![]() |
Picture by : www.nu.or.id |
Dalam
kehidupan ini terdapat dua dimensi hidup yang tidak bisa dipisahkan satu dengan
yang lainnya, yaitu; dimensi duniawi dan dimensi ukhrawi. Dimensi duniawi
adalah suatu ranah kehidupan aktual dan riil yang dilalui dan dijalani dalam
kehidupan sadar manusia. Sedangkan dimensi ukhrawi adalah suatu ranah kehidupan
pasca kehidupan manusia setalah meninggalkan tugas di dunia yang diukur dalam
perspektif eskatologis-spritualistik.
Kedua
dimensi itu dalam ajaran agama mesti harus diseimbangkan. Karena keduanya, walaupun
merupakan suatu bentuk oposisi biner dalam bingkai hukum kepasangan, akan
tetapi idealnya bukan lah saling menegasikan. Namun, justru harus disinergikan
satu dengan lainnya. Sebab, dimensi ukhrawi tidak akan bermakna dalam
kalkulasinya, jika dimensi dunia nihil adanya.
Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa, “dunia adalah ladang amal akhirat”.
Jadi, aktifitas dunia juga
menjadi penting sebagai parameter untuk dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.
Jika baik amalnya niscaya baik juga balasannya, Tapi, jika sebaliknya, yakni
buruk amalnya di dunia, maka buruk juga akibat balasannya.
Orientasi
hidup manusia seyogyanya harus disandarkan pada kesadaran akan keduanya yang
terhunjam dalam kehadiran eksistensial kemanusiaannnya. Sebab, jika manusia
tidak menyadarinya, maka bisa dipastikan ia akan mengalami dis-orientasi hidup,
tidak bisa mengetahui hakikat hidup; untuk apa ia hidup dan apa tujuan ia hidup
di dunia ini?
Pertanyaan
ontologis yang sangat fundamental di
atas harus lah dijawab oleh manusia itu sendiri. Masing-masing pribadi
barangkali akan mengalami pengalaman yang berbeda-beda dalam mencari,
menjalani, atau menemukan kebenaran hakikat hidupnya. Tidak jarang peristiwa perjalanan
jiwa dan batin dalam mencari kebenaran itu berlangsung dramatis dan memakan
waktu yang lama, bahkan harus ditempuh dengan kontemplasi yang sungguh-sungguh.
Dengan
modalitas kesungguhan, riyadhah yang
kontinyu serta tentunya didahului oleh proses belajar (ta’allum), maka
perlahan-lahan pertanyaan itu bisa dijawab sendiri oleh insan tersebut. Tidak
sedikit jumlahnya bisa dilihat faktanya dalam kehidupan maupun bisa dibaca
dalam buku-buku yang menuturkan tentang sebuah pengalaman spiritual seseorang, terjadinya
konversi atau peralihan sikap hidup manusia dalam memaknai hidup ini. Dari
semula ia hidup dengan sikap yang glamor, bejat, zalim, sadis, koruptif dan
lain sebagainya, kemudian ia tersadar seraya mengakui penyesalan disertai
pengakuan bahwa yang ia lakukan telah menyalahi hakikat dan tujuan hidup ini.
Dalam
kontemplasi yang dilakukan, akhirnya ia menemukan seberkas cahaya kebenaran
hidayah, bahwa sesungguhnya hakikat hidup itu adalah mengabdi-beribadah
semata-mata kepada Allah SWT., sebagaimana tertuang dalam firman-Nya, “tidaklah Aku jadikan jin dan manusia
kecuali agar beribadah kepada-Ku”. Adapun di antara tujuan hidup di dunia
ini adalah, ia meyakini bahwa manusia harus mengimplementasikan lewat dirinya sifat
Rahman dan Rahim Allah SWT. kepada manusia lainnya dan alam di muka bumi ini.
Dalam hal ini, selalu ia berusaha dan bertekad ingin meneladani pribadi Nabi
Muhammad SAW.. yang diutus di dunia ini sebagai Rasul untuk menjadi rahmatan lil ‘alamin, menebarkan sikap
dan rasa kasih sayang tulus tanpa pencitraan kepada semua ummat, bukan menebar
kebencian dan permusuhan kepada sesama.
Dengan
pemahaman manusia yang seimbang antara domain kehidupan dunia yang hakikatnya
harus diisi dengan ibadah dan amal shaleh serta aktifitas manfaat lainnya, dengan
pemahaman yang seimbang pula tentang domain kehidupan ukhrawi sebagai tempat
hidup abadi dan tempat pembalasan amal selama hidup manusia setelah mati, kiranya
bisa membawa manusia kepada keyakinan tentang orientasi makna hidup yang sebenarnya. Semoga.
Nasrullah,
Staf Pengajar FIAI UNISI dan
PP. Jilussalamah al-Islami Tembilahan
0 Komentar