![]() |
stikesypib.ac.id |
Islam merupakan agama yang Rahmatal li ‘alamin, dengan adanya kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang pesat di kalangan masyarakat Islam saat ini, Islam mengajukan untuk tetap berpegang teguh pada Sumber Hukum Islam yaitu al-Qur’an dan Hadis. Umat Islam sebagai suatu bagian yang tidak terpisahkan dari dunia, maka tidak dapat melepaskan diri dari persoalan-persoalan yang menyangkut kedudukan hukum suatu persoalan. Persoalan-persoalan baru yang status hukumnya sudah jelas dan tegas dinyatakan secara eksplisit dalam al-Qur’an dan Hadis, yang diyakini tidak akan menimbulkan pro dan kontra di kalangan umat Islam. Akan tetapi, hal tersebut berbeda apabila menganai persoalan-persoalan yang belum jelas status hukumnya dalam kedua sumber hukum Islam itu. Di sinilah ijtihad berperan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang baru tersebut (Emilia Sari, 2019: 56).
Maka kaitannya dalam konteks Indonesia, suatu kebijakan atau program yang dicanangkan negara, berpotensi besar untuk menyedot apresiasi positif dan partisipasi aktif dari masyarakat jika didukung dan dijustifikasi dengan doktrin Islam. Sebaliknya, suatu kebijakan atau program, bisa gugur di tengah masyarakat manakala mengandung unsur pencederaan terhadap nilai agama. Salah satu yang menjadi contoh kasus dalam hal ini adalah program KB (Keluarga Berencana) (Sabrur Rohim, 2016: 148).
Keluarga Berencana (KB) pernah menjadi salah satu issu hangat dan kontroversial dalam pemikiran Islam modern. Terdapat sejumlah persoalan yang muncul terkait dengan masalah Islam dan KB, mulai dari masalah pengertiannya (apakah bemakna pengaturan keturunan atau pembatasan keturunan), hukum ber-KB, persoalan alat kontrasepsi (cara kerja, hukum penggunaan, serta implikasinya terhadap kesehatan reproduksi perempuan), hingga kebijakan demografi Negara dengan berbagai dampaknya (Salahuddin Wahid, 2017: 119).
Dalam memahami makna KB, terdapat berbagai pendapat dari para ulama yang sepakat akan persetujuannya dalam artian membolehkan dalam mengikuti program KB, selain itu juga ada para ulama yang melarang mengikuti program KB. Diantara ulama yang membolehkan adanya program KB yaitu Yusuf Qaradhawi, Imam Ghazali, Syaikh al-Hariri, Syaikh Syalthut. Mereka berpendapat bahwa diperbolehkan mengikuti program KB dengan adanya ketentuan antara lain: untuk menjaga kesehatan ibu, menghindari kesulitan ibu, dan untuk menjarangkan anak. Mereka juga berpendapat bahwa perencanaan keluarga itu tidak sama dengan pembunuhan, karena pembunuhan itu berlaku ketika janin mencapai tahap ketujuh dari penciptaan. Hal ini didasari dengan Q. S. Al-Mu’minun ayat 12, 13, 14. Sedangkan ulama yang melarang mengikuti program KB yaitu Madkhour, Abu A’la al-Maududi. Mereka melarang mengikuti KB karena perbuatan itu termasuk membunuh keturunan sebagaimana firman Allah SWT dalam Q. S. Al-Isra’ ayat 31.“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar” (Emilia Sari,2019: 68).
Selain itu, ulama yang membolehkan dan menghalalkan program Keluarga Berencana (KB) yaitu KH. Bisri Musthofa dari Rembang. Dalam bidang fikih, pemikiran KH. Bisri Musthofa bisa disebut kontekstual atau bahkan lebih maju dibandingkan para ulama lain pada masanya. Salah satu contoh pemikirannya dalam bidang fikih adalah berkaitan dengan masalah Keluarga Berencana (KB). Pada tahun 1968, sebagian ulama Nahdlatul Ulama dan ulama dari organisasi lain masih belum menerima KB. Hal tersebut karena waktu itu KB masih dianggap sebagai program yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Akan tetapi, KH. Bisri Musthofa sudah menerima KB dengan gagasan dan penjelasannya terkait dengan KB yang dibolehkannya umat Islam melakukan dan menjalani program pemerintah tersebut dengan anjuran pemerintah Indonesia untuk mengatur kelahiran, dan pada tahun 1970 KH. Bisri Musthofa menyusun buku yang berjudul Islam dan Keluarga Berencana, yang diterbitkan oleh BKKBN Jawa Tengah (Salahuddin Wahid, 2017: 120).
0 Komentar