Nama : Mirnawati
Nim : 602201010020
Mk : Bahasa Indonesia
Semester : 1
Prodi : Manajemen Pendidikan Islam
HUBUNGAN ISLAM DENGAN MASALAH PENDIDIKAN
Menurut Sulistyorini, di dalam buku Manajemen Pendidikan Islam, ia mengatakan bahwa islam sebagai agama dan pandangan hidup yang diyakini mutlak kebenarannya akan memberikan arah dan landasan etis serta moral pendidikan. Dalam kaitan ini Malik Fadjar mengatakan bahwa hubungan antara islam dengan pendidikan bagaikan dua sisi sekeping mata uang. Artinya, islam dan pendidikan mempunyai hubungan filosofis yang sangat mendasar, baik secara ontologis, epistimologis maupun aksiologis.
Islam mendudukkan pendidikan pada posisi yang sangat penting, hal ini disabdakan Rasulullah Saw sebagai berikut:
Dari Abu Huroiroh ra menceritakan: “Sesungguhnya nabi Muhammad Saw. Bersabda tidak seorang anakpun yang dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah (Tahid) maka ibu bapaknya yang menjadikan anak itu Yahudi, Nasrani dan Majusi (HR. Bukhori).
Namun demikian, upaya menghubungkan islam dengan masalah pendidikan dan masalah lainnya dalam peta pemikiran islam masih di jumpai adanya perdebatan yang hingga kini masih belum tuntas. Dalam konteks ini Munawir Sjadzali mengatakan bahwa dikalangan umat islam sampai sekarang terdapat tiga aliran yang sering menimbulkan kontroversi.
Pertama, islam sebagai agama terakhir dan penyempurna, adalah agama yang ajarannya mencakup segala aspek kehidupan umat manusia. Kalangan ini biasanya mengemukakan pernyataan, bahwa islam mengatur dari permasalahan-permasalahan kecil, seperti bagaimana adab atau tata cara masuk kamar kecil sampai pada masalah-masalah kenegaraan, kemanusiaan, sistem ekonomi dan sebagainya. Termasuk di dalamnya adalah bidang pendidikan. Kelompok ini biasanya di juluki dengan kelompok “universalis”.
Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa islam hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Mengajak manusia kembali kepada kehidupan mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur, sedangkan urusan-urusan keduniaan, termasuk maslah pendidikan, manusia diberikan hak otonomi untuk mengaturnya berdasarkan kemampuan akal budi yang diberikan kepada manusia. Kelompok ini berpendapat bahwa pendidikan islam itu tidak ada, melainkan yang ada adalah pendidikan islami.
Pendidikan menurut kelompok ini secara epistimologis berada dalam kawasan yang bebas nilai, tidak mempunyai konteks dengan islam. Karena itu yang disebut pendidikan islam adalah pendidikan yang secara fungsional mampu mengemban misi islam, baik yang dikelola oleh kaum muslimin maupun yang bukan.
Ketiga, kelompok yang berpendapat bahwa islam bukanlah sebuah sistem kehidupan yang praktis dan baku, melainkan sebuah sistem nilai dari norma (perintah dan larangan) yang secara dinamis harus dipahami dan diterjemahkan berdasarkan setting sosial yang dinamis ruang dan waktu tertentu. Karena itu, secara praktis, dalam islam tidak terdapat sistem ekonomi, politik, dan lain sebagainya secara tersurat dan baku. Karena itu, dalam islam hanya terdapat pilar-pilar penyangga tegaknya sistem pendidikan islam, seperti tauhid sebagai dasar pendidikan, konsep manusia yang melahirkan dan memberi arah tentang tujuan pendidikan, serta konsep tentang ilmu yang merupakan isi baru proses pendidikan. Karena itu, tegaknya sistem pendidikan merupakan kawasan ijtihad, dan dibangun berdasarkan nilai-nilai islam tadi.
Menurut Abudin Nata, pendapat kedua dan ketiga lebih mendekati kepada prinsip-prinsip ajaran islam, anatara lain memudahkan dan mendorong kepada kemajuan. Dengan cara demikian, maka pendidikan islam dapat dilihat sebagai sebuah sistem yang dapat dikembangkan sepanjang zaman, dan tidak pernah mengenal batas akhir waktu. Dengan demikian, pendidikan islam akan tetap aktual dan responsif terhadap perkembangan yang terjadi di masyarakat. Namun sistem ini membawa akibat kepada para penganutnya untuk secara terus-menerus menggali ajaran islam dalam kaitannya dengan berbagai masalah yang terus berkembang dan bertambah kompleks. Tugas ini pada gilirannya memaksa para pakar pendidikan islam untuk terus mengembangkan kajiannya sesuai dengan tuntutan zaman. Jika tugas ini tidak direspon secara proporsional, maka tidak mustahil ajaran islam akan ditinggalkan para penganutnya, dan dinilai sebagi barang kuno yang sekedar menjadi perhiasan atau lebih tidak menguntungkan lagi menjadi barang rongsokan.
“Wallahu A’lam Bishawab”
0 Komentar