Tradisi tahlilan, yasinan dan memperingati 3 hari, 7 hari, 40 hari dan 100
hari orang yang meninggal dunia adalah tradisi yang telah mengakar di
tengah-tengah masyarakat kita khususnya di kalangan warga Nahdiyin, dan tradisi
tersebut mulai di lestarikan sejak para sahabat hinggah saat ini, di
pesantrenpun tahlilan, yasinan merupakan tradisi yang dilaksanakan setiap hari
setelah shalat shubuh oleh para santri. Sehinggha tahlilan, yasinan merupakan budaya
yang tak pernah hilang yang senantiasa selalu dilestarikan dan terus dijaga
eksistensinya.
Tahlilan, yasinan merupakan tradisi yang telah di anjurkan bahkan
disunnahkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya, yang didalamnya membacakan
serangkaian ayat-ayat Al-Qur’an, dan kalimah-kaimah tahmid, takbir, shalawat
yang diwawali membaca surat Al-Fatiah dengan meniatkan pahalanya untuk para
arwah yang dimaksudkan oleh pembaca atau yang punya hajat dan kemudian ditutup
dengan do’a. Inti bacaan tersebut ditujukan pada arwah untuk dimohonkan ampun
kepada Allah, atas dosa-dosa arwah tersebut.
Para ulama sepakat untuk terus memelihara pelaksaan tradisi tahlil tersebut
berdassarkan dalil-dalil hadist, Al-Qur’an yang menguatkannya. Diantaranya
adalah, sebagai ikhtiyar (usaha) bertaubat kepada Allah untuk diri sendiri dan
saudara yang telah meninggal, mengikat tali persaudaraan antara yang hidup
maupun yang telah meninggal, mengingat bahwa setelah kehidupan selalu ada
kematian, mengisi rohani, serta media yang efektif untuk dakwah islamiyah.
Tradisi yang berkembang dikalangan Nahdiyin, jika ada orang yang meningal,
maka akan diadakan acara tahlilan, do’a, dzikir dan lain sebagainya. Untuk
mendo’akan orang yang meningal dan biasanya dibarengi dengan jamuan makanan
sebagai sodaqoh untuk simayit.
Dalam kitab Nihayah al-Zain, Juz I,
halaman 281 juga disebutkan:.
“Di anjurkan oleh syara’ shodaqoh bagi
mayit, dan shodaqoh itu tidak di tentukan pada hari ke tujuh sebelumnya maupun
sesudahnya. sesungguhnya pelaksanaan shodaqoh pada hari-hari tertentu itu cuma
sebagai kebiasaan (adat) saja, sebagaimana fatwa Sayid Akhmad Dahlan yang
mengatakan ”Sungguh telah berlaku dimasyarakat adanya kebiasaan bersedekah untuk mayit pada hari ketiga dari kematian,
hari ketujuh, dua puluh, dan ketika genap empat puluh hari serta seratus hari.
Setelah itu dilakukan setiap tahun pada hari kematiannya”. Sebagaimana
disampaikan oleh Syaikh Yusuf Al-Sumbulawini.
Adapun istilah 7 “tujuh hari” dalam
acara tahlil bagi orang yang sudah meninggal, hal ini sesuai dengan amal yang
dicontohkan sahabat Nabi SAW. Imam Ahmad bin Hanbal RA berkata dalam kitab
Al-Zuhd, sebagaimana yang dikutip oleh Imam Suyuthi dalam kitab Al-Hawi li
Al-Fatawi:
“Hasyim bin Al-Qasim meriwayatkan kepada
kami, ia berkata, “Al-Asyja’i meriwayatkan kepada kami dari Sufyan, ia berkata,
“Imam Thawus berkata, “Orang yang meninggal dunia diuji selama tujuh hari di
dalam kubur mereka, maka kemudian para kalangan salaf mensunnahkan bersedekah
makanan untuk orang yang meninggal dunia selama tujuh hari itu” (Al-Hawi li Al-Fatawi, juz II, hal 178)
Imam Al-Suyuthi berkata:
“Kebiasaan memberikan sedekah makanan selama
tujuh hari merupakan kebiasaan yang tetap berlaku hingga sekarang (zaman imam
Suyuthi, sekitar abad IX Hijriah) di Makkah dan Madinah. Yang jelas, kebiasaan
itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi SAW sampai sekarang ini,
dan tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama (masa sahabat
SAW)” (Al-Hawi li Al-Fatawi, juz II, hal 194).
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan
bahwa kebiasaan masyarakat NU tentang penentuan hari dalam peringatan kematian
itu dapat dibenarkan secara syara’.
WALLAHU A'LAM
0 Komentar