Pengertian Istihsan



Istihsan termasuk salah satu metode ijtihad yang di perselisihkan oleh para ulama, meskipun dalam kenyataannya, semua ulama menggunakannya secara praktis. Pada dasarnya para ulama menggunakan istihsan secara lughawi (Etimologi), yaitu “berbuat sesuatu yang lebih baik”. Tetapi dalam pengertian istilahnya ( yang biasa berlaku ), para ulama berbeda pendapat disebabkan oleh perbedaan dalam memahami dan mendefinisikan “istihsan” itu. Ulama yang menggunakan metode istihsan dalam berijtihad mendefinisikan istihsan dengan “pengertian” yang berlainan dengan definisi dari orang yang menolak cara istihsan. Sebaliknya ulama yang menolak pengguna istihsan mendefinisikan “istihsan” dengan pengertian tidak seperti yang didefinisikan pihak yang menggunakannya. Seandainya mereka sepakat dalam mengartikan (mendefinisikan) istihsan itu, maka mereka tidak akan berbeda pendapat dalam menggunakannya sebagai suatu metode ijtihad.
1.    Arti Istihsan
Secara etimologis (lughawi/bahasa) istihsan (استحسن ) bearti memperhitungkan sesuatu lebih baik, atau adanya sesuatu itu lebih baik, atau mengikuti sesuatu yang lebih baik atau mencari yang lebih baik untuk diikuti, karena memang disuruh untuk itu. Dari arti lughawi  di atas tergambar adanya seseorang yang menghadapi dua hal yang keduanya baik. Namun ada hal yang mendorongnya untuk meninggalkan satu di antaranya dan menetapkan untuk mengambil yang satunya lagi, karena itulah yang di anggapnya  lebih baik diamalkan.
Adapun pengertian istihsan secara isthilah, ada beberapa definisi “istihsan” yang dirumuskan ulama ushul. Di antara definisi itu ada yang berbeda akibat adanya perbedaan titik pandang. Ada juga definisi yang di sepakati semua pihak, namun diantaranya ada yang diperselisihkan dalam pengamalannya.
a.       Ibnu subki mengajukan dua rumusan definisi, yaitu:
·         عدول عن قياس الى قياس اقوى من
Beralih dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas lain yang lebuh kuat dari padanya (qiyas pertama).
·         عدول عن الدليل الى العادة للمصلحة
Beralih dari pengunaan sebuah dalil kepada adat kebiasaan karena suatu kemaslahatan.
Ibnu subki menjelaskan bahwa definisi yang pertama tidak diperdebatkan karena yang terkuat diantara dua qiyas harus didahulukan. Sedangkan terhadap definisi yang kedua ada pihak yang menolaknya. Alasannya, bila dapat dipastikan bahwa adat istiadat itu baik karena berlaku seperti itu pada masa Nabi atau sesudahnya, dan tanpa ada penolakan dari Nabi atau dari yang lainnya, tentu ada dalil pendukungnya, baik dalam bentuk nash atau ijma’. Dalam bentuk seperti ini, adat itu harus diamalkan secara pasti. Namun bila tidak terbukti kebenarannya, maka cara tersebut tertolak secara pasti.
b.      Istilah istihsan dikalangan ulama Malikiyah diantaranya adalah sebagaimana yang dikemukakan al-Syatibi (salah seoran pakar Malikiyah).
وهو  فى مذهب مالك الاخذ بمصلحة جزئية فى مقا بلة دليل كلى
Istihsan dalam mazhab maliki adalah menggunakan kemaslahatan yang bersifat juz’i sebagai pengganti dalil yang bersifat kulli.
Definisi di atas menandung arti bahwa seorang mujtahid semestinya menetapkan hukum dengan berpedoman kepada dalil yang ada yang bersifat umum. Namun karena dalam keadaan tertentu mujtahid tersebut melihat adanya kemaslahatan yang bersifat khusus, maka ia dalam mentapkan hukum tidak berpedoman kepada dalil umum yang ada, tetapi menggunakan kemaslahatan atau kepantingan yang bersifat khusus itu.
c.       Dikalangan ulama hanabilah terdapat 3 definisi sebagaimana dikemukakan Ibn Qudamah:
·         العدل بحكم المسئلة عن نظائرهالدليل خاص من كتاب اوسنة
Beralihnya mujtahid dalam menetapkan hukum terhadap suatu masalah dari yang sebanding dengan itu karena adanya dalil khusus dalam Al-Qur’an atau Sunnah.
·         انه ما يستحسنه المجتهد بعقله
Istihsan itu ialah apa-apa yang dianggap lebih baik seorang mujtahid berdasarkan pemikiran akalnya.
·         دليل ينقدح فى نفس المجتهد لا يقدرعلى التعبير عنه
Dalil yang muncul dalam diri mujtahid yang ia tidak mampu menjelaskannya.
        Dalil definisi istihsan pertama berlaku di kalangan ulama hanbali tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang mujtahid tidak menetapkan hukum sebagaimana di tetapkan pada kasus yang sejenis dengan kasus itu adalah karena ia mengikuti dalil lain dari Al-Qur’an dan Sunnah.
        Terhadap definisi kedua mungkin timbul keberatan dari ulama lain karena apa yang dianggap mujtahid lebih baik menurut akalnya itu belum tentu lebih baik menurut kenyataannya.
        Terhadap definisi yang ketiga juga mungkin timbul sanggahan, sebagaimana dikemukakan Ibnu Subki yang mengatakan bahwa jika dalil yang muncul dalam diri mujtahid itu nyata adanya, maka cara tersebut dapat diterima dan tidak ada kesukaran dalam menjelaskan dalil itu; tetapi bila dalil tersebut tidak betul, maka cara istihsan seperti itu tertolak.
d.      Dikalangan ulama Hanafiyah istihsan itu ada dua macam yang dikemukakan dalam dua rumusan seperti dikutip oleh al-Sarkashi:
·         العمل بالاجتهادوغائب الراي فى تقدير ماجعله الشرع موكولا
Beramal dengan ijtihad dan umum pendapat dalam menentukan sesuatu yang syara’ menyerahkan kepada pendapat kita
·         Dalil yang menyalahi Qiyas yang zahir yang didahului prasangka sebelum diadakan pendalaman terhadap dalil itu namun setelah diadakan penelitian yang mendalam terhadap dalil itu dalam hukum yang berlakudan dasar-dasar yang sama dengan itu ternyata bahwa dalil yang menyalahi Qiyas itu lebih kuat dan oleh karenanya wajib diamalkan.
     Dari penelaahan terhadap dua definisi yang berlaku di kalangan ulama harfiyah tersebut dapat diberikan penjelasan bahwa arti istihsan dalam definisi pertama tidak menyalahi sesuatu apapun, karena pengertian “yang terbaik” dalam hal ini adalah di antara dua hal yang kita dapat memilih, karena syara’ telah memberikan hak pilh kepada kita. Umpamanya penetapan ukuran mut’ah dari suami yang menceraikan isterinya sebelum dicampuri dan sebelumnya belum ditetapkan maharnya.
     Dalam definisi kedua terkandung adanya perbenturan dalil dengan Qiyas zhahir. Semula ada prasangka lemah dalil itukarena belum diadakan penelitian yang mendalam, namun sesudah di teliti secara mendalam ternyata dalil itu lebih kuat dari pada Qiyas.
2.      Macam-Macam Istihsan
      Setelah menganalisa beberapa definisi istihsan di atas, dapat diambil kesimpulan tentang hakikat dari istihsan, yaitu seorang mujtahid dalam melakukan ijtihad utnuk menemukan dan menetapkan suatu hukum tidak jadi menggunakan suatu dalil, baik dalil itu dalam bentuk Qiyas, dalam bentuk hukum kuli, atau dalam bentuk kaidah umum. Sebagai gantinya, ia menggunakan dalil lain dalam bentuk Qiyas lain yang dinilai lebih kuat, atau nash yang ditemukannya atau ‘uruf yang berlaku, atau keadaan darurat, atau hukum pengecualian. Alasannya adalah karena dengan cara itulah si mujtahid menganggapnya sebagai cara terbaik yang lebih banyak mendatangkan kemaslahatan dan lebih menjauhkan kesulitan bagi umat manusia.
      Dari uraian di atas, terlihat bahwa istihsan itu banyak macamnya dan dapat dilihat dari beberapa segi: dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya maupun dari segi sandaran atau dasar yang diikutinya saat beralih dari Qiyas.
a)      Ditinjau dari segi dalil yang digunakan pada saat beralih dari Qiyas, istihsan ada tiga macam:
Ø  Beralih dari apa yang dituntut oleh Qiyas-zhahir(qiyas jali) kepada yang di kehendaki oleh Qiyas-khafi. Dalam hal ini si mujtahid tidak menggunakan Qiyas-zhahir dalam menetapkan hukumnya, tetapi menggunakan Qiyas-khafi, karena menurut penghitungnya cara itulah yang paling kuat ­(tepat).
Ø  Beralih dari apa yang di tuntut oleh nash yang umumnya kepada hukum yang bersifat khusus. Jadi, meskipun ada dalil umum yang dapat digunakan dalam menetapkan hukum suatu masalah, namun dalam keadaan tertentu dalil umum itu tidak digunakan, dan sebagai gantinya digunakan dalil khusus.
Ø  Beralih dari tuntuttan kulli kepada tuntutan yang di kehendaki hukum pengecualian.
b)        Ditinjau dari segi sandaran yang menjadi dasar dalam peralihan untuk menempuh cara istihsan oleh mujtahid, istihsan terbagi kepada empat macam:
v  Istihsan yang sandarannya adalah Qiyas khafi. Dalam hal ini si mujtahid meninggalkan Qiyas yang pertama karena ia menemukan bentuk Qiyas yang lain, meskipun Qiyas yang lain itu dari satu segi memiliki kelemahan, namun dari segi pengaruhnya terhadap kemaslahatan tinggi.
v  Istihsan yang sandarannya adalah nash. Dalam hal ini si mujtahid dalam menetapkan hukum tidak jadi menggunakan Qiyas atau cara biasa karena ada nash yang menuntunnya. Umpamanya dalam masalah jual beli salam (pesanan atau inden). Pada saat langsung transaksi jual beli, barang yang diperjualbelikan itu belum ada. Berdasarkan ketentuan umum dan menjadi sandaran Qiyas menurut biasanya transaksi seperti itu tidak boleh dan tidak sah; karena tidak terpenuhinya salah satu persyaratan jual beli berupa tersedianya barabng yang diperjualbelikan pada saat berlangsung transaksi. Namun cara begini tidak dipakai karena telah ada nash yang mengaturnya, yaitu hadis Nabi yang melarang melakukan jual beli terhadap sesuatu barang yang tidak ada di tempat kecuali pada jual beli salam (pesanan).
v  Istihsan yang sandarannya adalah ‘uruf (adat). Dalam hal ini si mujtahid tidak menggunakan cara-cara biasa yang bersifat umum tetapi menggunakan cara lain dengan dasar pertimbangan atau sandaran kepada kebiasaan yang telah umum berlaku dalam suatu keadaan. Istihsan dalam bentuk ini di sebut istihsan al-‘uruf.
v  Istihsan  yang sandarannya adalah dharurat. Dalam hal ini si mujtahid tidak menggunakan dalil yang secara umum harus diikuti karena adanya keadaan darurat yang menghendaki pengecualian. Istihsan dalam  bentuk ini disebut istihsan al-dharurah.
c)      Menurut syathibi, dikalangan mazhab Maliki dikenal pula istihsan yang dalam praktekanya dinamai dengan istislah akan diuraikan tersendiri mereka membagi istihsan itu kepada tiga macam:
ü  Meninggalkan dalil yang biasa digunakan untuk beramal dengan ‘uruf (kebiasaan). Umpamanya ucapan yang berlaku dalam sumpah. Bila seorang dalam sumpahnya menyebutkan tidak memakan daging, tetapi ternyata kemudian ia memakan ikan, maka ia dinyatakan tidak melanggar sumpah meskipun ikan itu dalam bahasa al-Qur’an termasuk dalam daging. Alasannya karena dala ‘urf (kebiasaan) yang berlaku dalam ucapan sehari-hari, ikan itu bukan (tidak termasuk)daging.
ü  Meninggalkan dalil yang biasa digunakan, dan untuk selanjutnya beramal dengan cara lain karena didorong oleh pertimbangan kemaslahatan manusia. Umpamanya tanggung jawab minta dari tukang yang membantu memperbaiki suatu barang yang diperbaikinya itu rusak ditangannya. Berdasarkan pendekatan Qiyas, ia tidak perlu mengganti, karena kerusakan barang itu terjadi waktu ia membantu bekerja. Namun berdasarkan pendekatan istihsan cara seperti ini ditinggalkan dan ia harus mengganti barang tersebut demi terwujudnya kemaslahatan yaitu memelihara dan menjamin harta orang lain.
ü  Meninggalkan dalil yang biasa dilakukan untuk menghindarkan kesulitan dan memberikan kemudahan kepada umat. Umpamanya adanya sedikit kelebihan dalam menakar sesuatu dalam ukuran yang banyak. Tindakan ini dibenarkan meskipun menurut ketentuan yang berlaku, kalau menakar itu harus tepa (pas) sesuai standar takaran yang berlaku.
3.      Kekuatan Istihsan Dalam Ijtihad
      Dari beberapa definisi dan macam-macam istihsan di atas terlihat bahwa ada bentuk istihsan yang di terima semua pihak dan untuk selanjutnya mempunyai kekuatan dalam ijtihad yaitu istihsan yang diartikan dengan mengamalkan yang terkuat di antara dua dalil sebagaimana dikemukakan al-Syathibi atau dalam arti, beralih dari Qiyas kepada Qiyas yang lebih kuat, menurut rumusan Ibn Subki. Adapun istihsan dalam arti beralih dari Qiyas jali kepada Qiyas khafi atau beralih dari dalil kepada adat kebiasaan, merupakan masalah yang kontroversial, yang dengan sendirinya menjadi kurah kekuatammya sebagai dalil secara umum. Imam Syafi’ii termasuk ulama yang paling keras menolak istihsan dalam bentuk ini. Imam  Syafi’i terhadap istihsan ini terdapat dalam kitabnya, al-Risalah, sewaktu ditanya, “apakah anda membolehkan seseorang berkata lakukanlah istihsan tampa menggunakan Qiyas?, ia menjawab, Tidak boleh. Bahkan mengatakan “Haram hukumnya seseorang berpendapat berdasarkan istihsan bila istihsan menyalahi Qiyas.” Menurut Syafi’i, istihsan dalam bentuk itu hanyalah berbual “talazzuz” atau seenaknya. Seandainya boleh meninggalkan qiyas tentu orang yang tidak mempunyai ilmu pun akan dengan mudahnya menggunakan istihsan sewaktu ia tidak menemukan keterangan hukum.
      Selanjutnya al-Syarkhisi menjelaskan praktek istihsan dikalangan ulama Hanafiyah untuk menyanggah tudingan ulama Syafi’i yang mengatakan istihsan itu mengikuti dan bertolak dari kehendaka hawa nafsu. Penjelasannya sebegai berikut:
v  Istihsan bentuk pertama adalah menggunakan ijtihad dan umumnya pendapat dalam menghadapi kasus yang oleh Syara’ sendiri diserahkan kepada kita untuk menentukan hukumnya. Umpamanya masalah menetapkan kadar mut’ah dari suami yang menceraikan istrinya yang belum dicampuri, sebagai pelaksanaan dari firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 236:
ومتعو هن على الموسع قدره وعلى المقتر قدره(البقرة)
Beri mut’ahlah mereka atas suami yang kaya menurut kadar kekayaannya dan atas suami miskin menurut kemiskinannya.
Menentukan pilihan kadar yang harus diberikan si suami adalah termasuk berbuat yang lelbih baik. Itulah yang disebut istihsan. Tampaknya tidak ada ulama yang menolak istihsan seperti itu.
v  Istihsan bentuk kedua adalahmemilih dalil yang menyalahi Qiyas jali. Hal ini menimbulkan prasangka sebelum diteliti secara mendalam. Tetapi sesudah diteliti, akan tampak bahwa dalil yang menyalahi Qiyas itu justru lebih kuat. Inilah sebenarnya yang dinamakan istihsan oleh Hanafiyah. Sedangkan sikap utnuk mengambil dalil yang lebih kuat itu hukumnya wajib. Alasan kenapa cara seperti ini disebut istihsan hanya sekedar untuk membedakan dalam penggunaan dalilnya. Dalam Qiyas digunakan dalil zhahir dan dalam istihsan dengan dalil khafi yang didahului dugaan itu. Dengan kata istihsan” dimaksudkan bahwa menggunakan cara seperti ini adalah lebih baik.
v  Dalil dari ayat al-Qur’an antara lain:
o   Firman Allah dalam surat al-Zumar ayat 18:
Artinya: orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.........
o   Firman Allah dalam surat Al-Zumar ayat 55:
Artinya : Dan ikutilah sebaik-baik apa yang di turunkan kepadamu dari tuhanmu.
Ayat pertama di atas mengisyaratkan adanya sanjungan dan pujian bagi orang yang mengikuti ucapan yang paling baik, dan ayat kedua mengandung perintah untuk mengikuti yang terbaik dari apa yang di turunkan Allah. Seandainya mengikuti cara yang terbaik itu tidak mempunyai kekuatan dalam dalil, tentu Allah tidak mengisyaratkan dengan yang seperti itu. Hal ini berarti bahwa istihsan yang tiada lain adalah upaya untuk berbuat yang terbaik  itu diakui kekuatannya dalam agama.
v   Argumen bentuk sunnah adalah:
1)      Sabda nabi.  Apa yang dilihat oleh umat islam sebagai satu yang baik maka yang demikian di sisi Allah juga adakah baik,” seandainya cara istihsan itu tudak kuat, tentu tidak akan baik disisi Allah.
2)      Praktek penggunaan istihsan juga terdapat dalam sunnah. Umpamanya, semula ada larangan umum dari Nabi untuk melakukan transaksi jual beli terhadap barang yang tidak ada tempat berlangsungnya akad. Kemudian untuk jual beli dalam bentuk salam (pesanan) tidak diberlakukan ketentuan umum itu, tetapi diberlakukan hukum khusus yaitu bolehnya jual beli salam meskipun barang yang diperjual belikan belum ada di tangan waktu akad berlangsung.
v  Argumen ijma’ yang dikemukakan pengguna istihsan adalah apa yang disebutkan tentang istihsan yang dilakukan oleh ulama dalam hal menggunakan pemandian umum dan minuman air dari penjual minuman tanpa menetukan lamanya waktu berada di pemandian dan kadar air yang digunakan, seperti dijelaskan dalam uraian di atas.
v  Argumen rasionalnya adalah bahwa dalam menetapkan Qiyas dan memberlakukan ketentuan umum adalah bertujuan untuk mendatangkan mashlahah. Bila dalam keadaan tertentu Qiyas yang ditetapkan dan ketentuan umum yang diberlakukan itu justru berakibat pada menghilangkan kemaslahatan, dan dalam waktu yang sama terdapat cara lain yang lebih baik sebagai alternatif pemecahnya, maka meninggalkan Qiyas dan ketentuan umum untuk menggunakan cara lain tersebut adalah tindakan yang lebih bijaksana di tinjau dari tujuan pemberlakuan hukum, yakni untuk mendatangkan kemaslahatan dan menghilangkan kemadharatan.
4.      Relevansi Istihsan Di Masa Kini Dan Mendatang
      Seperti dijelaskan bahwa istihsan itu digunakan oleh sekelompok ulama karena dalam menghadapi suatu kasus pada keadaan tertentu merasa kurang puas jika menggunakan pendekatan yang berlaku secara konvesional, seperti dengan menggunakan qiyas jali atau dalil umum menurut cara-cara biasa dilakukan. Dengan cara konvesional itu, kekuatan hukum yang dihasilkan kurang mendatangkan kemaslahatan yang diharapkan dari penetapan hukum. Dalam keadaan demikian, si mujtahid menggunakan dalil atau pendekatan lain sebagai alternatuf (pengganti) dari pendekatan yang konvesional tersebut. Pendekatan yang mereka lakukanadalah dalam bentuk ijtihad yang di sebut “Istihsan”.


Posting Komentar

0 Komentar