwa muqayyad adalah lafadz yang menunjuk kepada suatu benda atau beberapa anggota benda dengan ada suatu qayid. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Manna’ Khalil al-Qaththan bahwa muqayyad adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat dengan qayid (batasan). 

 Jadi dapat disimpulkan bahwa muqayyad adalah lafazh atau kata yang menunjukkan kepada suatu hal yang terikat oleh suatu yang memiliki batas atau karakteristik tertentu. 

 2. Macam-Macam Muthlaq dan Muqayyad 

     Nor Ichwan dalam bukunya Memahami Bahasa Al-Quran : Refleksi atas Persoalan Linguistik yang dikutip oleh Dewi Murni dalam tulisannya yang berjudul Muthlaq dan Muqayyad dalam Jurnal Syahadah Vol. VII mengemukakan bahwa sesuatu yang muncul secara mutlaq dalam teks Al-Quran akan tetap berada dalam status kemutlaqannya selama tidak ada teks lain yang melakukan pembatasan terhadap kemutlaqannya itu. Demikian juga sebaliknya, status teks yang muqayyad itu akan tetap dalam kemuqayyadannya. Artinya bahwa apabila terdapat teks yang bersifat mutlaq, kemudian ditemukan teks lain yang menqayyidkannya, maka statusnya akan berubah menjadi tidak mutlaq lagi. Apabila ada satu lafal di suatu tempat berbentuk muthlaq, sedangkan pada tempat yang lain berbentuk muqayyad maka ada beberapa kemungkinan dari ketentuannya antara lain: persamaan sebab dan hukum; sebabnya berbeda tetapi hukumnya sama; perbedaan hukum dan sebab; dan perbedaan hukumnya saja. 

a. Hukum dan sebabnya sama 

Jika sebab dan hukum yang ada dalam mutlaq sama dengan sebab dan hukum yang ada dalam muqayyad . Maka dalam hal ini hukum yang ditimbulkan oleh ayat yang mutlaq tadi harus ditarik atau dibawa kepada hukum ayat yang berbentuk muqayyad.  

Ayat mutlaq: Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan, yaitu:

 حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْر..... 

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah daging babi....” 

 Ayat Muqayyad: Surat al-AnAm ayat 145, dalam masalah yang sama yaitu “dam” (darah) yang diharamkan. 

قُلْ لآ اَجِدُ فِيْ مَا اُوْحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَّطْعَمُه، اِلاَّ اَنْ يَّكُوْنَ مَيْتَةً اَوْدَمًا مَّسْفُوْحًا ...... 

“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir.....” 

 Dari kedua ayat tersebut, sama-sama membahas mengenai darah yang diharamkan. Namun, ada perbedaan mengenai jenis darah yang diharamkan. Pada ayat muthlaq, darah yang dimaksud adalah seluruh jenis darah tanpa terkecuali, sedangkan pada ayat muqayyad, jenis darah yang diharamkan itu terbatas pada jenis darah yang mengalir. 

 Jika kita kembali kepada pernyataan bahwa Jika sebab dan hukum yang ada dalam mutlaq sama dengan sebab dan hukum yang ada dalam muqayyad. Maka dalam hal ini hukum yang ditimbulkan oleh ayat yang mutlaq tadi harus ditarik atau dibawa kepada hukum ayat yang berbentuk muqayyad. Maka permasalahan darah yang diharamkan pada QS. Al-Maidah : 3 ditarik hukumnya kepada QS. Al-An’am : 145 dan disimpulkan bahwa darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir. 

 b. Hukum berbeda dan sebabnya sama 

Jika sebab yang ada dalam mutlaq dan muqayyad sama tetapi hukum keduanya berbeda, maka dalam hal ini yang mutlaq tidak bisa ditarik kepada muqayyad. 

Ayat mutlaq : Surat al-Maidah ayat 6 tentang tayammum, yaitu:

 . . . . فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ . . . . 

“Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah.” 

 Ayat Muqayyad : Surat al-Maidah ayat 6 tentang wudhu’, yaitu:

 يَآيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلَوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ . . . . 

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.” 

Kedua ayat diatas, sama-sama menerangkan tentang keharusan bersuci sebelum mendirikan atau melaksanakan shalat. Tetapi terletak perbedaan pada media yang digunakan dan cara membasuh tangan, dimana ayat muthlaq menggunakan media tanah serta membasuh tangan tanpa adanya batasan tertentu sedangkan ayat muqayyad menggunakan media air dalam bersuci serta membasuh tangan dengan batasan hingga siku. 

Jika berkaca pada pernyataan sebelumnya, maka ketentuan menyapu tangan dengan tanah tidak bisa dipahami sampai siku, sebagaimana ketentuan wudhu’ yang mengharuskan membasuh tangan sampai siku. c. Hukumnya sama sedangkan sebabnya berbeda Dalam hal ini ada dua pendapat: 

 1) Menurut golongan Syafi’i, mutlaq dibawa kepada muqayyad. 

 2) Menurut golongan Hanafi dan Makiyah, mutlaq tetap pada tempatnya sendiri, tidak dibawa kepada muqayyad. Contoh mutlaq:

 وَالَّذِيْنَ يُظَهِرُوْنَ مِنْ نِسَاءِهِمْ ثُمَّ يَعُوْدُوْنَ لِمَا قَالُوْا فَتَحْرِيْرُرَقَبَةٍ مِّنْ قَبْلِ اَنْ يَّتَمَاسَّا .......

“Orang-orang yang menzihar isterinya kemudian mereka hendak menarik apa yang mereka ucapakan maka (wajib atasnya) memerdekakan hamba sahaya sebelum keduanya bercampur........” (Qs. al-Mujadalah: 3). 

 Contoh muqayyad

  ....... وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًاخَطَأً فَتَحْرِيْرُرَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ ...... 

“.... Barang siapa yang membunuh orang mukmin dengan tidak sengaja (karena kekeliruan) maka hendaklah membebaskan seorang hamba yang mukmin . . .”. (Qs. an-Nisa’: 92). 

 Kedua ayat diatas berisi hukum yang sama, yaitu pembebasan budak. Sedangkan sebabnya berbeda, yang ayat pertama karena zhahir dan yang ayat yang kedua karena pembunuhan yang sengaja. 

 d. Sebab dan hukum yang ada pada muthlaq berbeda dengan sebab dan hukum yang ada pada muqayyad 

Jika sebab dan hukum yang ada pada mutlaq berbeda dengan sebab dan hukum yang ada pada muqayyad, maka yang mutlak tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana yang muqayyad. Contoh dalam masalah tangan yang terdapat pada dua ayat namun tidak saling berhubungan. Pertama “tangan” secara mutlak di surat Al-Maidah ayat 38 : 

وَالسَّرِقُ وَالسَّرِقَةُ فَاقْطَعُوْا اَيْدِيَهُمَا . . . 

“Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan maka potonglah tangan mereka” (QS. Al-Maidah : 38) Kemudian dalam surat Al-Maidah ayat 6 juga ada tangan, tapi tidak saling terkait:

 يَآيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلَوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ . . . .

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.” (QS. Al-Maidah : 6) 

Pada ayat pertama ada kata tangan secara mutlaq, karena tidak dibatasi. Di ayat kedua juga ada tangan yang dibatasi (muqayyad) yaitu sampai siku. Namun antara keduanya tidak ada hubungan mutlaq dan muqayad, karena keduanya berbeda sebab dan berbeda hukum serta keduanya tetap dalam kedudukannya masing-masing. 

3. Urgensi Muthlaq dan Muqayyad 

    Dalam Penafsiran Al-Qur’an Hukum (al-hukm) secara bahasa (etimologi) berarti mencegah (المنع), memisahkan (الفصل), dan memutuskan (القضاء). Sementara itu, dari segi terminologi, Syaikh al-Utsaimin mengemukakan bahwa hukum adalah segala sesuatu yang telah ditentukan oleh khitab syarak (khitabullah) yang berhubungan dengan segala perbuatan orang-orang mukallaf melalui cara menuntut suatu perbuatan (thalab), memberikan pilihan (takhyir), atau penetapan keadaan. Dibalik itu, dalam penetapan hukum jika dilihat atau didasarkan pada segi lafazh, maka kaidah-kaidah yang terdapat dalam pembahasan muthlaq dan muqayyad merupakan salah satu bagian penting dalam memutuskan atau menentukan sebuah hukum, terlebih lagi yang terdapat didalam sumber dari segala hukum, yakni Al-Qur’an. Seperti yang terdapat dalam contoh-contoh yang telah terlampir, jelas menunjukkan bahwa muthlaq dan muqayyad menjadi bagian penting dalam merumuskan suatu hukum, contohnya pada kasus membasuh tangan yang memiliki perbedaan dalam dua keadaan bersuci, yakni berwudhu dan tayamum. Kemudian pada kasus darah yang diharamkan, secara muthlaq semua jenis darah diharamkan. Namun, secara muqayyad dibatasi dan akhirnya dirumuskan hukum bahwa darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir. 

 Dari berbagai uraian dan contoh serta gambaran diatas, maka dapat disimpulkan bahwa permasalahan mengenai muthlaq dan muqayyad menjadi penting untuk dibahas karena keduanya merupakan salah satu faktor penting dalam mengambil, merumuskan, dan menetapkan suatu hukum. 

 C. PENUTUP 

     Mutlaq adalah lafadz-lafaz yang menunjukkan suatu hakekat tanpa ada batasan (qayid) tertentu. Sedangkan muqayyad adalah lafadz-lafaz yang menunjukan suatu hakekat dengan ada batasan (qayid) tertentu. Lafadz mutlaq menjadi tidak terpakai jika ada lafadz muqayyad yang menjelaskan sebab dan hukum tersebut. Pembagian lafadz mutlaq dan muqayyad ada empat bentukbentuk yang realistis yaitu: sebab dan hukumnya sama, sebab sama namun hukum berbeda, sebab berbeda namun hukum sama, sebab dan hukum berbeda. 

DAFTAR PUSTAKA 

    Adzim, M. Fauzil. (2016). Makalah : Mutlaq dan Muqayyad. Salatiga: IAIN Salatiga. 

AS. Mudzakir. (1996). Studi Ilmu-Ilmu Qur'an. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa. 

   Khairuddin, Fiddian dan Syafril. (2015). Jurnal Syahadah Vol. III. No. 2, 83-96. 

   Mishabuddin. (2015). Buku Daras Ushul Fiqh II. Makassar: Alauddin Press. 

   Miswanto Agus. (2019). Ushul Fiqh : Metode Istinbath Hukum Islam. Bantul: Magnum Pustaka Utama. 

   Murni, Dewi. (2019). Mutlaq dan Muqoyyad. Jurnal Syahadah Vol. VII No. 1, 52-80

  Sarwat, Ahmad. (n.d.). Mutlak dan Muqayyad. Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing. 

   Suyuthi, Imam. (2009). Ulumul Qur'an II. Surakarta: Indiva Pustaka. 

   Wahid, Abdul dan Muhammad Zaini. (2016). Pengantar 'Ulumul Qur'an dan 'Ulumul Hadis. Banda Aceh: Yayasan PeNA.

Posting Komentar

0 Komentar