ISLAM
DI INDONESIA
Di negeri ini, islam sebagai
agama dan Indonesia sebagai Negara bangsa ibarat jiwa dan raga. Keduanya
membentuk satu entitas islam Indonesia, bukan sekadar islam di Indonesia.
Demikian pula muslim yang hidup di nusantara ini pada dasarnya telah menjadi
muslim Indonesia, bukan sekadar pemeluk agama islam yang menumpang hidup atau
indekos di Indonesia.
Islam sebagai agama dan
realitas kebangsaan sebagai kodrat sosial bukan dua hal yang harus saling
menafikan, atau yang satu merupakan alternatif bagi yang lain. Islam sebagai
ajaran kerohanian bersifat universal, sementara entitas kebangsaan adalah
realitas kehidupan yang bersifat lokal. Yang universal sebagai esensi selalu
membutuhkan yang local sebagai media aktualisasi, juga sebaliknya.
Eksistensi “kebangsaan”,
bahkan “kesukuan” dalam Al Quran eksplisit diakui sebagai takdir yang tak bisa
diingkari. “wahai manusia, kami telah ciptakan kalian dari lelaki dan
perempuan, dan kami jadikan kalian berbangsa dan bersuku-suku, supaya kalian saling
mengenali dan berbuat kebaikan satu sama lain. Yang paling mulia di sisi Allah
bukan bangsa/suku ini atau itu, melainkan yang paling takwa di antara kalian”
(Al Quran/49:13).
Maka biarlah bangsa
Indonesia penganut islam tetap dengan dan dalam keindonesiaannya. Juga
bangsa-bangsa lain mereka boleh meyakini dan mengaktualisasi keislamannya tanpa
harus mengharamkan identitas kebangsaan dan kesukuannya. Benar, wahyu islam
diturunkan di Arab dan kepada manusia pilihan berbangsa Arab. Namun, beliau
sendiri bersabda. “Tidak ada keunggulan bagi Arab atas bangsa lain kecuali
karena ketakwaannya.” (H.R. Ahmad).
Dipribumikan
Keislaman seperti inilah
yang secara arif dipahamkan dan ditanamkan di nusantara oleh para guru bijak
yang dikenal wali Sembilan (walisongo). Saat berdakwah, para wali mensenyawakan
keislaman sebagai esensi dengan kenusantaraan dengan warisan budaya dan
tradisinya. Dengan demikian, nilai-nilai islam universal dan inklusif dapat
diterima dengan damai oleh masyarakat. Islam yang turun di Arab dan berbahasa
Arab telah di jawa kan, di sunda kan, di Maluku kan. Singkat kata, islam telah
dipribumikan.
Kiai Hasyim Asy’ari beserta
pendiri Nahdlatul Ulama juga menerjemahkan konsep persenyawaan islam dan
keindonesiaan. Saksi paling gambling adalah saat para pendiri menyepakati Resolusi
Jihad, 22 Oktober 1945. Resolusi inilah yang 18 hari kemudian membakar semangat
kepahlawanan arek-arek Surabaya dan sekitarnya pada 10 November 1945 yang
begitu heroik dan bersejarah.
Resolusi yang diparaf oleh
Kiai Hasyim Asy’ari selaku Rois Akbar Nahdlatul Ulama menyeru segenap
masyarakat yang tinggal di radius 90-an kilometer (jarak yang memungkinkan
orang meringkas shalat) untuk melawan tentara penjajah. Suatu seruan “jihad”
bukan untuk memerangi orang lain karena beda agama atau keyakinan, tetapi untuk
mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan Negara kesatuan republik Indonesia
yang melindungi segenap tumpah darah dan warganya, apapun agama dan
keyakinannya.
Bisakah
Bertahan?
Pertanyannya, apakah
keberislman yang menghargai kodrat kebangsaan dan kebinekaan ini masih akan
terus bertahan di negeri ini secara taken
for granted? Bagaimana jika suatu hari nanti yang mendominasi di sini
adalah cara keberislaman atau keberagaman yang penuh klaim kebenaran dan hak
hidup hanya bagi diri sendiri?
Pertanyaan itu bukan
pengandaian belaka. Sektarianisme dan ekstremisme yang memustahilkan kebenaran
pada pihak lain kini kian menyeruak di kanan kiri kita. Aksi kekerasan
teroristik sebagai puncak gunung es radikalisme sudah kita rasakan bara dan
efek destruktifnya.
Mereka adalah generasi baru
Indonesia yang menganut agama islam. Namun, tidak ada persamaan kimiawi sedikit
pun dengan islam yang sejak awal tumbuh di nusantara islam yang cinta damai dan
menghargai kebinekaan ciptaannya. Mereka adalah orang-orang islam yang sekadar
tinggal di Indonesia, bukan islam-indonesia dan mengindonesia baik dalam
kesadaran, perilaku, maupun dalam tampilan, kostum, dan yel-yel.
Sepintas jargon mereka
terlihat, yakni menegakkan hukum Allah. Namun, kita tidak boleh terkecoh. Dalam
sejarah islam awal, kita mengenal satu kelompok kecil ekstrem yang disebut
khawarij. Merekalah yang pertama kali meneriakkan jargon “Tegakkan hukum Allah”
di jalan-jalan. Namun, dengan jargon itu, mereka pula yang menghalalkan darah Sayidina
Ali R.A. dan membunuhnya atas nama islam. Semoga Allah SWT melindungi negeri
indah yang sarat kebinekaan ini dari bahaya khawarij yang lain.
0 Komentar