Dengan posisinya sebagai sumber utama hokum Islam, maka al-Qur’an harus dipahami oleh seluruh umat Islam. Tetapi tidak semua orang mampu memahaminya dengan benar, karena keterbatasan dari segi akal ataupun ilmu pengetahuan yang dimiliki. Tafsir merupakan sebuah penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’an, merincinya dan mengambil hukumunya. Secara bahasa, para pakar ilmu tafsir mendefinisikan tafsir adalah menjelaskan dan menyingkap yang tertutup. Dalam kamus lisan al-Arab, tafsir berarti menyingkap maksud kata yang samar.
Berbicara sejarah Tafsir pada masa ini berarti dimulai pembahasannya pada masa dari tahun 21 H dengan ditandai kelahiran seorang tokoh mufassir besar yaitu Mujahid bin Jabir , hingga kira-kira pada tahun 159 H yang ditandai wafatnya seorang mufassir yaitu Hasan al-Basri. Pada masa ini, masih dikategorikan sebagai periode pertama dari perkembangan tafsir. Sejak kegiatan penafsiran Rasulullah Saw, penafsiran sahabat hingga sampai ke penafsiran di masa tabi’in.
Kurang lebih seratus tiga puluh delapan tahun penafsiran di masa tabi’in ini semakin menampakkan perkembangannya. Terbukti bahwa banyak dikalangan mufassir pada masa ini terlahirkan. Misalnya Mujahid bin Jabir, yang dilihat sebagai mufassir yang sangat diperhitungkan penafsirannya, baik penafsirannya itu sendiri maupun riwayat penafsirannya, serta menjadi pusat sandaran bagi murid-murid selanjutnya. Selain itu, ada lagi mufassir lain pada masa ini yang terkenal ketokohannya, baik dari Makkah seperti Said bin Zubair yang berguru pada Ibn ‘Abbas dari Madinah yaitu Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam yang berguru pada Ubay bin Ka’ab dan dari Irak seperti Al-Hasan Al-Bashriy, Amir Al-Sya’bi yang berguru pada Abdullah bin Mas’ud.
Jika dilihat dari model penafsirannya, para tabi’in mengacu pada sumber-sumber yang sudah ada pada pendahulunya, disamping ijtihad dan pertimbangan nalar mereka sendiri. Dikatakan demikian karena mereka menggunakan metode bil ma’tsur yaitu penafsiran diambil dari al-Qur’an itu sendiri dan sunnah Nabi serta kadangkala mereka menukil dari pendapat para pendahulunya.
Jika mereka tidak menemukan tafsir dengan metode ini, maka mereka mencendrungkan dirinya untuk berijtihad, mengingat mereka adalah orang Arab asli yang menguasai bahasa Arab, memahaminya dengan baik dan mengetahui aspek-aspek ke-balaghah-an yang ada di dalamnya.
Menurut sebagian pengamat sejarah tafsir pada masa tabi’in, penafsiran al-Qur’an aliran Makkah dan Madinah cenderung bercorak tradisionalis, dalam arti lebih banyak menggunakan riwayat. Sedangkan aliran irak cenderung bercorak rasional sehingga memunculkan model tafsir bi ar-ra’yi. Menurut syeikh Manna al-Qaththan, tafsir bi ar-ra’yi adalah tafsir yang dalam penjelasan maknanya atau maksudnya, mufassir hanya berpegang kepada pemahamannya sendiri, pengambilan kesimpulan (istinbath) nya didasarkan pada logikanya semata.
Hal ini boleh jadi kondisi geografis irak yang cukup jauh dari Madinah ( sebagai pusat studi hadist) sehingga mereka cenderung menggunakan ijtihad ketika tidak ditemukan riwayat. Selain itu, secara politis, tradisi penafsiran yang cenderung rasional itu mendapati dukungan dari gubernur ‘Amar ibn Yasir yang diangkat oleh Umar ibn Khattab. Dia adalah seorang sahabat yang rasional.
Wallahu A’lam Bisshawab
0 Komentar