Memahami Orientasi Keseimbangan Hidup l Nasrullah

Picture by : www.nu.or.id

Dalam kehidupan ini terdapat dua dimensi hidup yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya, yaitu; dimensi duniawi dan dimensi ukhrawi. Dimensi duniawi adalah suatu ranah kehidupan aktual dan riil yang dilalui dan dijalani dalam kehidupan sadar manusia. Sedangkan dimensi ukhrawi adalah suatu ranah kehidupan pasca kehidupan manusia setalah meninggalkan tugas di dunia yang diukur dalam perspektif eskatologis-spritualistik.
Kedua dimensi itu dalam ajaran agama mesti harus diseimbangkan. Karena keduanya, walaupun merupakan suatu bentuk oposisi biner dalam bingkai hukum kepasangan, akan tetapi idealnya bukan lah saling menegasikan. Namun, justru harus disinergikan satu dengan lainnya. Sebab, dimensi ukhrawi tidak akan bermakna dalam kalkulasinya, jika dimensi dunia nihil adanya.  Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa, “dunia adalah ladang amal akhirat”.   Jadi, aktifitas dunia juga menjadi penting sebagai parameter untuk dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Jika baik amalnya niscaya baik juga balasannya, Tapi, jika sebaliknya, yakni buruk amalnya di dunia, maka buruk juga akibat balasannya.
Orientasi hidup manusia seyogyanya harus disandarkan pada kesadaran akan keduanya yang terhunjam dalam kehadiran eksistensial kemanusiaannnya. Sebab, jika manusia tidak menyadarinya, maka bisa dipastikan ia akan mengalami dis-orientasi hidup, tidak bisa mengetahui hakikat hidup; untuk apa ia hidup dan apa tujuan ia hidup di dunia ini?
Pertanyaan ontologis yang sangat fundamental  di atas harus lah dijawab oleh manusia itu sendiri. Masing-masing pribadi barangkali akan mengalami pengalaman yang berbeda-beda dalam mencari, menjalani, atau menemukan kebenaran hakikat hidupnya. Tidak jarang peristiwa perjalanan jiwa dan batin dalam mencari kebenaran itu berlangsung dramatis dan memakan waktu yang lama, bahkan harus ditempuh dengan kontemplasi yang sungguh-sungguh.
Dengan modalitas kesungguhan, riyadhah yang kontinyu serta tentunya didahului oleh proses belajar (ta’allum), maka perlahan-lahan pertanyaan itu bisa dijawab sendiri oleh insan tersebut. Tidak sedikit jumlahnya bisa dilihat faktanya dalam kehidupan maupun bisa dibaca dalam buku-buku yang menuturkan tentang sebuah pengalaman spiritual seseorang, terjadinya konversi atau peralihan sikap hidup manusia dalam memaknai hidup ini. Dari semula ia hidup dengan sikap yang glamor, bejat, zalim, sadis, koruptif dan lain sebagainya, kemudian ia tersadar seraya mengakui penyesalan disertai pengakuan bahwa yang ia lakukan telah menyalahi hakikat dan tujuan hidup ini.
Dalam kontemplasi yang dilakukan, akhirnya ia menemukan seberkas cahaya kebenaran hidayah, bahwa sesungguhnya hakikat hidup itu adalah mengabdi-beribadah semata-mata kepada Allah SWT., sebagaimana tertuang dalam firman-Nya, “tidaklah Aku jadikan jin dan manusia kecuali agar beribadah kepada-Ku”. Adapun di antara tujuan hidup di dunia ini adalah, ia meyakini bahwa manusia harus mengimplementasikan lewat dirinya sifat Rahman dan Rahim Allah SWT. kepada manusia lainnya dan alam di muka bumi ini. Dalam hal ini, selalu ia berusaha dan bertekad ingin meneladani pribadi Nabi Muhammad SAW.. yang diutus di dunia ini sebagai Rasul untuk menjadi rahmatan lil ‘alamin, menebarkan sikap dan rasa kasih sayang tulus tanpa pencitraan kepada semua ummat, bukan menebar kebencian dan permusuhan kepada sesama.
Dengan pemahaman manusia yang seimbang antara domain kehidupan dunia yang hakikatnya harus diisi dengan ibadah dan amal shaleh serta aktifitas manfaat lainnya, dengan pemahaman yang seimbang pula tentang domain kehidupan ukhrawi sebagai tempat hidup abadi dan tempat pembalasan amal selama hidup manusia setelah mati, kiranya bisa membawa manusia kepada keyakinan tentang orientasi makna  hidup yang sebenarnya. Semoga.

Nasrullah, Staf Pengajar FIAI UNISI dan PP. Jilussalamah al-Islami Tembilahan



Posting Komentar

0 Komentar