Memahami Ayat-ayat Kekerasan dalam Alqur’an
Yusraini Prodi Manajemen Pendidikan Islam
1. Radikalisme
Radikalisme berasal dari bahasa Latin, radix, yang berarti akar. Ia
adalah paham yang menghendaki adanya perubahan dan perombakan besar untuk
mencapai kemajuan. Radikalisme merupakan respons terhadap kondisi yang sedang
berlangsung yang muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan
perlawanan terhadap ide, asumsi, kelembagaan, atau nilai.
Secara sederhana, radikalisme memiliki empat karakteristik yaitu:
Pertama, sikap tidak toleran dan tidak mau menghargai pendapat atau keyakinan
orang lain. Kedua, sikap fanatik, yakni sikap yang membenarkan diri sendiri dan
menyalahkan orang lain. Ketiga, sikap eksklusif, yakni sikap tertutup dan
berusaha berbeda dengan kebiasaan orang banyak. Keempat, sikap revolusioner,
yakni kecendrungan untuk menggunakan kekerasan dalam mencapai tujuan.
Dalam Bahasa Arab, kekerasan dan radikalisme disebut dengan
beberapa istilah, antara lain al-‘unf, at-tatarruf, al-guluww, dan al-irhaab.
Abdullah an-Najjar mendefinisikan al-‘unf dengan penggunaan kekuatan secara
ilegal (main hakim sendiri) untuk melaksanakan kehendak dan pendapat. Kata
at-tatarruf berarti radikal, ekstrem dan berlebihan. Kata al-guluww berarti
berlebihan atau melampaui batas. Sedangkan al-irhaab sering digunakan untuk
menyebut terorisme. Pelakunya disebut irhabiyah. Sifat yang dimiliki oleh
mereka yang sering menempuh kekerasan dan menebar kecemasan untuk mewujudkan
tujuantujuan politik.
2. Akar Sejarah Radikalisme dalam Islam
Sejarah perilaku kekerasan dalam Islam, umumnya terjadi berkaitan
dengan persoalan politik, yang kemudian berdampak kepada agama sebagai simbol.
Hal ini adalah fakta sejarah yang tidak terbantahkan . Walaupun pembunuhan
terhadap khalifah telah terjadi ketika Khalifah Umar berkuasa. Namun, gerakan
radikalisme yang sistematis dan terorganisir baru dimulai setelah terjadinya
Perang Siffin di masa kekuasaan Ali bin Abi Thalib. Hal ini ditandai dengan
munculnya sebuah gerakan teologis radikal yang disebut dengan Khawarij. Secara
etimologis, kata Khawarij berasal dari Bahasa Arab, yaitu “Kharaja” yang
berarti keluar, muncul, timbul, atau memberontak. Dari pengertian tersebut
dapat juga dimaknai sebagai golongan orang Islam atau Muslim yang keluar dari
kesatuan Ummat Islam.
Dalam koteks teologi Islam, Khawarij berpedoman kepada kelompok
atau aliran kalam yang berasal dari kelompok Ali bin Abi Thalib yang kemudian
keluar dari barisannya, karena ketidaksetujuannya terhadap keputusan Ali yang
menerima perjajian damai dengan kelompok pemberontak Muawiyah bin Abi Sufyan
mengenai persengkataan kekuasaan (khalifah). Menurut kelompok Khawarij
keputusan yang diambil Ali adalah sikap yang salah yang menguntungkan pihak
pemberontak.
Jadi, Khawarij sebagai sebuah kelompok sempalan dalam Islam yang
berpikir radikal, merupakan sebuah bentuk yang lahir dari kekecewaan politik
terhadap keputusan yang merugikan kelompok Ali bin Abi Thalib. Akhirnya sebagian
dari pendukung Ali keluar, dan berpendapat ekstrim bahwa perang tersebut tidak
dapat diselesaikan dengan tahkim manusia. Tetapi putusan yang datang dari Allah
swt. dengan cara kembali kepada hukum yang ada di dalam alQur‟an dan Sunnah
Nabi saw. Semboyan mereka adalah La Hukma illa lillah (tidak ada hukum selain
hukum Allah). Mereka yang keluar dari kelompok Ali bin Abi Thalib ini, yang
kemudian menamakan dirinya golongan Khawarij memandang dan mencap bahwa Ali bin
Abi Thalib, Amir bin al-Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan Muawiyah serta yang
lainnya yang setuju atau menerima keputusan Ali adalah Kafir. Karena tidak
kembali ke al-Qur‟an dalam menyelesaikan pertikaian tersebut.
Persoalan kafir ini menjadi dasar awal persoalan teologis dalam
Islam, di mana kelompok khawarij adalah pendirinya. Karena mereka memadang
sahabat yang terlibat dalam persetujuan itu adalah kafir, maka berarti mereka
diklaim keluar dari Islam (murtad), dan karena itu halal darahnya untuk
dibunuh. Akhirnya, sebagaimana terbukti dalam sejarah, akhirnya Khalifah Ali
bin Abi Thalib berhasil dibunuh.
3. Memahami Ayat-ayat Kekerasan dalam Alqur’an
Ayat-ayat al-Qur’an yang sering kali disalahpahami dan dijadikan
dalil bagi tindakan-tindakan radikal adalah ayat-ayat jihad dan ayat-ayat
perang. Karena itu, menjadi penting untuk memahami ayat-ayat tersebut sesuai
dengan konteks dan maksud pensyariatannya. Berikut ini akan diuraikan tentang
kedua kelompok ayat tersebut.
a. Ayat-ayat Jihad
Bagi sebagian kelompok, jihad terkadang diartikan sebagai perang
melawan musuh Islam, sehingga tindakan kekerasan terhadap segala sesuatu yang
dianggap musuh Islam, merupakan perbuatan jihad yang mulia. Akibatnya, kata
jihad menjadi sesuatu yang mengerikan dan mengakibatkan Islam menjadi tertuduh.
Islam dipandang oleh orang di luar Islam dan Barat sebagai agama teroris.
Sehingga, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa istilah jihad merupakan salah
satu konsepsi Islam yang paling sering disalahpahami, khususnya dikalangan Para
Ahli dan Pengamat Barat. Padahal, jika kita telusuri kata jihad dalam al-Qur’an
sebagaimana akan dijelaskan dalam paparan berikut berbeda dengan radikalisme
dan peperangan.
Menurut Seyyed Hossein Nasr, dari 36 ayat al-Qur’an mengandung
sekitar 39 kata ja-ha-da dengan berbagai macamnya, tidak lebih dari 10 ayat
yang terkait dengan perang. Selebihnya kata tersebut merujuk pada segala
aktivitas lahir dan batin, serta upaya intens dalam rangka menghadirkan
kehendak Allah di muka bumi yang pada dasarnya merupakan pengembangan
nilai-nilai moralitas luhur, dari mulai penegakan keadilan hingga kedamaian dan
kesejahteraan umat manusia.
1) Pengertian Jihad
Menurut Ibnu Manzur, kata jihad berarti berusaha sungguh-sungguh
dengan mencurahkan jerih payah dalam rangka melaksanakan perintah Allah,
berjuang. Menurut ar-ragib al-Asfahani, jihad adalah upaya mengerahkan segala upaya
untuk mengalahkan musuh. Menurut Yusuf Qardhawi, jihad adalah ketika seorang
muslim mencurahkan usahanya untuk melawan keburukan dan kebatilan dimulai
dengan jihad terhadap keburukan yang ada di dalam dirinya dalam bentuk godaan
setan, dilanjutkan dengan melawan keburukan di sekitar masyarakat, dan berakhir
dengan melawan keburukan dimanapun sesuai dengan kemampuan. Karena itu,
al-Asfahani membagi jihad ke dalam tiga macam, yaitu :
- Mengahadapi
musuh yang nyata
- Menghadapi
setan
- Menghadapi
nafsu yang terdapat dalam setiap orang
2) Cara Melaksanakan Jihad sesuai dengan Ajaran Islam
Al-qur‟an menegaskan dua cara untuk melaksanakan jihad di jalan
Allah, yakni dengan harta (maal, amwaad) dan jiwa (nafs, anfus). Jihad dengan
harta bisa disalurkan melalui wakaf, infaq, sedekah ataupun program
penggalangan dana untuk berbagai kepentingan ummat. Sedangkan kata nafs dalm
konteks jihad dipahami dalam makna totalitas manusia, yang mencakup nyawa,
emosi, pikiran, pengetahuan, tenaga, waktu, dan tempat yang terkaitdengannya.
Seperti dalam potongan ayat Q.S. al-Hajj (22) : 78
Artinya : “ dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang
sebenarbenarnya.....” (Q.S. al-Hajj(22)
: 78)
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan untuk melakukan jihad yang
sesungguhnya yakni berjihad sesuai dengan kemampuan dan sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan ajaran Islam bukan hanya berperang. Menurut
Quraish Shihab, kesalahpahaman jihad yang lebih dimaknai sebagai perjuangan
fisik, antara lain diakibatkan oleh terjemahan yang kurang tepat atas ayat-ayat
al-Qur’an yang berbicara jihad dengan anfus, di mana kata anfus sering
diterjemahkan sebagai jiwa (nyawa) yang kemudian dikesankan sebagai pengorbanan
nyawa (fisik) saja. Dengan dimikian memaknai jihad dalam pengertian perjuangan
fisik atau perlawanan senjata adalah keliru. Apalagi jika melihat penggunaan
kata tersebut dalam al-Qur’an. Ayat-ayat tentang jihad sudah turun sejak Nabi
saw. berada di Mekah, jauh sebelum turunnya perintah perang dan adanya izin
mengangkat senjata untuk membela diri dan agama.
Secara garis besar Jihad meliputi enam komponen. Yaitu :
- Tujuan jihad adalah mewujudkan ide-ide Islam dalam al-Qur‟an dan asSunnah yakni tegaknya kalimah Allah.
- Pelaku jihad adalah Nabi Muhammad saw. dan Kaum Mukmin.
- Sarana jihad adalah harta dan jiwa.
- Sasaran jihad adalah musuh-musuh Allah yang tampak atau nyata seperti orang-rang Kafir, Musyrik, Munafik, dan para pelaku kejahatan, ataupun musuh yang tak tampak, yakni setan dan hawa nafsu.
- Imbalan jihad adalah memperoleh kebaikan, kemenangan dan kemuliaan di dunia dan Surga penuh kebahagiaan di akhirat.
- Sanksi bagi yang tidak berjihad adalah neraka.
b. Ayat-ayat Perang
Selain ayat-ayat jihad, ayat-ayat yang kerap kali dijadikan dasar
pengembangan stereotype untuk mengidentifikasi Islam sebagai agama prokekerasan
dan mendukung aksi terorisme adalah ayat-ayat perang. Karena itu dalam paparan
berikut ini ayat-ayat tersebut akan dikaji sesuai dengan konteks dan maknanya
dalam perspektif al-Qur‟an. Beberapa ayat perang adalah sebagai berikut:
Q.S. al-Hajj (22) : 39
Artinya : “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang
diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah,
benarbenar Maha Kuasa menolong mereka.” (Q.S. al-Hajj (22) : 39 )
Ayat ini adalah ayat pertama kali yang turun terkait dengan
perintah perang dalam Islam, setelah selama lebih dari sepuluh tahun di Mekah ,
Kaum Muslim dianiaya. Sebelum diizinkan berperang mereka diperintahkan untuk
menahan diri dan tetap bersabar dan berteguh hati. Setelah kaum muslim terusir
dari kampung halaman mereka dan orang-orang yang tetap tinggal bahkan mengalami
perlakuan yang lebih kejam, barulah Allah mengizinkan mereka untuk berperang.
Akan tetapi, sebagaimana dikemukakan Syalabi, siapa yang mendalami ayat
tersebut akan melihat bahwa Islam sebenarnya tidaklah mmenginginkan peperangan.
Ini bisa dilihat dari penggunaan kata kerja pada awal ayat yang menggunakan
kata uzina dimana pelaku atau fail nya yang dalam hal ini Allah sembunyikan.
Ini menggambarkan betapa Allah tidak senang dengan peperangan.
Q.S. al-Baqarah (2) : 216
Artinya: “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu
adalah sesuatu yang kamu benci....”
Secara fitrah, manusia memeang cenderung tidak menyukai perang dan
kekerasan. Karenanya, ketika ayat ini turun, ada kaum muslim yang belum cukup
yakin dengan ayat ini untuk dijadikan alasan melakukan peperangan. Dari sini
maka hubungan Islam dengan dunia luar dibangun atas dasar perdamaian. Namun,
dalam kondisi tertentu, seperti ada pihak yang memerangi Islam dan mengganggu
agama, maka perang pun dibenarkan.
Q.S. al-Baqarah (2) : 190
Artinya : “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi
kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang yang melampaui batas.” (Q.S. al-Baqarah (2) : 190)
Setelah Q.S. al-Baqarah (2) : 190 tersebut, kemudian Allah
menurunkan ayat yang menegaskan tentang diperbolehkannya perang sebagai penguat
ayat diatas. Pemberian izin perang dalam ayat ini tidaklah mutlak, melainkan
bersyarat bahwa peperangan itu dilakukan kepada orang yang memerangi saja dan
tidak melampaui batas.
1) Pengertian Perang
Secara bahasa, qitaal bermakna melenyapkan ruh atau kehidupan dari
tubuh seseorang. Menurut al-Qur’an, perang merupakan alternatif terakhir dari
berbagai pilihan yang harus diupayakan dalam mewujudkan perdamaian yang
merupakan pesan esensial al-Qur’an. Ketika perdamaian ini ada yang mengganggu
dan tidak dihargai dan ketika kaum Muslim didzalimi, maka Allah mengizinkan
Kaum Muslim untuk memeranginya. Ia semacam pintu darurat yang hanya diizinkan dalam kondisi tertentu.
2) Etika Berperang dalam Islam
Syekh Ali Jumu’ah, Mufti Agung Mesir, menyebutkan enam syarat dan
etika perang dalam Islam yang membedakannya dengan terorisme, yakni :
- Cara dan tujuannya jelas dan mulia.
- Perang
hanya dibolehkan terhadap pasukan yang memerangi, bukan penduduk sipil.
- Perang
harus dihentikan bila pihak lawan telah menyerah dan memilih perdamaian.
- Melindungi
tawanan perang dan memperlakukannya secara manusiawi.
- Memelihara
lingkungan, antara lain tidak membunuh binatang tanpa alasan, membakar pohon,
merusak tanaman, mencemari air dan sumur, dan merusak rumah atau bangunan.
- Menjaga
hak kebebasan beragama para agamawan dan pendeta dengan tidak melukai.
5. Menganalisis Ayat-ayat Kekerasan dalam Alqur’an
Dalam potongan Q.S. al-Hajj (22) ayat 78, telah memerintahkan untuk
berjihad dengan sebenar-benarnya jihad. Dalam jihad bukan hanya dengan cara
berperang namun ada cara lain yang dapat kita lakukan yang masih dapat kita
aplikasikan dalam kehidupan saat ini. Yaitu : Jihad dengan hati artinya
berpegang teguh dan istiqamah mengajak menegakkan Islam. Contohnya : Menolak
diajak pacaran karena memang dalam Islam tidak mengajarkan demikian. Jihad dengan
argumentasi artinya memberikan argumentasi pada yang batil. Contohnya :
Memberikan argumentasi kepada seseorang saat diajak pacaran, “maaf, daripada
aku nabung dosa dengan pacaran, mending kamu pergi. Kalau serius kenapa tidak
mengajak menikah saja?”. Jihad dengan penjelasan artinya menjelaskan kebenaran,
menghilangkan ketidakjelasan, serta memberikan pemikiran yang bermanfaat untuk
ummat. Contohnya : Mengajak diri dan lingkungan untuk membiasakan diri membuang
sampah pada tempatnya. Jihad dengan tubuh artinya berperang. Sesuai dengan Q.S.
al-Hajj (22) ayat 39 dan Q.S. al-Baqarah (2) ayat 190 dan ayat 216. Yang
mengizinkan perang dengan ketentuan-ketentuan yang ada. Contohnya : Perang yang
sampai saat ini belum usai, di Palestina, Suriah, Rohingya, dll. Perang yang
dihadapi saudara muslim kita di berbagai Negara tersebut merupakan salah satu
bentuk jihad untuk terus menegakkan kalimat Allah.
0 Komentar