Pesantren dan Majelis Ta’lim Sebagai Penangung Jawab Transformasi Intelektual Khazanah Kitab Arab-Melayu di Indragiri Hilir l Nasrullah

picture by : https://trustmediaid.com/
Pesantren dan eksistensinya di masyarakat diakui memiliki peran yang vital bagi kontiunitas transformasi ajaran agama maupun keilmuan Islam di Indonesia sejak dahulu hingga sekarang bahkan dalam konteks masa akan datang. Pesantren telah menjadi katalisator bagi penyampaian visi dan misi Islam yang didakwahkan baik pada  aspek akidah, syari’ah, akhlak, sampai pada persoalan bidang sosial, ekonomi, budaya, seni, kemanusiaan, politik kebangsaan dan lainnya. Nilai-nilai Islam yang universal dan adiluhung itu diresepsi oleh para ulama, direfleksikan lalu kemudian dibahasakan dalam penjelasan-penjelasan yang disinggungkan pada konteks lokalitas masyarakat dan umat. Maka tidak mengherankan pesan-pesan agama yang disampaikan oleh para ulama pesantren melalui tradisi santri dan kepesantrenannya melahirkan suatu pemahaman Islam yang dianggap  “membumi” dan akrab dengan sendi-sendi lokalitas yang menjadi bagian kesadaran masyarakat muslim di tanah air.

Demikian juga institusi Majelis ta’lim, merupakan sebuah institusi pendidikan dan sosial keagamaan yang mempunyai akar kuat dalam masyarakat Islam tradisional Nusantara, tidak terkecuali pada masyarakat muslim di Kabupaten Indragiri Hilir. Bisa dikatakan majelis ta’lim dengan sistemnya yang unik dan non-formal  adalah cikal bakal pendidikan pesantren atau madrasah selanjutnya. Berkembangnya majelis ta’lim dalam masyarakat Islam, antara lain didorong oleh suatu tanggung jawab untuk penyebaran ilmu  dan  syi’ar dakwah agama kepada masyarakat dan umat secara luas oleh seorang ulama.  Peran ulama yang memimpin majelis ta’lim  mendapat tempat tersendiri dalam bentuk penghargaan yang tinggi dari masyarakat kepada mereka.

Kedua lembaga tradisional pendidikan Islam ini memiliki tugas yang sama, yakni menyampaikan atau mentransformasikan pesan-pesan dan ajaran agama kepada masyarakat dan umat dengan berbagai media. Salah satu media penyampaian ajaran atau keilmuan dalam informasi keagamaan itu ialah melalui tradisi pembacaan kitab-kitab karangan ulama Indonesia (Nusantara/jawi) yang beredar sekian lama di pesantren atau majelis ta’lim, khususunya kitab beraksara Arab- Melayu yang khas pada masyarakat berkebudayaan Melayu.  Kitab-kitab tersebut lazim dan menjadi referensi yang sering dipakai bagi mereka, selain beredarnya juga berbagai sumber maupun literatur kitab-kitab bahasa Arab baik yang klasik maupun kontemporer saat  ini. Namun loyalitas pada tradisi khazanah Kitab Arab-Melayu  itu seakan tidak pernah surut untuk dibaca,dipelajari serta dipahami, khususnya di Indragiri Hilir. Kemudahan akses kebahasaan dengan aksara Arab berbahasa Melayu, turut membantu bagi masyarakat dalam memahaminya. Karena pelajaran Arab-Melayu pada masa dahulu sangat digalakkan dan menjadi suatu “kewajiban” mempelajarinya. Sebab bahasa ini adalah lingua franca yang banyak digunakan di sebagian dunia Islam,  setelah bahasa Arab, Bahasa Persia/Urdu, dan bahasa Turki. Sebelum mengenal tulisan latin yang dibawa oleh sistem pendidikan kolonial, masyarakat muslim di Nusantara sudah terlebih dahulu mengenal akrab dan berkomunikasi dengan bahasa lokal mereka sehari-hari, seperti Arab-Melayu ini, terutama umumya dalam dunia persuratan.

Pengamatan atas Fenomena Tradisi Pengajian di Pesantren dan Majelis Ta’lim


Berangkat dari kenyataan tersebut-lah, terdapat hal yang menarik  untuk diteliti, kenapa para ulama pesantren dan Tuan-tuan Guru majelis ta’lim dengan lokus pilihan pada pengajian-pengajiannya  masih terus mengajarkan kepada santri dan masyarakat akan khazanah kitab-kitab para ulama tersebut dari dahulu hingga kini secara berkelanjutan. Sebagai sebuah pengamatan awal di wilayah Tembilahan dan Tembilahan Hulu (barangkali menjadi sampel representatif dari wilayah Kabupaten Inhil), sebenarnya ada banyak variabel yang bisa dijelaskan mengenai fenomena ini. Namun, secara simpel dan cepat bisa dikatakan tentang pengamatan terhadap terjadinya budaya itu ialah, karena masih tingginya penghormatan (ta’zhiman) dan mengharap keberkahan (tabarrukan) oleh para ulama  terhadap pengarang kitab (muallif) yang menjadi bacaannya itu. Pun halnya demikian pula yang dirasakan oleh  masyarakat (santri maupun masyarakat luas), ditambah faktor kemudahan resepsi kebahasaan di banding kitab berbahasa Arab Gundul (kitab kuning). Maka, tidak heran komunitas ini begitu “menikmati” membaca maupun menyimak seolah tanpa ada kebosanan, setiap isi dari karya-karya beragam dari para pengarang kitab-kitab Arab-Melayu yang mereka pelajari, semisal; Sabilal Muhtadin (fiqih)  dan Tuhfatur Raghibin (tauhid)  karya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Siyarus Salikin dan Hidayatus Salikin (dua-duanya akhlak tasawuf) karya  Syekh Abdus Samad al-Falimbani, Furu’ul Masa’il (fiqih) dan ‘Aqidatun Najin (tauhid) karya Syekh Daud al-Fathani, Fathul ‘Arifin (amaliah tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah) karya Syekh Ahmad Khatib Sambas, Durrun-Nafis karya Syekh Muhammad Nafis al-Banjari, Futuhul ‘Arifin (tasawuf) karya Tuan Guru Muhammad Sarni Alabio,  Asrarus Shalah (fikih-tasawuf), Aqa’idul Iman (tauhid), Risalah ‘Amal Ma’rifah (tauhid-tasawuf), Fathul ‘Alim fi Tartibit Ta’lim (tauhid) karya Syekh Abdurrahman Shiddiq, dan lain sebagainya yang mungkin masih ada kitab-kitab lain, namun  luput dari pengamatan ini.

Tradisi pengajaran maupun penyampaian dakwah ataupun informasi keagamaan melalui pembacaan kitab seperti kitab-kitab Arab-Melayu ini mesti harus terus dilanjutkan dan dilestarikan oleh pesantren dan majelis-majelis ta’lim dengan peran maksimal dari para kyai, tuan guru, ustadz dan santri-santri di lingkungan pesantren maupun masyarakat luas dengan pengajian-pengajian yang diampu. Mengingat keilmuan agama perlu atas sandaran sanad maupun referensi yang kuat, jelas dan otoritatif sebagaimana direpresentasikan pada kitab-kitab ulama itu. Hal ini di samping bermakna upaya mengerakkan dan melestarikan tradisi juga sebagai counter atas pola pengajian dan dakwah saat ini yang hanya mengandalkan performance secara oral-retorik, dan live- interaktif maupun pengajian berbasis pada mono-literal dunia maya, namun kenyataannya “miskin” kedalaman sumber  kajian. Akibatnya banyak terjadi mis-persepsi yang bisa mereduksi pemahaman dalam informasi pengetahuan keagamaan yang argumentatif. 

Dan yang terpenting lagi dari itu semua, kitab-kitab Arab Melayu itu adalah suatu khazanah peradaban keilmuan dan kebudayaan milik kita yang terus harus dijaga, dirawat dan dilestarikan sampai akhir zaman. Lebih lagi bagi institusi pesantren dan majelis ta’lim sebagai penanggung jawab transformasi khazanah kitab-kitab Arab Melayu sekaligus jangkar tradisi Islam di Indragiri Hilir. Khazanah ini adalah warisan literasi yang bernilai tinggi dan mesti dilanjutkan dari generasi ke generasi tanpa henti dipelajari dan ditekuni.

*Nasrullah, Pengajar pada FIAI UNISI dan PP. Jilussalamah al-Islami Tembilahan.


Posting Komentar

0 Komentar