Prosa: Kirmizi yang Hilang

Prosa: Kirmizi yang Hilang


Tidak ada langit kirmizi di senja ini. Ku biarkan gelap kamarku agar serasi dengannya. Syair duka cita terus tercipta dan memaksa untuk terbaca.

“Pernah dengan bangganya bercerita pada sanak saudara bahwa dialah yang paling mirip dengan kakeknya. Ada suatu hal yang diwariskan kakeknya khusus untuknya, hanya dia yang dapat, saudaranya yang lain tidak. Dia konyol, itu kan penyakit.

Dia dewasa dengan pengawasan, tidak boleh ini, tidak boleh itu, tidak bisa ini, tidak bisa itu. Sampai pada saat ini segala hal bercampur aduk, semakin parah dan tak terduga. Sudah dicoba berbagai cara namun pada akhirnya hal itu tidak hilang, hanya bersembunyi sejenak dan datang lagi. Saat hal itu datang, dia yang lemah hanya bisa bersembunyi di kamar dan berteriak di sana, sekedar memastikan tidak ada yang mendengar teriakannya itu. Tak jarang menusukkan jarum ke lengan agar tidak fokus pada rasa sakit yang sebelumnya dirasa.

'Hei cendikiawan bodoh! Bakar saja kertas-kertas hampa itu, Toh kau tak tahu cara memanfaatkannya.'

Mulut itu sungguh naif dan kejam.

Dia tak apa, dia tak pernah mencari kertas-kertas itu lagi. Benar, dia tidak mampu memanfaatkannya. Hanya saja, manusia seharusnya tidak memiliki mulut seruncing duri. 

Terluka berulang kali, tersesat bukan hanya sekali. Ya! Dia hidup kembali setelah melihat Surga di bola mata seorang awam beberapa tahun silam. Mereka bahagia. Entahlah. Namun sayangnya dia lupa, dia seorang faqir”.

Perbaiki aku jika salah. Penduduk Surga tentu seharusnya dekat dan senang membersamai orang faqir bukan? Jika penduduknya saja harus begitu, bagaimana seharusnya dengan pemiliknya?! Biar ku selesaikan bagian yang sekarang sudah tidak lagi penting ini. 

“Segala hal tentang apa yang dia rasakan sudah tidak penting lagi. Sudah tidak lagi menyenangkan. Dia sedang tergelincir dan butuh pertolongan. Sekedar uluran tangan atau bahkan yang lebih sederhana dari pada itu, seperti kalimat pertanyaan, 'kau baik-baik saja?' misalnya.”

Berbesar hatilah. Mungkin bukan Surga itu. Ya! Mungkin memang bukan Surga yang itu. Jadi pada paragraf ini, bola mata itu sudah terikhlaskan. Sebab tidak ada lagi Surga di sana saat terpandang.

Ahhh sudahlah. Ini sungguh memuakkan untuk dibahas. Dulu guru matematikaku pernah berkata, “jika kau ingin menjadi orang yang luar biasa pada suatu hal, kau harus jadi gila dulu untuk hal itu”. 

Kali ini tidak! Aku ingin 'dia', orang yang ku ceritakan tadi menjadi orang yang biasa-biasa saja. Karena memang itulah adanya. Ada banyak resiko yang harus ditanggung untuk hal itu. Dan aku tau 'dia' tidak siap untuk itu.  Jika ingin menjadi orang yang luar biasa harus gila terlebih dahulu,  tentu kau harus mengalami fase stress sebelumnya bukan? Bayangkan jika kau tidak sampai pada derajat tadi, bayangkan ternyata kau hanya tertahan pada tingkat stress saja. 

Gila mungkin bisa membahagiakanmu sebab kau tidak memikirkan apa-apa lagi saat disituasi itu, tapi stress?? Itu bagai seluruh masalah dunia ada di pundakmu, dan siapa yang ingin semua itu?! Sungguh tidak nyaman. Maka sembuhlah, kembali waras dan jadilah manusia yang biasa-biasa saja. Semoga Rabbnya Muhammad memaklumi segala kekurangan. Dan pasti begitu adanya. Tidak ada keraguan di dalamnya dan pada-Nya.


21 September 2021


Posting Komentar

0 Komentar