![]() |
Pictur by : https://www.riauonline.co.id/ |
Artikel ini pada awalnya adalah suatu kesan dan refleksi dari
pengamatan partisipatoris langsung penulis menghadiri beberapa tahun acara haul
Tuan Guru Abdurrahman Shiddiq Al-Banjari (selanjutnya untuk kepentingan
keringkasan, disebut “Tuan Guru” atau “Beliau” saja) yang rutin digelar
setiap tahun, di hari ke-4 setiap bulan Sya’ban tahun Hijriah, bertepatan hari
wafatnya Beliau. Dengan harapan kesan atau refleksi tersebut tidak “menguap”
begitu saja, namun bisa terpahat dalam tulisan sederhana ini, yang semoga saja
bisa bernilai suatu bagian kecil tambahaan pengetahuan mengenai sosok
Beliau, yang dikenal juga dengan Tuan Guru Sapat itu-sekaligus harapan
bisa menjadi suatu bagian refleksi yang semoga bermanfaat buat kita dan untuk
masyarakat secara luas dalam mengambil pelajaraan dan keberkahan dari sosok
ulama kharismatik ini.
Haul
Sebagai Tradisi
Dalam tradisi Ahlussunnah wal-Jama’ah, khususnya di
Nusantara, haul atau peringatan siklus tahunan memperingati wafatnya seorang
ulama/tokoh/sesepuh adalah suatu yang tidak terpisahkan dalam fenomena
kesadaran keagamaan. Memperingatinya diyakini sebagai suatu yang boleh (mubah)
bahkan dianjurkan dilakukan, sebagai bentuk penghormatan (ihtiram/ta’zhim) dan
tabarrukan atas jasa dan amal baik seseorang yang diperingati, sekaligus juga
point penting dari peringatan tersebut adalah sebagai bentuk penyadaran akan
suatu kematian (zikr al-maut) sebagai fase akhir hidup di dunia fana ini, yang
tidak terelakkan oleh siapapun. Makanya pada bagian rangkaian acara
tersebut, di mulai terlebih dahulu dengan ziarah kubur lalu dilanjutkan
kemudian secara berjama’ah pembacaan ayat-ayat al-Qur’an, shalawat, do’a,
tahlil, serta pembacaan manaqib atau riwayat hidup sang tokoh bersamaan dengan
penyampaian bentuk-bentuk keteladanan hidup yang bisa diharapkan untuk diikuti.
Pada haul Tuan Guru yang digelar setiap tahun, rangkaian
acara di atas sudah merupakan bagian inheren yang tidak terpisahkan. Bahkan,
acara itu juga dijadikan sarana pertemuan (multaqo) , baik bagi para zuriyat
Beliau maupun bagi masyarakat luas dan para tokoh ulama’ dan umara’ dalam
membangun sillaturrahmi satu sama lain. Berkaca dari fakta kegiatan serta
respon masyarakat yang nampak dalam setiap haul yang diadakan, sebagaimana
pengamatan penulis, justru di situlah bisa dilihat dan disaksikan suatu
kebesaran dan kemuliaan (karamah) dalam diri Tuan Guru. Betapa tidak,
dari tahun ke tahun jumlah kedatangan para tamu dan jemputan selalu
bertambah, ribuan orang bahkan hingga puluhan ribu secara kumulatif
yang datang pada hari pra maupun hari H, baik yang datang dari wilayah
Riau, Kepri, Jambi, Kalimantan (bagian Selatan-Timur-Tengah), Bangka-Belitung,
bahkan dari negari jiran, Singapura dan Malaysia. Belum lagi jika dimasukkan
faktor jumlah kunjungan para peziarah yang setiap hari semakin ramai datang ke
makam Beliau. Padahal menjadi maklum adanya, makam dan tempat acara itu
terletak di suatu kampung dengan akses yang cukup sulit dan medan perjalanan
yang lumayan “menantang.”
Belajar dari figur Tuan Guru dalam mengais keteladanan dalam
kehidupan bagi generasi sekarang dan akan datang, sungguh sangat banyak
yang bisa dipetik. Tunjuk ajar yang diajarkan juga banyak sekali bisa
diamalkan, baik informasi lisan berasal dari zuriyat, murid-murid Beliau maupun
yang tertera dalam karya-karyanya berupa kitab-kitab, syair-syair atau risalah
tulisan tangan berisi nasihat-nasihat Beliau. Jadi, dalam kesempatan tulisan
sederhana ini, penulis hanya menyampaikan ada dua faktor penting, yang perlu
direnungkan dan diteladani oleh kita berkaca dari Beliau.
Ikhlas
Sebagai Spirit Perjuangan
Untuk melihat kebesaran dan kemuliaan Beliau tersebut, ada
baiknya ditilik dulu secara historis keberadaan Tuan Guru di
Indragiri. Diperkirakan Beliau tiba di wilayah Indragiri, tepatnya di Sapat,
Kuala Indragiri pada tahun 1908 an, setelah sebelumnya menetap dan
berdakwah selama 15 tahun di Pulau Bangka. Daerah Indragiri adalah wilayah
dakwah dan pengabdian sosial keagamaan ke-dua dalam sejarah hidupnya. Di daerah
Sapat, Beliau mulai dikenal sebagai ulama, dan kemudian secara intensif
membuka daerah baru-sekitar 2 KM ke Barat dan ke dalam, yang kemudian
dinamai Sapat Dalam atau Kampung Hidayat, untuk membangun mesjid, majelis ilmu,
pemukiman santri, dan bersama-sama masyarakat membuka perkebunan kelapa.
Di kampung inilah kegiatan dakwah dan keulamaan Beliau
dijalankan. Yang menarik dalam mengelola pendidikan yang diasuhnya, bahwa
segala keperluan dan fasilitas bagi para santri/murid mulai dari pondokan dan
makannya serta hal-lainnya, semua menjadi tanggung jawab Beliau, alias tanpa
biaya/gratis. Tidak ada pungutan dari para murid dan tiada gaji/honor yang
Beliau terima. Fenomena mengajar dan berdakwah serupa dengan atau tanpa bayaran
dan gaji ini juga sebelumnya telah diterapkannya selama di Pulau Bangka. Untuk
mencukupi keperluan itu semua Beliau berusaha mencari dana sendiri, tanpa meminta
kepada siapa pun, dengan cara berdagang dan berkebun kelapa, yang kemudian
dibagi hasilnya-sebagian untuk kebutuhan keluarga besarnya, sebagian untuk
kebutuhan lembaga pendidikan dan sebagian lagi untuk kepentingan ummat.
Termasuk juga bentuk pengabdian tanpa pamrih yang Beliau
lakukan ialah, tidak mengambil gaji dalam jabatan Mufti (Penasihat dan Pengawas
bidang keagamaan) Kerajaan Indragiri yang diemban selama 27 tahun (mengundurkan
diri karena uzur/usia pada 1 Muharram 1354 H). Bahkan Tuan Guru sendiri
menyatakan, walaupun Ia diangkat sebagai mufti, akan tetapi jabatan itu tidak
ia anggap sebagai suatu yang istimewa, di mana hak-hak warga sipil pada
galibnya, tetap ia patuhi-seperti membayar pajak (belasting) dan tidak ada
fasilitas yang dinikmati secara khusus. Pun tentunya untuk kepentingan tugas
lembaga ke-mufti-an, seperti menulis dan membalas surat permohonan fatwa dan
konseling keagamaan dan sekalian menampung penginapan serta
menanggung makan-minum warga yang berkonsultasi langsung ke kediaman
Beliau di Hidayat, tetap memakai biaya pribadi bukan anggaran kesultanan. Fakta
dan data tentang hal di atas bisa dilihat di surat testimoni pada point-point
alasan pengunduran Beliau dari jabatan mufti terutama karena alasan usia dan
kesehatan yang langsung ditanda tangani sendiri oleh Beliau tertanggal 1
Muharram 1354 H.
Menurut Tuan Guru, perihal menjelaskan tentang
argumen agar hendaknya guru/ulama/da’i tersebut harus berbuat ikhlas dalam
tugasnya (penulis dapatkan berdasarkan sebuah catatan tulisan tangan Beliau)-
bahwa salah satu adab yang utama bagi aktivitas mengajar agama dan
berdakwah harus lah dimotivasi oleh prinsip keikhlasan sebagai kunci
perjuangannya, bukan karena didasari suatu niat lain, demi jabatan, kehormatan,
uang dan tujuan duniawi apapun. Akan tetapi, mengajar atau berdakwah harus
diasaskan pada komitmen pengabdian yang tulus, dan bukan juga dinilai sebagai
suatu profesi/pekerjaan yang berdampak pada tuntutan bayaran.
Maka, jika seseorang ulama/da’i berlandaskan niat perjuangan
untuk agama pada motif keikhlasan atas semua yang dilakukan, apalagi dalam
mengajar dan berdakwah, maka ia sesungguhnya telah ber-adab (mengikuti jalan
akhlak) sebagaimana perilaku para Nabi dan ulama-ulama yang sholeh, dan akan
memperoleh ganjaran keberkahan dan manfaat yang melebihi dari lainnya. Pada
konteks kekinian, ajaran untuk ikhlas dalam dakwah dan mengajar agama ini,
tentunya bisa menjadi otokritik bagi para ulama/da’i yang tengah menjalani hal
serupa sebagaimana Tuan Guru dahulu, kemudian direnungkan agar bisa berniat
mengajar dan berdakwah pada motif yang semestinya diajarkan ini.
Istiqamah
dalam Kiprah Keulamaan
Kehadiran Tuan Guru di Indragiri selama kurang
lebih 30-an dengan segala peran dan kiprah keulamaannya, telah diakui
kontribusinya bagi pengembangan ilmu dan kehidupan sosial keagamaan, bahkan
ekonomi keummatan. Dibukanya Kampung Hidayat sebagai basis lembaga pendidikan
Islam pertama di Indragiri, telah menyedot animo masyarakat untuk datang
menuntut ilmu sewaktu Beliau hidup. Figur sebagai ulama yang istiqamah dalam
mendidik masyarakat baik dalam transformasi keilmuan maupun dalam tuntunan
aspek akhlak dan spritualitas, telah dilakoni. Tuan Guru diakui
kapasitasnya sebagai guru dan pendidik yang disegani oleh para murid dan masyarakat
dan selalu menerima segala kalangan dari dan siapa pun untuk belajar padanya.
Beliau dengan senang hati menerima tamu maupun santri yang berkunjung maupun
mengaji. Sosok Tuan Guru menjadi sentral sebagai ikon terdidik yang
berpengetahuan luas dalam persoalan agama di Indragiri pada awal Abad
20-an.
Atas alasan ini lah, Sultan Mahmud Syah dari Kerajaan
Indragiri yang berkedudukan di Rengat, mengangkat Beliau menjadi mufti setelah
diminta seraya terus sambil membujuk. Dengan pertimbangan menjaga agama
(hirasah ad-din) serta kemaslahatan masyarakat dalam bimbingan ajaran agama,
Beliau akhirnya mengiyakan permintaan Sultan tersebut dengan syarat tetap
berada di Hidayat membimbing santri dan pengajian kepada masyarakat dan tidak
mau digaji dari jabatan mufti itu. Dalam kapasitas sebagai mufti pun
dijalaninya dengan penuh pengabdian tanpa terkait kepentingan, karena
sebagaimana disinggung di atas, Beliau hanya menjalankan tanggung jawab
membimbing masyarakat dalam masalah keagamaan, dengan tidak mengharap apa-apa
dari jabatan tersebut. Artinya, melalui sikap istiqamah dan terpuji ini, harkat
dan marwah seorang ulama selalu tetap terjaga, dengan ditunjukkannya sifat
tidak cinta pada jabatan, uang dan kebendaan.
Salah satu faktor ini lah, menurut keterangan dari zuriyat
maupun dari para murid yang pernah diwawancarai, membuat salut dan rasa hormat
tersendiri dari Sultan dan jajaran menterinya. Seperti ditunjukkan
misalnya, ketika Tuan Guru sesekali waktu berkunjung ke Rengat dalam tugasnya
sebagai mufti, maka yang menunggu dan menjemputnya langsung di pelabuhan adalah
Sultan sendiri, bukan sebaliknya. Kondisi ini menunjukkan penghormatan akan
wibawa dan kharisma tersendiri Beliau, di mata Sultan.
Hal lain yang turut menjadi bentuk ke-istiqamah-an dalam
kiprah keulamaaanya adalah totalitasnya dalam konsen pada bidang literasi
keagamaan, dengan menulis karangan-karangan (ta’lifat) dari berbagai disiplin
ilmu yang beragam; mulai dari tauhid, fikih, tasawuf, akhlak, sastra keagamaan,
nahwu, sharaf, tafsir-hadits, sejarah Islam lokal, dan tema-tema lainnya.
Justru dari tinggalan karya-karyanya itulah secara tidak langsung masih
terciptanya jalinan kesinambungan keilmuan hingga saat ini, walaupun Tuan
Guru sudah lama wafat. Akan tetapi, buah karya-karya Beliau tetap dibaca
dan dipelajari di berbagai pesantren, pengajian-pengajian dan madrasah baik di
Indragiri Hilir khususnya maupun di Riau, Bangka dan di Kalimantan Selatan pada
umumnya sampai saat ini. Bahkan, karya-karyanya juga telah banyak menjadi
bahan riset para peneliti lepas dan riset untuk tugas akhir mahasiswa
tingkat sarjana, master dan doktoral.
Fabil-Ikhtishar, sebagai khatimah, dengan paparan sekelumit
informasi pada kiprah yang telah dijalankan oleh Tuan Guru yang penting
serta kontributif itu, dalam kapasitasnya sebagai ulama dalam dakwah dan
pengembangan keislaman di Indragiri itu, maka tugas itu seharusnya harus terus
dilanjutkan tanpa henti. Para ulama-ulama/da’i-da’i sekarang mempunyai tanggung
jawab moral dalam melanjutkan estafeta keulamaan yang telah diristis Beliau
beserta nilai dan spirit yang diwariskan. Pun tentunya masyarakat luas para
pecinta (muhibbin) Tuan Guru juga memiliki tugas dengan selalu
menghadiri majelis-majelis ilmu, membaca, mempelajari dan mengamalkan apa-apa
yang terkandung dalam karya-karya tulis Beliau yang diajarkan di tengah-tengah
masyarakat. Semoga dengan langkah-langkah itu semua, ‘ibrah dan berkah melalui
wasilah Beliau akan diperoleh.
Wallahua'lam bhissawab
Pengajar
FIAI UNISI dan PP. Jilussalamah al-Islami Tembilahan
0 Komentar