![]() |
picture by : https://detikriau.org/ |
Tuan Guru
Abdurrahman Shiddiq al-Banjari, yang lazim kemudian disebut masyarakat
Indragiri dan sekitarnya dengan Tuan Guru Sapat, sejatinya adalah sosok ulama
migran. Beliau berasal dari Kampung Dalam Pagar, Martapura, Kalimantan
Selatan. Dalam Pagar, awalnya adalah sebuah perkampungan santri yang dirintis
oleh Datuknya, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari-salah seorang ulama besar
Nusantara abad 18- an, sebagai basis pengajaran ilmu-ilmu keagamaan dan
sosial-budaya Islam sekaligus pusat dakwah saat itu di wilayah Kesultanan
Banjar.
Dalam
analisis rekam jejak historis, Tuan Guru Sapat diperkirakan pertama kali sampai
ke wilayah Indragiri tahun 1908, tepatnya di daerah Sapat, Kuala Indragiri.
Namun, perlu menjadi catatan bahwa Tuan Guru Sapat sebelum menginjakkan kaki di
Indragiri, sempat bermukim terlebih dahulu beberapa tahun di Pulau Bangka,
dalam rangka tugas pengabdian mengajar dan berdakwah.
Bukti
dari keberadaan Tuan Guru Sapat di pulau penghasil Timah ini, adalah adanya
pengakuan masyarakat Kepulauan Bangka-Belitung terhadap eksistensi dan
kontribusi Beliau dalam perkembangan keislaman di wilayah ini, dalam bentuk
penyematan nama Beliau untuk menamai sebuah perguruan tinggi agama negeri
dengan nama STAIN Syekh Abdurrahman Shiddiq. Jadi, bisa dikatakan dalam
konteks ini, bahwa tanah Indragiri adalah daerah tujuan migrasi kedua dan
terakhir (setelah bermigrasi yang pertama dari Banjar ke Pulau Bangka) selama
perjalanan khidmat keulamaaan Beliau.
Di
tengah masyarakat Indragiri, Tuan Guru Sapat tampil secara kultural sebagai
guru dan ulama dengan membuka halaqah ilmu, transformasi akhlak dan
spritualitas serta menginisiasi para santri dan masyarakat untuk membuka lahan
dan mengembangkan pertanian kelapa di Kampung Hidayat dan sekitarnya.
Jika ditilik dalam konstruksi model sistem taksonomi pembelajaran dalam bidang
pendidikan yang dikenal saat ini, Tuan Guru sebenarnya sudah menerapkan
sekaligus mengkombinasikan aspek pembelajaran kognitif (penguasaan keilmuan),
afektif (sikap moral-behavioral-spritual), dan psikomotorik (skill) dalam
lembaga pendidikan yang Beliau ampu.
Harapan
Tuan Guru Sapat dengan metode pendidikan dan pengajaran yang diterapkan,
bahwa dengan bekal ilmu keagamaan dan akhlak yang mumpuni serta didukung oleh
jiwa kemandirian dan wirausaha yang baik, para santri yang kelak menjadi guru
atau pemimpin, bisa survive secara maisyah (penghidupan) karena punya skill
bertani, yang berdampak pada bentuk sikap istiqamah dalam mengajar dan
berdakwah di lingkungannya atau di masyarakat luas setelah mereka selesai
menimba ilmu darinya. Dengan sikap demikian, para santri diharapkan tidak
menjadi sosok guru atau pemimpin yang selalu berharap akan upah dan imbalan
dari para murid dan masyarakatnya.
Berkat
sentuhan tangan dingin Beliau dalam mendidik para santrinya, maka kita bisa
menyaksikan banyak para alumnus dari lembaga pendidikan yang Tuan Guru Sapat
pimpin, menjadi ulama dan tokoh-tokoh agama yang tersebar di wilayah atau di
luar Indragiri guna meneruskan estafeta keulamaan selanjutnya.
Di samping
itu, karena adanya permintaan Sultan Indragiri pada masa kepemimpinan Sultan
Mahmud, Tuan Guru Sapat secara struktural-politik diangkat sebagai Mufti atau
pejabat yang diberi berwenang memutuskan atau memberi fatwa-fatwa keagamaan di
wilayah Kerajaan/Kesultanan Indragiri yang berkedudukan di Rengat. Jabatan
mufti, bisa disebut suatu posisi yang sangat terpandang dan penuh pengakuan
terhadap tokoh yang dipilih untuk menjabatnya baik dari segi keilmuan,
integritas dan kharisma keulamaan.
Walaupun,
semula keberatan atas amanah jabatan itu, namun akhirnya Tuan Guru Sapat
menyanggupinya, dengan salah satu di antara syaratnya, Beliau tetap bermukim di
Kampung Hidayat, mengajar dan membimbing para santri dan masyarakat. Setelah
sekitar 27 tahun menjadi mufti, Beliau mengundurkan diri dengan alasan usia dan
kondisi kesehatan yang sudah menurun. Adapun bukti Tuan Guru Sapat mundur dari
jabatan itu, dapat dilihat sebagaimana terekam secara otentik dalam surat
atau pernyataan pengunduran diri kepada Sultan yang ditulis sekaligus
ditandatangani sendiri oleh Beliau.
Namun,
yang menarik dari beberapa point isi surat pengunduran diri itu adalah,
Tuan Guru Sapat tidak mau mendapat fasilitas istimewa sebagaimana pejabat
kesultanan lainnya, seperti: kesamaaan dalam kewajiban membayar pajak
(belasting) sebagaimana rakyat awam lainnya, dan tidak menerima atau mengambil
gaji dari jabatannya itu. Bahkan, sebagaimana juga tertuang dalam pernyataan di
surat tersebut, Beliau sendirilah yang mengeluarkan biaya pribadi untuk
keperluan dari penyelesaian masalah-masalah keagamaan, seperti; memberi tempat
tinggal dan makan bagi masyarakat yang datang untuk berkonsultasi dan meminta
penyelesaian perkara, serta biaya penulisan dan pengiriman surat balasan bagi
masyarakat yang meminta fatwa via korespondensi. Selain itu tidak terkecuali
tentunya, Tuan Guru Sapat juga menanggung gratis biaya pondokan dan makan bagi
para santri yang mengaji atau menuntut ilmu kepadanya.
Dari
fakta sejarah di atas, bisa dikatakan bahwa Tuan Guru Sapat bersedia mengemban
amanah jabatan itu secara tulus-ikhlas, beramal tanpa ambisi mengejar pangkat
atau kedudukan. Yang Beliau lakukan adalah bentuk usaha tanpa pamrih dengan
niat semata-mata lillahi taala. Suatu sikap langka yang pantas untuk diambil
pelajaran dan diteladani pada masa kini, lebih-lebih bagi sosok diri seorang
ulama, di mana ditengarai sebagian anggota masyarakat bahkan pada sebagian
ulama saat ini terdapat adanya fenomena penuh ambisi keduniawian. Berlomba demi
mengejar jabatan, kedudukan atau mendekati kekuasaan.
Ala kulli hal,
Tuan Guru Sapat secara jasadiyah (fisik) sudah lama meninggalkan kita, sejak 4
Syaban 1358 H. Namun, hendaknya spirit perjuangan dan inspirasi yang diwariskan
dari sosok ulama yang istiqamah dan tulus dalam menjalankan fungsi khidmat
keulamaannya serta figur yang dikenal kharismatik ini, harus terus hidup
ditengah-tengah kita. Tugas mulia yang telah dijalankan secara total oleh Tuan
Guru Sapat dengan mewakafkan jiwa raganya dan amal usahanya dalam bidang
keagamaan, keilmuan, pendidikan, dan sosial-budaya, harus terus diperjuangkan
dan dilanjutkan oleh kita semua.
Nasrullah,
Staf Pengajar FIAI UNISI dan PP Jilussalaamah al-Islami Tembilahan
0 Komentar