C.
Keistimewaan Dan Kelemahan Tafsir Ibnu Katsir
1.
Keistimewaan tafsir ibnu katsi
Keistimewaan tafsir Ibnu Katsir ini bisa kita jabarkan ke dalam beberap
point; pertama, nilai (isi) tafsir tersebut tidak hanya tafsir atsari saja
(bilma‟tsur), yang menghimpun riwayat serta khabar. Tapi beliau juga menghimpun
referensi yang lain. Kedua, menghimpun ayat-ayat yang serupa dengan menjelaskan
rahasia yang dalam dengan keserasiannya, keselarasan lafadnya, kesimetrisan
uslubnya serta keagungan maknanya. Ketiga,
menghimpun hadits dan khabar baik itu perkataan sahabat dan tabi‟in. Dengan menjelaskan
derajat hadits atau riwayat tersebut dari shahih dan dla‟if, dengan
mengemukakan sanad serta mata rantai rawi dan matannya atas dasar ilmu jarh wa
ta‟dîl. Pada kebiasaannya dia rajihkan aqwal yang shahih dan menda‟ifkan
riwayat yang lain. Keempat, keterkaitan tafsir ini dengan pengarangnya yang
mempunyai kafabilitas mumpuni dalam bidangnya. Ibnu Katsir ahli tafsir, tapi
diakui juga sebagai muhaddits, sehingga dia sangat mengetahui sanad suatu
hadits. Oleh karenanya, ia menyelaraskan suatu riwayat dengan naql yang shahih
dan akal sehat. Serta menolak riwayat yang munkar dan riwayat yang dusta, yang
tidak bisa dijadikan hujjah baik itu di dunia ataupun di akhirat kelak. Kelima,
jika ada riwayat israiliyat Ia mendiskusikannya serta menjelaskan kepalsuannya,
juga menyangkal kebohongannya dengan menggunakan konsep jarh wa ta‟dil. Keenam,
mengekspresikan manhaj al-salâfu al-shaleh dalam metode dan cara pandang,
sebagaimana yang tertera dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah.
2.
Kelemahan Tafsir Ibnu Katsir
Dari analisa di atas, menurut saya terdapat beberapa kekurangan
dalam penafsiran Al-Qur‟an yang dilakukan Ibnu Katsir, yaitu diantaranya kurang
membahas masalah I‟rab dan ketatabahasaan dalam menafsirkan aat-ayat dalam
Al-Qur‟an. Dari hasil penelitian yang dilakukan para peneliti dari ualama
al-Azhar terdapat beberapa catatan yang mengungkapkan adanya kesamaran dalam
karyanya yaitu Memang catatan yang ditujukan kepada tafsir ini tidak mengurangi
keilmiahan dan nilai tafsir ini -insya Allah-. Dalam hal ini, catatan tersebut
di uraikan sebagai berikut: 1. Kesalahan dalam penyandaran. Contohnya, dalam
tafsir surat Âli „Imrân:169. Ia menyebutkan riwayat Ahmad; tsana Abdul Samad,
tsana Hamâd, tsana Tsabit, „an Anas marfû‟an, “mâ min nafsin tamûtu laha…”
al-hadits. Ibn katsir berkata, “tafarrada bihi muslim min tharîq Hamâd“. Hadits
ini dikeluarkan oleh imam Muslim dari jalan Humed dan Qatadah dari Anas. Imam
Muslim tidak mengeluarkan hadits ini dari Tsabit melalui jalur Anas. Sebenarnya
yang meyendiri itu adalah riwayat Ahmad, “tafarrada bihi ahmad min tharîq
Hamâd“. 2. Kesalahan dalam nama sahabat yang meriwayatkan hadits, atau
penyandaran hadits kepada sahabat, padahal tidak terdapat hadits sahabat
tersebut dalam bab ini. Seperti, tafsir surat yusûf:5. Dalam penafsiran surat
ini, Ia mengungkapkan hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan sebagian
Ahli Sunan dari Muawiyyah ibn Haydah al-Qusyayrî sesungguhnya dia berkata,
Rasulullah bersabda, “al-Ru`ya „alâ rajuli thâ`ir mâ lam tu‟bar…..“. Seperti
inilah yang tertera dalam musnad Muawiyyah ibn Haydah yang diriwayatkan oleh
imam Ahmad. Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi dan Ibn Majah serta yang lainnya
meriwayatkan hadits dari Abi Rizin al- ‟Uqayli. Padahal hadits ini tidak
diriwayatkan dari Muawiyyah, melainkan dari Abi Rizin al-‟Uqayli. 3. Kesalahan
dalam mata rantai sanad. Contoh, tafsir surat al-An‟am:59 dari ibn Abi Hâtim
dengan sanadnya kepada malik ibn Sa‟îr, tsnâ al-A‟mas, dari Yazid ibn Abi Ziyad
dari Abdullah ibn al-Harits dia berkata, “mâ fî al-ardli min syajaratin….“. ibn
Katsir berkata, seperti inilah ibn Jarir meriwayatkan (11/13308), Ziyad ibn
Yahya al- Hasani Abu al-Khathab. Sementara dalam tafsir ibn katsir di dapati
bahwa yang meriwayatkan itu, Ziyad ibn Abdullah al-Hasani abu al-Khatab. Ini
jelas keliru, karena riwayat yang sebenarnya ialah Malik ibn Sa‟ir melalui
jalan Ziyad ibn Yahya al-Hasani abu al-Khatab dari Ziyad. 4. Kurang menyentuh
dalam menyandarkan riwayat. Contoh, sebagaimana yang Ia ungkapkan dalam
menafsirkan surat Âli „Imrân:180. Ia mengemukakan hadits, “lâ ya`ti al-rajulu
mawlâhu fayas`aluhu…“. Ibn Katsir merasa cukup menyandarkan dalam
periwayatannya kepada ibn Jarir dan Ibn Mardaweh. Padahal, hadits ini
diriwayatkan oleh imam Ahmad, Abu Dawud, Nasâ`i dan yang lainnya, yang lebih
utama untuk di sandarkan. 5. Lupa dalam menukil beberapa perkataan ulama.
Contonya, tafsir surat al-A‟raf:8. Ia menyebutkan hadits riwayat imam Tirmidzi.
Imam Tirmidzi mengomentari hadits ini dengan ungkapan, “rawâhu tirmidzi wa
shahhahahu“. Padahal yang sebenarnya ialah, “rawahu tirmidzi wa qâla, hadza
al-hadîts hasan gharîb“.
0 Komentar