KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
(KDRT)
Nama: Saipullah
Prodi : IAT (ILMU AL -Qur’an dan Tafsir)
Nim : 603201010021
Kekerasan dalam rumah tangga adalah sebuah fenomena yang semakin marak terjadi dalam keluarga muslim. Kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi di antara anggota keluarga, antara suami dan istri , atau antara orang tua dan anak, atau antara keluarga dengan pembantu. Tindak kekerasan kepada siapapun dilarang dalam islam, apalagi tindakan tersebut dalam rumah tangga.
Islam mengajarkan supaya seseorang berlaku baik kepada anggota keluarganya, dan melarang melakukan tindak kekerasan terhadap anggota keluarganya. Al-Qur’an menjelaskan dalam surah at-Tahrim/ 66: 6:
يآيها الذين امنوا قوا انفسكم واهليكم نارا وقودها الناس والحجارة عليها ملائكة غلاظ شداد لا يعصون الله ما امر هم ويفعلون ما يؤمرون
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluarga mu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang di perintahkan. (at-Tahrim/66: 6)
Ayat ini menurut Quraish shihab, Walaupun secara tidak redaksional tertuju kepada kaum pria (ayah), tetapi tertuju juga kepada perempuan dan lelaki (ibu dan ayah). Ini berarti kedua orang tua bertanggung jawab terhadap anak-anak dan juga pasangan masing-masing sebagaimana masing -masing bertanggung jawab atas kelakuannya. Ayah atau ibu sendiri tidak cukup untuk menciptakan satu rumah tangga yang diliputi oleh nilai-nilai agama serta dinaungi oleh hubungan yang harmonis.
Dalam konteks rumah tangga, suami memiliki kewajiban untuk mendidik istri dan anak-anaknya agar taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Rumah tangga (keluarga) adalah fondasi sebuah negara. Dari keluargalah akan tercipta kader-kader bangsa. Manakala keluarga itu rusak maka akan berbahaya terhadap eksistensi negara. Sesungguhnyalah rumah tangga bukan tempat (ajang) melampiaskan emosional suami terhadap istri, atau sebaliknya maupun terhadap anggota keluarga lainnya, tetapi, rumah adalah tempat yang aman, tempat dimana kehangatan selalu bersemi. Didalamnya terdapat pasangan suami-istri yang salaing mencintai. Maka dengan demikian, KDRT yang merupakan salah satu faktor rusaknya keluarga merupakan penyakit bersama bukan pribadi. Sebab, bahayanya meliputi seluruh anggota masyarakat, untuk itu, semua pihak berkewajiban untuk membantu dalam menanggulangi kekerasan dalam rumah tangga.
Dalam mendidik istri dan anak-anak, mungkin terpaksa dilakukan dengan “pukulan” “pukulan” dalam konteks pendidikan atau ta’dib ini dibolehkan dengan batasan-batasan dan kaidah tertentu dengan jelas. Kaidah itu antara lain: pukulan yang diberikan bukan pukulan yang menyakitkan, apalagi sampai mematikan; pukulan hanya diberikan jika tidak ada cara lain (atau semua cara sudah ditempuh) untuk memberi hukuman/ pengertian; tidak boleh memukul ketika dalam keadaan sangat marah ( karna di khawatirkan akan membahayakan); tidak memukul pada bagian- bagian tubuh vital semisal wajah, kepala dan dada; tidak boleh memukul lebih dari tiga kali pukulan (keculi sangat terpaksa dan tidak melebihi sepuluh kali pukulan); tidak boleh memukul anak di bawah usia 10 tahun; jika kesalahan baru pertama kali dilakukan, maka diberi kesempatan bertobat dan minta maaf atas perbuatannya,dan lain lain.Dengan demikian jika seorang ayah yang memukul anaknya (dengan tidak menyakitkan) karena si anak sudah berusia 10 tahun lebih namun belum mengerjakan sholat, tidak dapat dikatakan ayah tersebut telah menganiaya anaknya, sejauh pukulan yang di lakukan bukanlah pukulan yang menyakitkan, namun dalam rangka mendidik.
Demikian pula istri yang tidak taat kepada suami atau nusyuz misalnya ia tidak mau melayani suami padahal tidak ada uzur (sakit atau haid), maka tidak bisa disalahkan jika suami memperingatkannya dengan “pukulan” yang tidak menyakitkan. Atau istri yang melalaikan tugasnya sebagai ibu rumah tangga karena disibukkan berbagai urusan di luar rumah, maka bila suami melarangnya ke luar rumah bukan berarti bentuk kekerasan terhadap perempuan. Dalam hal ini bukan berarti suami telah menganiaya istri melainkan justru untuk mendidik istri agar taat pada syariat.
Namun di sisi lain, selain kewajiban taat pada suami, wanita boleh menuntut hak-haknya seperti nafkah, kasih sayang, perlakuan yang baik dan sebagainya. Seperti sabda nabi sallallahu alaihi wasalam:
وإن لزوجك عليك حقا (رواه البخارى عن عبد الله بن عمرو بن العاص)
Sesungguhnya istrimu memiliki hak atasmu yang harus kau tunaikan. ( riwayat Al-Bukhari dari Abdullah bin Amru bin ‘As).
Sejalan dengan itu dibutuhkan relasi yang jelas antara suami dan istri, dan tidak bisa disamaratakan tugas dan wewenangnya. Suami berhak menuntut hak-haknya, seperti dilayani istri dengan baik. Sebalaiknya, suami memiliki kewajiban untuk mendidik istri dan anak-anaknya, memberikan nafkah yang layak dan memperlakukan mereka dengan cara yang makruf.
Sesungguhnya rasulullah sallallahu alaihi wa salam, telah memberi contoh sebagai suami dan pemimpin keluarga yang baik. Beliau bersabda:
اكمل المؤمنين ايمانا احسنهم خلقا, و خياركم لنسائهم .(رواه الترمذي عن ابي هريرة)
Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orng yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik bagi istrinya. (Riwayat at-Tirmizi dari abu Hurairah)
Rasulullah sallallahu alaihi wa salam memperingatkan para sahabat agar tidak melakukan kekerasan terhadap para istri. Diriwayatkan bahwa pada zaman nabi, ada sebagian sahabat yang memukul istrinya, kemudian rasulullah melarangnya. Namun umar bin khattab mengadukan atas bertambah beraninya wanita-wanita yang nusyuz (durhaka kepada suaminya), sehingga rasul memberikan rukhsah untuk memukul mereka. Para wanita berkumpul dan mengeluh dengan hal ini, kemudian Rasulullah sallallahu alaihi wa salam bersabda: “sesungguhnya mereka itu (yang suka memukul istrinya) bukan orang yang baik di antara kamu.” (Riwayat abu daud, an-Nasa’i dan Ibnu Majah).
0 Komentar