TAFSIR PADA MASA SHAHABAT
Mengetahui tafsir adalah hal yang sangat penting, maka para sahabat sangat bersungguh-sungguh dalam mempelajari al-Qur’an, yakni menghayati dan memahami maknanya.
Isya Ibn Mu’awiyah berkata: “orang-orang yang membaca al-Qur’an sedang mereka tidak mengetahui tafsirnya adalah seumpama orang yang datang kepadanya sebuah surat dari raja pada malam hari, sedang mereka tidak mempunyai pelita. Mereka dipengaruhi ketakutan dan mereka tidak mengetahui isi kitab itu. Orang-orang yang mengetahui tafsirnya adalah seumpama seorang yang dibawa kepadanya sebuah lampu, lalu mereka dapat membaca apa yang tertulis dalam surat itu.”
Mempelajari tafsir tidak sukar bagi para sahabat karena mereka menerima al-Qur’an langsung dari Shahib ar-Risalah dan mempelajari tafsir al-Qur’an pun dari beliau sendiri.
Menurut pendapat ulama, kondisi pemahaman para sahabat terhadap ayat al-Qur’an dapat dibedakan dalam dua kelompok:
1. Ibnu Chaldun dalam muqaddimahnya menyebutkan bahwa semua sahabat memiliki pemahaman yang sama terhadap al-Qur’an. Karena al-Qur’an itu turun dengan bahasa mereka sendiri.
2. Ibnu Quthaibah dalam risalahnya al-Masaa’ilu wal Wajibat yang didukung oleh Amin al-Khuly menyebutkan bahwa orang Arab termasuk juga para sahabat, berbeda pengertian dan pemahamannya terhadap keseluruhan dari isi al-Qur’an, karena meskipun al-Qur’an itu menggunakan bahasa mereka akan tetapi di dalamnya terdapat lafaz-lafaz gharib dan musykil yang pengetahuannya hanya dapat diperoleh dari penjelasan Nabi saw. bahkan antara pribadi sahabat yang satu dengan yang lain tentu tidak setingkat kualitasnya dalam memahami al-Qur’an.
Dari kedua pendapat di atas, nampaknya pendapat kedua yang lebih realistis, karena di samping para sahabat memiliki tingkatan kecerdasan yang tidak sama, juga ada faktor lain yang menyebabkan tingkat pemahaman mereka berbeda yaitu: (1) Penguasaan bahasa, (2) Intensitas dalam mendampingi Nabi saw., dan (3) Pengetahhuan tentang orang-orang Yahudi dan Nasrani di Jazirah Arab pada waktu diturunkan al-Qur’an.
Sumber-sumber penafsiran para Sahabat
Secara garis besar para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an menggunakan 4 sumber, yaitu Al-Qur’an, Hadis Nabi, Ijtihad, dan keterangan Ahli Kitab.
1. Al-Qur’an
Sumber utama penafsiran mereka adalah al-Qur’an itu sendiri. al-Qur’an itu ibarat jalinan kalung yang satu dengan yang lainnya saling terkait dan saling menjelaskan. Oleh karena itu, orang yang akan menafsirkan al-Qu’an, pertama kali harus memperhatikan penafsiran dalam al-Qur’an. Karena bila ditelaah semua ayat al-Qur’an, maka diantara ayat-ayat itu ada yang mujmal, mubayyan, muthlaq, muqayyad, umum dan ada yang khusus.
2. Hadis Nabi
Sumber kedua ialah hadis Nabi karena banyak hadis yang merupakan penjelasan terhadap ayat-ayat yang musykil yang ditanyakan sahabat kepada Nabi saw. Sebagai contoh lafadz المغضوب عليهم (mereka yang dimurkai) ialah Yahudi sedangkan الضالين (mereka yang sesat) ialah Nasrani (Hadits riwayat Ahmad, Turmudzy dari ‘Adi bin Hibban)
Namun hadis yang digunakan sebagai sumber penafsiran juga harus diteliti keotentikannya, apakah ia benar-benar hadis dari Nabi atau bukan.
3. Ijtihad
Sahabat apabila tidak mendapatkan penafsiran dari al-Qur’an dan juga Hadist, maka mereka berusaha menafsirkan dengan ijtihad dan istimbath.[11] Di antara sahabat yang menfsirkan al-Qur’an dengan ijtihad adalah Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas sedang yang tidak membenarkan penafsiran dengan ijtihad ialah Abu Bakar ra. dan Umar bin Khattab ra.
4. Keterangan Ahli Kitab
Sebagaiman telah kita ketahui bahwa terdapat persamaan antara al-Qur’an dengan kitab Taurat dan Injil dalam beberapa masalah tertentu, seperti dalam hal cerita-cerita para Nabi dan umat-umat terdahulu. Tetapi biasaya cara al-Qur’an mengungkapkan cerita-cerita tersebut tidaklah mendetail, bahkan biasanya hanya secara global.[13] Hanya saja sebagian para sahabat ada yang senang melakukan pencarian mengenai cerita-cerita yang tidak ada keterangannya di dalam al-Qur’an kepada ahli kitab yang telah masuk Islam seperti Abdus Salam dan Ka’b al-Ahbar. Pengambilan cerita itupun terpaksa karena Nabi tidak menjelaskannya secara mendetail karena para sahabat ingin menegetahui sebab penciptaan langit, bumi dan sebagainya. Dan itupun hanya sebagian kecil saja, dan tidak bertentangan dengan aqidah Islam.
Pada mulanya para sahabat yang berijtihad dengan keterangan-keterangan Yahudi dan Nasrani hanya ingin menunjuk kepada kebenaran Nabi, seperti Abdullah bin Umar meriwayatkan isi kitab Taurat semata-mata untuk menguatkan keterangan dan menantang orang-orang ahli kitab. Akan tetapi setelah beberapa waktu berlalu, berpindahlah fungsi israiliyyat dari fungsi ijtihad kepada fungsi takwil, takhrij, dan tafsir yang memalingkan maksud al-Qur’an kepada maksud yang sesuai riwayat-riwayat itu, dan terbukalah pintu bagi orang seperti Yuhanna ad-Dimasyqi untuk merusakkan makna-makna al-Qur’an.
Karakteristik Tafsir Pada Masa Sahabat
1. Al-Qur’an tidak ditafsirkan semua, hanya sebagian pengertian saja yang dianggap sukar, sehingga penafsiran itu berkembang sedikit demi sedikit berdasarkan pada problema yang ada. Sampai suatu waktu menjadi sempurna
2. Sedikitnya perbedaan dalam memahami lafazh al-Qur’an.
3. Mencukupkan penafsirannya secara tafsir global, tafsir ijmaliy.
4. Membatasi penafsiran dengan penjelasan berdasarkan makna bahasa yang primer.
5. Tidak ada penafsiran secara ‘ilmi, fiqhi, dan madzhabi. Sebab hal tersebut baru muncul setelah masa sahabat.
6. Tak adanya pembukuan tafsir, sebab pembukuannya baru ada setelah abad ke—II H. Meskipun sebenarnya sudah ada shahifah yang berisi tafsir, tapi para ulama menganggapnya hanya sebagai catatan belaka.
7. Penafsiran saat itu merupakan bentuk dari perkembangan hadis.
Dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an sahabat berbeda pengertian dan pemahaman, karena meskipun al-Qur’an itu menggunakan bahasa mereka akan tetapi di dalamnya terdapat lafaz-lafaz gharib dan musykil yang pengetahuannya hanya dapat diperoleh dari penjelasan Nabi saw. bahkan antara pribadi sahabat yang satu dengan yang lain tentu tidak setingkat kualitasnya dalam memahami al-Qur’an. Sumber penafsiran mereka ada 4, yaitu: 1) Al-Qur’an, 2) Hadis Nabi, 3) Ijtihad, dan 4) Keterangan Ahli Kitab.
Hasil tafsiran para sahabat bernilai sama dengan marfu’ jika berhubungan dengan asbabun nuzul atau tentang suatu masalah yang tidak bisa dimasuki akal. Adapun jika bisa dimasuki akal maka nilai mauquf selama tidak ada bukti penyandaran kepada Nabi saw. Cakupan penafsiran pada masa ini masih secara global, tafsir ijmaliy, dan belum ada penafsiran secara ‘ilmi, fiqhi, dan madzhabi.
Urutan mufassir yang paling banyak penafsirannya ialah, 1) Ibnu Abbas, 2) Ibnu Mas’ud, 3) Ali bin Abi Thalib, dan 4) Ubay bin Ka’ab.
Ibnu Abbas inilah yang terkenal dengan julukan Bahrul Ilm (lautan ilmu), Habrul Ummah (Ulama Umat) dan Turjuman Al-Qur’an (Juru tafsir Al-Qur’an.
0 Komentar