Pendidikan Islam merupakan
pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam sebagaimana tercantum
dalam Alquran dan Hadits serta dalam pemikiran para umat dan dalam praktik
sejarah umat Islam. Dalam prosesnya, pendidikan Islam menjadikan tujuan sebagai
sasaran ideal yang hendak dicapai dalam program dan diproses dalam produk
kependidikan Islam atau output kependidikan Islam.
Untuk mengetahui ketercapaian suatu
tujuan kegiatan yaitu evaluasi. Dengan evaluasi, maka suatu kegiatan dapat
diketahui atau ditentukan taraf kemajuannya. Berhasil atau tidaknya pendidikan
Islam dalam mencapai tujuannya dapat dilihat setelah dilakukan evaluasi
terhadap output yang dihasilkannya.
Dalam pendidikan Islam evaluasi
merupakan salah satu komponen dari sistem pendidikan Islam yang harus dilakukan
secara sistematis dan terencana sebagai alat untuk mengukur keberhasilan atau
target yang akan dicapai dalam proses pendidikan Islam dan proses pembelajaran.
Dalam makalah ini akan penulis sajikan hal-hal yang menyangkut evaluasi
pendidikan Islam, dari mulai pengertian, tujuan, macam-macam, prinsip-prinsip,
dan urgensinya.
Terjemahan Alqur’an, Surah Al-Baqarah, Ayat 31-34.
Artinya:
dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!.”
mereka menjawab: "Maha suci Engkau,
tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada
kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana." Allah
berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka Nama-nama benda
ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka Nama-nama benda itu,
Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya
aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan
dan apa yang kamu sembunyikan?". dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada
Para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka
kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia Termasuk golongan
orang-orang yang kafir. (QS. Al-Baqarah [2]: 31-34)
Tafsiran Ayat
Ayat 31-32
Dia yakni Allah
mengajar Adam nama-nama benda seluruhnya, yakni memberi potensi pengetahuan tentang nama-nama atau kata-kata
yang digunakan menunjuk benda-benda, atau mengajarkannya mengenal fungsi
benda-benda,
Ayat ini
menginformasikan bahwa manusia dianugrahi
Allah potensi untuk mengetahui nama atau fungsi dan karakteristik
benda-benda, misalnya fungsi api, fungsi angina, dan sebagainya. Dan juga
dianugrahi potensi untuk berbahasa. System pengajaran bahasa kepada manusia
(anak kecil) bukan dimulai dengan mengajarkan kata kerja, tetapi mengajarkannya
terlebih dahulu nama-nama. Ini papa, ini mama, itu mata, itu pena, dan
sebagainya. Itulah sebagian makna yang dipahami oleh para ulama dari
firman-Nya: Dia mengajar Adam nama-nama (benda) seluruhnya.
Setelah
pengajaran Allah dicerna oleh Adam as, sebagai mana dipahami dari kata kemudian
, Allah mengemukakannya benda-benda itu kepada para malaikat lalu
berfirman, “sebutkanlah kepada-Ku benda-benda itu jika kamu benar dalam dugaan kamu bahwa kalian lebih wajar
menjadi khalifah.”
Sebenarnya,
perintah ini bukan bertujuan penugasan mejawab, tetapi bertujuan membuktikan
kekeliruan mereka.
Mereka para
malaikat ditanya itu secara tulus menjawab sambil mensucikan Allah “Maha
suci engkau, tidak ada pengetahuan bagi kami selain dari apa yang telah engkau
ajarkan kepada kami, sesungguhnya engkau, Engkaulah yang maha mengetahui lagi
maha Bijaksana.” Maksud mereka, apa yang Engkau tanyakan itu tidak pernah
Engkau ajarkan kepada kami. Engkau tidak ajarkan itu kepada kami bukan karna
Engkau tidak tahu, tetapi karena ada hikmah di balik itu.
Demikian jawaban
malaikat yang bukan hanya mengaku tidak mengetahui jawaban pertanyaan,
tetapi sekaligus mengakui kelemahan
mereka dan kesucian Allah swt, dari segala macam kekurangan atau ketidak adilan
, sebagai mana di pahami dari penutup ayat ini.
Benar, pasti ada
hikmah di balik itu. Boleh jadi karena pengetahuan menyangkut apa yang
diajarkan kepada Adam tidak dibutuhkan oleh para malaikat karena tidak
berkaitan dengan fungsi dan tugas mereka. Berbeda dengan manusia, yang dibebani tugas
memakmurkan bumi.
Adapun makna
penggalan ayat ini, yang jelas salah satu keistimewaan manusia adalah
kemampuannya mengekpresikan apa yang terlintas dalam benaknya serta
kemampuannya menangkap bahasa sehingga ini mengantarnya “mengetaui”. Di sisi lain kemampuan manusia
merumuskan ide dan memberi nama bagi sgala sesuatu merupakan langkah menuju
terciptanya manusia berpengetauan dan lahir ilmu pengetahuan.
Ayat 33
Untuk membuktikan kemampuan khalifah itu kepada
malaikat , Dia, yakni Allah swt, memerintah dengan berfirman: Wahai
Adam! Beritahukanlah kepada meraka nama-nama benda itu. Perhatikanlah! Adam
diperintah untuk “memberikan”, yakni menyampaikan kepada malaikat, bukan
“mengajar” mereka. Pengajaran mengharuskan adanya upaya dari yang mengajar agar
bahan pengajarannya dimengerti oleh yang diajarnya sehinggah, kalau perlu,
pengajar mengulang-ulangi pengajaran sehinggah benar-benar dimengerti. Ini
berbeda dengan penyampaian pelajaran atau berita penyampaian berita tidak mengahruskan pengulangan tidak
juga yang diberitakan harus mengerti.
Sebelum
ini, pada ayat 30, Allah swt, menyampaikan bahwa “Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Tetapi, di sini dinyatakan bahwa,
“Bukan sudah Ku-katakan kepada kamu bahwa
sesungguhnya Aku mengetahui
rahasia langit dan bumi.” Ini
berarti bahwa apa yang disampaikan pada ayat 30 adalah kesimpulan dari sekalian
hal yang di sampaikan Allah swt, kepada mereka, yang kemudian oleh ayat 33 ini
diungkap sebagai dari apa yang disampaikan itu. Ayat 30 belum membuktikan
kebenaran informasi Allah itu uraian yang disana belum diperinci sehinggah boleh jadi ada keraguan
dalam benak pendengarnya, sedangkan ayat 33 ini mengandung bukti kebenaran
tersebut. Dari sini wajar ia diperinci untuk lebih membuktikan kebenaran
informasi ini.
Firman-Nya:
($tBur öNçFYä. tbqãKçFõ3s?) wa maa kuntum taktumun /apa yang telah kamu
sembunyikan oleh para ulama dibahas secara panjang lebar
khusunya kata (NçFYä.) kuntum yang secara umum berdasar kaidah kebahasaan menunjukkan telah terjadinya
suatu peristiwa di masa lalu. Ini menimbulkan kesan bahwa sejak dahulu, sebelum
dialog ini, telah ada sesuatu yang tidak di uangkap oleh para malaikat itu,
yang oleh pengaran Tafsir Al-Jalalain
dinyatakan bahwa itu adalah dugaan mereka bahwa Allah tidak akan
menciptakan makhluk yang lebih mulia dan lenih mengetahui daripada para
malaika. Kalau pendapat ini diterima, itu mereka sembunyikan didalam benak
mereka, di dalam arti mereka tidak
mengungkapkannya karena mengucapkannya dapat mengandung makna keangkuhan,
padahal mereka telah terbebaskan dari sifat angkuh atau berbangga diri.
Selanjutnya,
penggunaan bentuk mudhari’ (kata kerja masa kini) untuk (تكتمو
ن) taktumun/menyembunyikan
ini mengisyaratkan bahwa itu nereka lakukan dari saat ke saat.
Tharir
Ibnu ‘Asyur tidak memahami kata kuntum dalam arti masa lalu tetapi menurutnya kata
itu di gunakan di sini sebagai sisipan yang berfungsi sebagai penguat upaya
penyembunyian. Ayat ini seakan-akan menyatakan bahwa Allah swt. Mengetahui apa
yang kalian sembunyikan secara sungguh-sunguh serta dengan upaya keras. Nah,
kalau yang demikian kukuh di sembunyikan pun diketahui oleh Allah swt, tentu
lebih-lebih yang tidak kukuh dan lebih-lebih lagi yang bukan rahasia.
Melalui
informasi ini, diketahui bahwa pengetahuan yang dianugrahkan Allah swt, kepada
Adam as. Atau potensi untuk mengetahui segala sesuatu dari benda-benda dan
fenomena alam merupakan bukti kewajaran Adam as. Menjadi khalifah sekaligus
ketidakwajaran malaikat untuk tugas tersebut.
Kekhalifahan di bumi adalah kekhalifahan yang
bersumber dari Allah swt., yang antara lain bermakna melaksanakan apa yang
dikehendaki Allah menyangkut bumi ini. Dengan demikian, pengetahuan atau
potensi yang dianugrahkan Allah itu merupakan syarat sekaligus modal utama
untuk mengelola bumi ini. Tanpa pengetahuan dan pemanfaatan potensi pengetahuan, tugas kekhalifahan manusia akan
gagal walau seandainya dia tekun rukuk, sujud dan beribadah kepada Allah swt.
Serupa dengan rukuk, sujud, dan ketaatan malaikat. Bukanlah malaikat yang
sedemikian taat dinilai tak mampu mengelola bumi ini, bukan karena kurangya
beribadah mereka tentang alam dan fenomenanya? Melalui kisah ini, Allahswt,
bermaksud menegaskan bahwa bumi tidak dikelola semata-mata hanya dengan tasbih
dan tahmid tetapi dengan amal ilmiah dan ilmu amaliyah.
Setelah
jelas kewajaran Adam as. Menjadi khalifah, lahir perintah Allah swt., kepada
para malaikat, sebagai mana terbaca pada ayatberikut:
Ayat 34
Segabai
penghormatan kepada sang khalifah yang dianugrahkan ilmu dan mendapat tugas
mengelola bumi, Allah swt secara langsung dan dengan menggunakan kata “Kami”,
yang menunjukan keagungan-Nya bukan lagi dalam bentuk pesona ketiga sebagaimana
dalam ayat 30, Allah secara langsung memerintahka: Dan renungkanlah pula
ketika Kami berfirman kepada para malaikat,”sujudlah kepada Adam”.
Apakah semua malaikat diperintah sujud atau sebagian
saja? Ada ulama yang berpendapat bahwa semua malaikat diperintahkan sujud
berdasar firman-Nya: “Maka seluruh malaikat itu bersujud semuanya” (QS. Shad [38]: 73).
Ada juga yang berpendapat hanya
sebagian, yakni yang ditugaskan mendampingi manusia atau yang ditugaskan berada
di bumi. Persoalan ini akan di bahas, Insya Allah, ketika menafsirkan surah
Shaad.
Para
malaikat menyadari bahwa perintah ini tidak boleh ditangguhkan Karena itu
adalah tanda ketataan dan penyerahan diri kepada-Nya. Maka mereka pun segera
sujud tanpa penundaan dan berpikir, apalagi
perintah tersebut langsung dari Allah yang Maha Mengetahui dan Mahabijaksan,
bukan dari siapa yang bias keliru tetapi iblis yang memasukkan dirinya kelompok
malaikat sehinggah otomatis dicakup pula oleh perintah tersebut, enggan dan
menolak sujud , bukan karena tidak ingin sujud kepada Allah, tetapi karena dia
angkuh, yakni mengabaikan hak pihak lain, dalam hal ini Adam as., serta
memandangnya rendah sambil menganggap dirinya lebih tinggi.
Jaangan
diduga bahwa keengganan ini baru diketahui Allah swt., ketika itu. Tidak, sebab
memang sejak dahulu, dalam pengetahuan Allah, dia termasuk kelompok makhluk yang
kafir,
banyak pakar bahasa berpendapat bahwa kata )§Î=ö/Îا) iblis terambil dari bahasa Arab (ا بلس) ablasa
yang berarti putus asa atau dari kata (بلس) balasa
yang berarti tiada kebaikannya.
Penulis
menejermahkan pengalan ayat di atas (الا
ابليس ابى ) illa
iblis aba dengan tetapi iblis
enggan, bukan seperti yang di terjemahkan oleh departeman Agama dalam Al-Qur’an dan Terjemahnya dengan kecuali
iblis, Bila kata illa diterjemahkan
dengan kata kecuali, Iblis termasuk kelompok malaikat . dalam kaidah bahasArab, kata (الا) illa dapat merupakan istisma’
muttasil, dalam arti yang di kecualikan adalah bagian dari kelompok atau
jenis yang sama dengan sebelumnya, misalnya, jika Anda berkata, “Semua
mahasiswa hadir kecuali Ahmad,” si Ahmad yang dikecualikan itu termasuk
mahasiswa. Ini berbeda dengan illa yang mendjadi istisma’ munqqthi’. Dalam
hal ini dikecualikan tidak termasuk bagian atau jenis (kelompok) yang disebut
sebelumnya. Dalam keadaan demikian, kata illa tidak diterjemhkan kecuali, ia
diterjemhkan tetapi.
Iblis
menolak sujud bukan dengan alas an bahwa sujud kepada Adam adalah syirik,
seperti dugaan sementara orang yang sangat dangkal pemehamannya. Keenggahan
bersumber dari keangkuhan yang menjadikan ia menuga dirinya lebih baik dari
Adam. “Aku lebih baik darinya, Engkau ciptakan aku dari api sedan dia Engkau
ciptakan dari tanah.” Demikian jawabannya ketika di Tanya mengapa ia tidak
sujud. “Apakah wajar saya sujud kepada apa yang Engkau ciptakan dari tanah?”
(QS, al-Israa’ [17]:61). Demikian dilukiskan jawabannya yang lain. Alhasil,
dalam logika iblis, tidak wajar makhluk yang lebih baik unsur kejadiannya
bersujud kepada makhluk yang lebih rendah unsur kejadiannya.
Kata
(استكبر) istikbara dari kata (كبر) kabura dengan penambahan dua huruf yaitu sin dan ta’. Kedua
huruf inii berfungsi menggambarkan betapa mantap dan kukuh ketangguhan itu.
Dengan demikian, kata istikbara menunjukkan ketangguhan yang luar biasa.
Bahasa Arab, ketika bermaksud menggambarkan ketangguhan, selalu menggunakan
penambahan huruf-huruf seperti bentuk
kata di atas. Kata (تكبر) takabbur juga mengandung dua huruf tambahan yaitu ta’
pada awalnya dan ba’ pada pertengahannya yang kemudian digabung
dengan huruf ba’ yang asli padanya sehinggah menjadi takabbar atau
takabbur. Ini mengisyaratkan bahwa keangkuhan merupakan upaya
seseoranguntuk melebihkan dirinya dari pihak lain, kelebihan yang dibuat-buat
lagi tidak pernah wajar disandangnya.
Penggunaan
kata (كا ن) kaana dalam firman-Nya: (úïÍÏÿ»s3ø9$# z`ÏB b%x.ur) wa
kaana minal kaafirin/dan dia termasuk kelompok orang yang kafir
juga menjadi bahasan cukup panjang di kalangan para ulama. Ada yang memahaminya
dalam arti sejak dahulu, yakni dalam ilmu Allah swt., Iblis telah kafir,
ada juga yang memahaminya bahwa sejak dahulu sebelum turunnya ayat ini, bukan
dalam arti sejak sebelum adanya perintah ini, karen jika demikian, kekufuran
telah ada sebelum adanya manusia, padahal ketika itu belum ada yang wajar dinamai
kafir. Ada lagi yang memahami kata kaana dalam arti menjadi sehiggah ayat itu bermakna keenganan iblis
sujud menjadi ia termasuk kelompok orang-orang kafir.
Setelah menjelaskan kelebhan Adam
as. dan kehormatan yang diraihnya, Allah swt melanjutkan kisahnya, yang
dijelaskan pada ayat-ayat lain, bahwa Adam as. bersama istrinya tinggal di
surga dengan penuh bahagia. Tersedia juga makanan yang banyak dan tempat tinggal
yang nyaman. Bebas melakukan apa saja kecuali mendekati sebuah pohon.
Sumber buku: M, Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol 1. h,
176-187
WALLAHU A'LAM
0 Komentar