PEMBAHASAN
Keluarga Berencana atau disebut juga dengan tanzhim al-nasl adalah suatu rencana pengaturan kelahiran anak dengan menggunakan alat maupun cara sehingga bisa mencegah kehamilan. KB yang dimaksud bukan yang berkonotasi sebagai pembatasan atau pencegah kelahiran, yang biasa disebut dengan Birth Control atau dalam bahasa Arab disebut tahdid al-nasl, dimana hal itu tidak sesuai dengan tujuan perkawinan yakni untuk melanjutkan keturunan. Merencanakan jumlah anak yang kemungkinan mampu ditanggungnya dalam keluarga sesuai dengan kondisi masing-masing merupakan hak dan wewenang setiap manusia (Al Fauzi, 2017: 3).
Dalam Tafsir Kemenag, Persoalan KB berkaitan erat dengan persoalan kependudukan. Prinsip-prinsip kependudukan pada intinya menghendaki agar keluarga yang nota bene menjadi anggota dari suatu komunitas penduduk memperoleh tarap kehidupan yang sejahtera. Dalam ungkapan lain, keluarga yang direncanakan dengan baik dan matang diharapkan dapat mewujudkan prinsip-prinsip kependudukan tersebut, yang mana hal inilah yang diinginkan dengan adanya program KB (Kementerian Agama Republik Indonesia, 2012: 286).
Ide dan gagasan untuk mengatur besar kecilnya keluarga atau jumlah anak sebenarnya sudah ada sejak dahulu, dan biasanya dilatarbelakangi akan kekhawatiran dan kesukaran bahan makanan untuk kehidupan sehari-hari. Cara yang biasa ditempuh pada waktu itu antara lain membunuh bayi/anak seperti yang terjadi pada masyarakat Arab Jahiliyah, menjual bayi/anak, aborsi, dan mencegah/menghindari kehamilan dengan cara ‘azl (Coitus Interuptus) atau senggama terputus, meminum macam-macam obat/jamu, memperpanjang waktu menyusui dan abstenensi (tidak melakukan jimak). Dengan demikian, terdapat tiga inti persoalan yang ada dalam KB, yaitu pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, dan peningkatan kesejahteraan keluarga. Karena pada dasarnya, berketurunan seiring dengan perintah pernikahan itu sendiri, yang mana salah satu tujuan dari pernikahan yaitu untuk memperoleh keturunan. Abu Zahrah menegaskan lebih jauh bahwa tujuan pernikahan adalah untuk memperbanyak keturunan (Kementerian Agama Republik Indonesia, 2012: 287).
Konsep mengatur jarak kelahiran dimaksudkan untuk menciptakan keluarga yang berkualitas. Islam memperbolehkan pengaturan kelahiran karena pertimbangan-pertimbangan yang kebaikannya berpulang kepada pasangan suami-istri itu sendiri (Salahuddin Wahid, 2017: 91). Mempersiapkan keturunan yang berkualitas merupakan salah satu ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an. Allah swt berfirman dalam Q.S. an-Nisa’ ayat 9.
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar. (QS. an-Nisa’ [4] ayat: 9).
Isma’il Haqqi menafsirkan ungkapan ذُرِّيَّةً ضِعَافًا dengan keturunan-keturunan lemah yang tidak memiliki harta. Perintah bertakwa dan bertutur kata yang benar kaitannya dengan sikap terhadap keturunan menunjukkan pentingnya mempersiapkan keturunan yang berkualitas. Hal ini dapat dimaknai pula bahwa salah satu wujud dari ketakwaan adalah mempersiapkan generasi yang berkualitas (Kementerian Agama Republik Indonesia, 2012: 289).
Allah SWT memberitahu kaum muslimin bahwasannya penyusuan yang baik kepada anak adalah sampai usia dua tahun. Hal ini akan sulit tercapai apabila seorang wanita yang sedang menyusui anaknya yang belum genap dua tahun hamil kembali. Kehamilan wanita yang sedang menyusui akan membuatnya terbebani dua perkara yang sangat berat yaitu menyusui dan hamil. Adanya program KB dapat mengatur jarak kelahiran, sehingga seorang wanita tidak mendapatkan kemudaratan dalam menyusui dan hamil kembali (Nasrullah, 2020: 32). Allah SWT berfirman akan anjuran menyusui, yaitu terdapat dalan surat al-Baqarah [2]: 233.
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
Artinya: Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. (al-Baqarah [2]: 233).
Setelah melahirkan, seorang perempuan akan menyusui bayinya dan tidak langsung memperoleh haid untuk beberapa bulan (6-12 bulan). Selama periode itu, seorang ibu umumnya tidak subur sehingga memberikan kesempatan untuk memiliki anak dengan jarak kelahiran (birth interval) yang tidak terlalu pendek. Dengan demikian, terlalu dekat jarak antar kelahiran dapat membahayakan bayi yang akan dilahirkan, karena belum sempurna kondisi fisik alat kandung ibu. Oleh karena itu, diperlukan jarak optimal antar dua kelahiran anak, yaitu minimal tiga tahun dan maksimal 5-6 tahun. Sehubungan dengan hal itu, menjaga kesehatan si ibu dan menghindari kesulitan ibu dijadikan pertimbangan oleh beberapa ulama, seperti Syaikh Muhammad Syaltut yang berpendapat bahwa perencanaan keluarga itu tidak sama dengan pembunuhan karena pembunuhan itu berlaku ketika janin mencapai tahap ketujuh dari penciptaan. Hal tersebut didasarkannya pada Surah al-Mu’minun [23] ayat 12-14. Syaltut menegaskan bahwa pengaturan kelahiran karena kondisi tertentu, seperti seorang ibu yang mengidap penyakit tertentu dalam rahimnya, atau bagi orang-orang tertentu yang tidak memiliki biaya cukup untuk membiayai proses kehamilannya dan tidak ada orang yang mau membantunya, merupakan sesuatu yang diperbolehkan (Kementerian Agama Republik Indonesia, 2012: 293).
Meskipun memberikan isyarat-isyarat terhadap pelaksanaan KB, al-Qur’an memberikan ketegasan tentang larangan cara-cara kontrasepsi yang bertentangan dengan bersifat abortif atau mengakibatkan pemandulan abadi. Prinsip keberlangsungan keturunan (tanzhim al-nasl) menjadi alasan dibalik penegasan tersebut. firman Allah swt pada Surah al-An’am ayat 151 dan al-Isra’ ayat 31 mengisyaratkan hal ini. Namun, kemandulan dapat dibenarkan apabila pengabaiannya diduga keras dapat menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan ibu atau anak yang dikandung. Hal ini kembali pada prinsip Islam yang mengedepankan asas penghilangan bahaya (dar’ul mafasid) (Kementerian Agama Republik Indonesia, 2012: 294).
0 Komentar