Etika Lingkungan Hidup Perspektif Al-Qur’an | Rian Nur Diansyah

Pictures: Obatrindu.com

 

Fenomena kerusakan bisa terjadi akibat dua hal yakni secara alamiah dan sebab manusia. Kerusakan dalam hal alamiah nantinya akan terjadi pergantian secara alamiah pula, ibarat pohon yang mati ssudah meninggalkan benihnya terlebih dahulu ang nantinya meggantikannya. Sedangkan kerusakan sebab manusaia ini bisa berupa ekploitasi, misal eksploitasi hutan dengan menebang pohon tanpa menanamnya kembali. Akibatnya huta gundul dan lambat laun bisa menimulkan bencana alam, entah itu longsor ataupun yang lainnya. Namu hal itu memng sudah dijelaskan melalui firman Allah swt “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Q.S. Ar-Rum: 41).(Khaeron, 2014: 94-95).

Adanya kasus perusakan lingkungan yang menandakan kurang bersahabatnya manusia dengan lingkungan sekitarnya. Sebagai umat muslim kita hendaknya bisa membantu menyelesaikan permasalahan tersebut dengan bertika secara baik dan berpedoman secara al-Qur’an. Etika sendiri merupakan bagian filsafat yang meliputi hidup baik, menjadi orang yang baik, berbuat baik, dan menginginkan hal-hal yang baik dalam hidup. Kata “etika” menunjuk dua hal, yang pertama: disiplin ilmu   yang   mempelajari   nilai-nilai   dan   pembenarannya.   Kedua,   pokok permasalahan   disiplin   ilmu   itu   sendiri   yaitu   nilai-nilai   hidup   kita   yang sesungguhnya dan hukum-hukum tingkah laku kita. Adapun arti etika dari segi istilah telah dikemukakan para ahli dengan ungkapan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya.

Sedangkan   makna   lingkungan   adalah   semua   kondisi   dan   faktor eksternal  (baik  hidup  maupun  tidak  hidup)   yang   mempengaruhi  semua organisme,  atau  suatu  sistem  kompleks  yang  berada  diluar  individu  yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan organisme. Secara alamiah manusia berinteraksi dengan lingkungannya, manusia sebagai  pelaku  sekaligus  dipengaruhi  oleh  lingkungan  tersebut.  Perlakuan manusia   pada   terhadap lingkungannya   sangat   menentukan  keramahan lingkungan terhadap  lingkungannya  sendiri.  Manusia  dapat  memanfaatkan lingkungan  tetapi  perlu  memelihara  lingkungan  agar  tingkat  kemanfaatannya bisa dipertahankan bahkan ditingkatkan(Masitoh, 2015: 257-258).

Agar kemanfatan lingkungan bisa ditingkatkan maka dimensi non-fisik justru lebih penting yaitu aspek keimanan (shaleh secara individual) dan aspek amal shalih (shaleh secara sosial). Tegasnya, manusia berpotensi menjadi lebih rendah ketika dua dimensi tersebut tidak tertampilkan dalam diri manusia. Sebagaimana dinyatakan dalam dalam firman Allah swt:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

“Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S. An-Nahl: 16 : 97).

Inti dalam penafsiran Ibnu Katsir ayat di atas menegaskan ada tiga variabel dalam ayat tersebut terkait dengan kehidupan yang berkualitas. Yaitu: berbuat baik (‘amal salih), religiusitas (al-iman) dan kehidupan yang berkualitas (hayatan tayyibatan). Ketiga variabel tersebut merupakan mata rantai yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Maka kehidupan berkualitas baik di dunia maupun di akhirat hanya diperuntukkan bagi orang yang beriman dan beramal saleh. Al-Qattan memaknai amal shalih yaitu amal baik termasuk urusan-urusan kemasyarakat termasuk lingkungan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kesempurnaan fisik manusia ditentukan kesempurnaan amal shaleh(Abdillah, 2014: 75).

Dalam pandangan agama, manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proses yang sedang tumbuh, dan terhadap apa saja yang ada. Etika agama terhadap  alam  (lingkungan)  mengantar  manusia  untuk  bertanggung  jawab, sehingga ia tidak melakukan perusakan. Agama islam, sangat  kaya  dengan  nilai  etika  dan  moral.  Secara konseptual agama membawa paradigma etika dan moral (hudan linnas) untuk keselamatan, kesejahteraan dan kedamaian umat manusia (rahmatan lil’alamin)(Masitoh, 2015: 255).

Posting Komentar

0 Komentar