HAJI SUNNAH DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL
Muhammad Qadri
603201010030
Dirangkum dari buku yang berjudul Al-qur’an dan Isu-isu Kontemporer yang dikarang oleh Suryadharma Ali menuliskan bahwa sejarah mencatat bahwa Rasulullah SAW menunaikan ibadah haji hanya satu kali, pada tahun 10 H, meskipun beliau memiliki kesempatan untuk melakukan haji tidak kurang dari tiga kali. Hal ini ini didasarkan pada kenyataan bahwa kaum Muslimin berhasil membebaskan kota Makkah dari cengkraman kaum musyrik pada tahun 8 H (fath makkah). Demikian juga ibadah umrah Nabi memiliki kesempatan ratusan kali untuk dapat melaksanakan ibadah umrah, namun sepanjang hidup beliau hanya berumrah sebanyak 4 kali. Hal ini didasarkan laporan yang disampaikan oleh sahabat Anas bin Malik yang ketika ditanya oleh Qatadah dijawab bahwa nabi berumrah empat kali; pertama umrah Hudaibiyah (6 H) di bulan Zulkaidah saat dihalang-halangi oleh kaum musyrikin, kedua umrah yang dilakukan pada tahun berikutnya (7 H) juga pada bulan Zulkaidah, ketiga Ji’ranah pada saat pembagian harta rampasan perang Hunain, dan ketika Qatadah bertanya lagi tentang berapa kali Rasulullah berhaji, Anas bin Malik menjawab satu kali.
Pertanyaan yang tersisa adalah mengapa Nabi beribadah haji hanya satu kali padahal beliau mempunyai kesempatan untuk beribadah haji tiga kali? Hal ini menarik untuk ditelusuri apabila dikaitkan dengan fenomena dalam masyarakat yang diduga senang untuk melaksanakan haji berkali-kali padahal ini adalah sunnah hukumnya. Di sisi lain masih banyak kaum Muslim yang sangat perlu untuk mendapatkan uluran tangan.
Dalam keadaan kaum Muslim yang masih seperti itu maka apakah wajar seorang Muslim berkali-kali haji? Bagaimana seyogianya menyikapi fenomena tersebut dalam masyarakat Muslim? Bagaimana dengan jenis ibadah sosial yang sebenarnya tidak kalah istimewanya dengan ibadah haji?
Salah satu ciri seseorang dinilai berilmu adalah mengetahui prioritas dalam beramal. Dengan mengetahui tingkatan prioritas amal, maka seorang muslim akan dapat memilih mana amal yang paling penting di antara yang penting, yang lebih utama di antara yang biasa dan mana yang wajib di antara yang sunnah
Sesuatu yang patut disyukuri adalah, bahwa girah (semangat) kaum muslimin Indonesia dalam pemenuhan kewajiban pelaksanaan ibadah haji sangat menggembirakan. Dari tahun ke tahun, jumlah jamaah haji Indonesia selalu mengalami peningkatan signifikan. Pada tahun 2009 total jamaah haji Indonesia berjumlah 207 ribu orang. Dan pada tahun 2010, bertambah menjadi 211 ribu jamaah. Bahkan kemudian Indonesia diberi tambahan 10 ribu lagi sehingga jamaah haji yang berangkat ke Tanah Suci sebanyak 221.000 jamaah. Ditambah petugas sejumlah 3.500 orang, maka jumlah total jamaah yang berangkat sebanyak 224.500 calon haji. Belum lagi kalau dilihat jamaah calon haji yang baru masuk daftar tunggu yang jumlahnya lebih besar dari yang bisa diberangkatkan oleh Pemerintah Indonesia.
Bagi sementara orang, untuk dapat menunaikan ibadah haji, berbagai usaha dilakukan. Dari menyisihkan setiap rezeki yang Allah berikan, mengikuti program-program tabungan haji perbankan, hingga tidak sedikit yang rela menjual rumah tempat tinggal yang dimilikinya dan menukar dengan kediaman yang lebih sederhana. Sebuah usaha yang pantas diberi apresiasi.
Di sisi lain, ada masalah yang perlu direnungkan. Di saat banyak masyarakat di sekelilingnya hidup di bawah garis kemiskinan, tidak sedikit di antara para jamaah haji itu yang menunaikan ibadah haji untuk yang ke sekian kalinya. Data Badan Pusat Statistik RI, menyebutkan hingga Maret 2010, jumlahnya mencapai angka 31,02 juta jiwa, atau 13,33 persen. Tujuan ibadah haji adalah mendidik jiwa muslim untuk memiliki rasa empati terhadap saudara seiman. Seluruh rangkaian manasik pada dasarnya mengajarkan agar seseorang memiliki kepedulian dan tanggung jawab terhadap lingkungan sosialnya. Kemudian apa yang diperoleh dari menunaikan ibadah haji, jika rasa ingin memberi pada mereka yang faqir tak juga dimiliki?
Tidak ada larangan bagi siapa saja yang hendak berhaji sunnah. Bahkan, untuk yang ke berapa pun. Karena itu bernilai sunnah; jika dilaksanakan tetap mendatangkan pahala. Tetapi, bila di sekitar orang yang hendak menunaikan haji untuk kesekian kalinya itu ada yang sangat kekurangan, apa lagi kelaparan, masihkah berketatapan hati untuk menunaikan niat tersebut? Berangkat haji sunnah dan meninggalkan tetangga, handai taulan dalam rintihan-rintihan kelemahan?
Secara umum ibadah dalam Islam dari segi kegunaannya dapat dibedakan menjadi dua; ibadah yang bersifat individual dan yang bersifat sosial. Manakah yang lebih utama (afdal) apakah ibadah individual atau yang bersifat sosial. Dalam hal ini mana yang lebih utama ibadah haji yang sunnah ataukah membelanjakannya untuk keperluan sosial?
Untuk menjawab pertanyaan di atas perlu disampaikan prinsip-prinsip penting dalam agama yang berkaitan dengan hal tersebut, di antaranya;
Prinsip Pertama; ibadah sunnah akan diterima Allah, apabila ibadah wajib sudah dikerjakan. Allah subhanahu wa ta'ala tidak akan menerima ibadah sunnah dari seseorang sebelum dia melaksanakan yang wajib. Berdasarkan prinsip ini maka seseorang yang melaksanakan ibadah haji sunnah sedangkan dia masih memiliki kewajiban kewajiban yang semestinya ditunaikan, namun dia abaikan, maka ini adalah sebuah kekeliruan. Menunaikan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan hartanya tersebut haruslah diprioritaskan.
Imam Ar-Rägib al-Asfahani menyatakan seperti yang dikutip Yusuf al-Qaradawi: ketahuilah sesungguhnya ibadah itu lebih luas daripada kemuliaan. Setiap perbuatan yang mulia adalah ibadah, dan tidak setiap ibadah itu mulia. Di antara perbedaan kedua hal ini adalah bahwa ibadah mempunyai perkara-perkara fardu yang telah diketahui dan batas-batas yang telah ditetapkan. Barang siapa yang meninggalkannya, maka dia dianggap melanggar batas. Sedangkan perbuatan mulia adalah sebaliknya; manusia tidak akan sempurna kemuliaannya selama dia belum melakukan kewajiban-kewajiban dalam ibadahnya. Oleh karena itu, melaksanakan kewajiban dalam ibadah merupakan sesuatu yang adil, sedangkan melaksanakan kemuliaan adalah sesuatu yang bersifat sunnah. Perbuatan yang sunnah tidak akan diterima oleh Allah dari orang yang mengabaikan hal-hal yang wajib. Dan orang yang meninggalkan kewajiban, tidak dianjurkan untuk mencari keutamaan dan kelebihan, karena mencari kelebihan tidak dibenarkan kecuali setelah seseorang melakukan keadilan.Sesungguhnya keadilan adalah sesuatu yang wajib dan kemuliaan adalah tambahan atas yang wajib. Bagaimana mungkin ada tambahan terhadap sesuatu yang dia sendiri masih kurang, Oleh karena itu benarlah ucapan: "orang yang mengabaikan perkara perkara yang pokok tidak akan sampai kepada tujuan." Dalam kaitan ini para ulama memberikan nasehat: Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amalan sunnah sebelum amalan fardu dikerjakan. Siapa yang sibuk melakukan amalan fardu, sehingga meninggalkan amalan yang sunnah maka ia diampuni (ma'zur). Tetapi siapa yang sibuk melakukan amalan sunnah, sementara yang wajib ditinggalkan maka ia tertipu (magrur).
Prinsip Kedua; Mencegah kerusakan harus didahulukan daripada meraih kemaslahatan (Dar'ul-Mafasid Muqaddam 'ala jalbil-Masalih) Keinginan untuk mendapatkan pahala dari mengerjakan ibadah haji sunnah tersebut, ternyata dapat mendatangkan kerugian dan mudarat bagi orang lain yang akan menunaikan kewajiban hajinya;
Pertama, Hal ini didasarkan kepada realitas bahwa untuk dapat menunaikan haji harus menunggu bertahun-tahun karena terbatasnya kuota yang diberikan oleh pemerintah Saudi Arabia. Pembatasan kuota tersebut tentu bertujuan untuk kemaslahatan bersama. Maka bagi orang yang melaksanakan ibadah haji sunnah, maka berarti telah mengambil jatah kuota bagi yang ingin melaksanakan kewajiban hajinya. Hal ini tentu saja adalah sebuah kezaliman. Prinsip di atas mengajarkan bahwa menghindari kezaliman dan keburukan harus didahulukan daripada mengambil maslahat, apalagi kalau itu hanya untuk kemaslahatan yang bersifat individual.
Kedua, semakin banyak orang yang melaksanakan ibadah haji sunnah, maka akan menambah daftar panjang masalah yang terjadi pada puncak ibadah haji. Jutaan orang yang berkumpul dalam waktu dan tempat yang sama akan rentan mendatangkan aneka masalah, termasuk berbagai macam penyakit dan kemungkinan terjadinya kecelakaan yang dapat menimbulkan korban jiwa. Kalau yang meninggal tersebut adalah kepala keluarga, maka betapa banyak perempuan yang akan menjadi janda dan anak-anak yang menjadi yatim.
Prinsip Ketiga; dalam urusan agama haruslah dirujuk kepada pendapat para ulama yang kompeten.Yang dimaksud dengan ulil amri dalam urusan agama adalah para ulama yang memiliki otoritas. Tentang Pelaksanaan ibadah haji sunnah tersebut inilah beberapa pendapat ulama;
Ibnu Taimiyah berpendapat; Jika seseorang memiliki banyak kerabat yang kurang mampu maka bersedekah untuk mereka lebih utama daripada mengerjakan haji sunnah. Demikian juga apabila di sekelilingnya banyak orang yang membutuhkan uluran tangan maka bersedekah kepada mereka itu lebih utama. Ketika kondisi kaum muslimin sedang kesulitan dan sangat membutuhkan dana, maka menginfakkan harta adalah lebih baik, dan bisa jadi merupakan suatu hal yang wajib dilakukan. Contohnya: ketika saudara-saudara kita mengalami musibah bencana alam. Muhammad Salih Usaimin menyatakan; "Menurut pendapat kami dalam masalah ini adalah bahwa manusia berhaji dan memohon pertolongan kepada Allah untuk melaksanakan haji, melaksanakan segala kewajiban haji, berusaha agar tidak me nyakiti seseorang dan tidak disakiti sebatas kemampuan adalah benar. Andaikan ada maslahat yang lebih bermanfaat dari pada haji, seperti sebagian kaum muslimin membutuhkan dana untuk jihad fisabilillah, maka jihad fi sabilillah adalah lebih utama dari pada ibadah haji sunnah. Dalam kondisi ini, dana itu di alokasikan untuk para mujahidin fi sabilillah. Atau ada bencana kelaparan yang menimpa kaum muslimin, maka di sini mengalokasikan dana untuk membantu kelaparan lebih utama dari pada haji sunnah.”
Dari penjelasan di atas dapat dinyatakan bahwa amal-amal bersifat sosial memiliki keutamaan yang lebih tinggi diban yang dingkan dengan amal yang tidak bersifat sosial. Ada kesan yang muncul dalam masyarakat di kalangan kaum muslimin bahwa keimanan dan kesalihan seseorang yang menjadi ukuran utama nya adalah ibadah ritual yang bersifat pribadi. Salah satu buktinya adalah banyaknya orang yang melakukan ibadah haji sunnah yang berulang-ulang seperti yang menjadi fokus bahasan tulisan ini. Pandangan tersebut nampaknya tidak sepenuhnya benar, bahkan yang terjadi justru sebaliknya, yaitu keimanan dan kesalihan itu ukurannya adalah amal-amal sosial. Perilaku sosial yang bertanggung jawab, dengan tanpa meninggalkan ibadah ritual yang bersifat individu yang memang menjadi kewajibannya. Begitu banyak ayat Al-Qur'an yang dapat dirujuk untuk menunjukkan betapa Al Qur'an memberi perhatian amat serius terhadap keutamaan amal-amal sosial, di antaranya;
Ayat-ayat yang membicarakan ciri-ciri orang yang bertakwa secara umum menekankan bahwa ketakwaan tersebut tidak hanya dapat diraih dengan menjalankan ibadah ritual, namun harus melaksanakan amal-amal sosial. Allah berfirman dalam surah al-baqarah ayat 177 yang artinya "Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allab, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sabaya, yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”.(al-Baqarah/2: 177)
Para mufasir berbeda pendapat tentang siapa mitra bicara ayat tersebut. Ada yang menyatakan bahwa ayat tersebut ditujukan kepada Ahlu Kitab. Apabila melihat konteks ayat sebelum nya, pendapat ini memang tidak keliru, terlebih ketika melihat sikap keras mereka untuk tetap menghadap ke al-Quds, Yerussalem dimana terdapat Dinding Ratapan. Juga sikap mereka yang tidak henti-hentinya mengecam dan mencemooh kaum muslimin yang beralih kiblat ke Mekah. Ayat ini seakan berkata kepa da mereka: "Bukan demikian yang dinamai kebajikan,...". Ada juga yang berpendapat bahwa ayat ini ditujukan kepada kaum muslimin, ketika mereka menduga bahwa mereka telah meraih harapan mereka dengan beralihnya kiblat ke Mekah seperti yang diisyaratkan oleh ayat-ayat sebelumnya.
Terlepas dari siapa khitab ayat tersebut yang jelas ayat ini mejelaskan secara rinci tentang hakikat kebajikan dan ciri-ciri orang yang bertakwa. Kebajikan yang semestinya menjadi ciri utama orang yang bertakwa itu bukanlah sekedar melaksanakan rangkaian ibadah ritual semata, misalnya salat. Namun kebajikan yang sempurna itu adalah keimanan yang sempurna seperti yang diajarkan oleh Allah. Sebagai wujud dari keimanan tersebut adalah berperilaku sosial yang bertanggung jawab antara lain kesediaan mengorbankan kepentingan pribadi demi orang lain, sehingga bukan hanya memberi harta yang sudah tidak disenangi atau tidak dibutuhkan, meskipun ini tidak dilarang, tetapi memberikan harta yang dicintainya secara tulus dan demi meraih cinta-Nya kepada kerabat, anak-anak yatim, orang miskin, musafir yang memerlukan pertolongan, dan orang-orang yang meminta-minta, dan juga memberi untuk tujuan memerdekakan hamba sahaya, Juga harus memiliki tangung jawab sosial untuk selalu menepati janji apabila ia berjanji dan juga bersikap sabar dalam menjalani hidup. Orang yang bertakwa adalah orang yang mengerjakan salat secara baik dan sempurna.
Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa untuk aspek ke imanan disebut secara rinci demikian juga untuk aspek sosial lebih rinci lagi. Sedangkan untuk aspek ritual yang bersifat individu hanya disebut satu saja yaitu salat yang memang menjadi tiang agama.
Banyak Hadis Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam yang memberi isyarat tentang pentingnya seorang muslim memiliki tanggung jawab sosial, di antaranya Rasulullah bersabda yang artinya: "Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal cinta kasih dan rahmat serta ketulusan hati mereka bagaikan satu badan. Apabila satu anggota badan tersebut sakit maka rasa sakit tersebut akan menjalar ke seluruh tubuh sehingga tidak dapat tidur dan panas." (Riwayat al-Bukhari dari an-Nu'man bin Basyir)
Imam an-Nawawi ketika mengomentari hadis tersebut menyatakan bahwa sudah sangat jelas bagi setiap muslim agar saling mengasihi dan selalu menjalin kerjasama dalam kebaikan dan menghindari untuk bekerja sama dalam perbuatan dosa. Hadis di atas menunjukkan bahwa setiap muslim memiliki tanggung jawab sosial yang harus ditunaikan.
Dari hadis-hadis di atas tidak ada keraguan lagi untuk menyimpulkan betapa Islam begitu peduli terhadap ditunaikannya tanggung jawab sosial. Wallahu a'lam bis-sawab.
0 Komentar