Penafsiran Kemenag RI Mengenai Ayat-Ayat Qiṣāṣ Dalam Diskursus Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia | Nelis Saadah

Hukum Qiṣāṣ merupakan hukum islam yang secara bahasa, qiṣāṣ berarti “menelusuri jejak” dan “kesepadanan”. Kemudian juga arti secara bahasa ini memiliki keterkaitan dengan hukuman, karena seseorang yang terkena qiṣāṣ seakan-akan mengikuti dan menelusuri jejak yang sepadan dari tindaj pidana yang  dilakukan. Sedangkan secara istilah, qiṣāṣ didefinisikan sebagai memberikan balasan hukuman kepada pelaku terpidana sesuai tindak pidana yang dilakukannya. (Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2010: 142) Pelaksanaan hukum qiṣāṣ ini diserahkan pada keputusan keluarga korban, dengan pilihan apakah hukum qiṣāṣ tetap dilaksanakan atau dimaafkan dengan membayar diyat (ganti rugi) atau denda sesuai dengan yang ditentukan oleh keluarga yang terbunuh. Hal ini menunjukan bahwa setiap perbuatan yang menghilangkan nyawa seseorang bisa dikenai hukum qiṣāṣ- diyat.(Rajafi, 2010: 462)

Namun, akibat berkembangnya zaman dan ilmu pengetahuan, muncul pendekatan dalam menentukan hukum, salah satunya adalah dengan pendekatan Hak Asasi Manusia (HAM). (Rajafi, 2010: 463) Pidana mati menurut sebagian masyarakat modern merupakan hukum pidana yang melanggar hak asasi manusia (HAM). Karena hak asasi manusia merupakan hak-hak dasar yang melekat pada manusia sejak lahir sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, maka perlu dipahami bahwa HAM ini tidak bisa dikurangi. Oleh karena itu, yang dibutuhkan oleh negara dan hukum adalah suatu pengakuan dan jaminan perlindungan HAM meskipun hukum pidana mati suatu ketetapan yang berlaku disuatu negara hukum.(Yeti, 2020: 493)

Lalu bagaimana penerapan hukum Qiṣāṣ di Indonesia, sedangkan negara Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi Hak Asasi manusia,(Widodo, 2014:1) negara presidensial,(Ardian dan Priskap,2021:1) tetapi negara yang mayoritas penduduknya muslim. Lalu, bagaimana penafsiran Kemanag RI melalui kitab Tafsir Tematik Hukum, Keadilan, dan Hak Asasi Manusia terhadap ayat-ayat yang menjelaskan hukum Qiṣāṣ, apakah ada alternatif atau batasan dalam penerapan hukum Qiṣāṣ atau sebaliknya. Berikut penjelasan mengenai penafsiran Kemag RI terhadap ayat-ayat Qiṣāṣ dalam diskursus Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.

Landasan hukum Qiṣāṣ ini disepakati berdasarkan Al-Qur’an, Sunah, dan Ulama-Ijma. Didalam al-Qur’an terdapat empat kata Qiṣāṣ disebut, antara lain dalam surat al-Baqarah ayat 178-178, surat al-,aidah ayat 45 berikut penafisrannya.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِى الْقَتْلٰىۗ اَلْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْاُنْثٰى بِالْاُنْثٰىۗ فَمَنْ عُفِيَ لَهٗ مِنْ اَخِيْهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ ۢبِالْمَعْرُوْفِ وَاَدَاۤءٌ اِلَيْهِ بِاِحْسَانٍ ۗ ذٰلِكَ تَخْفِيْفٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ  ۗفَمَنِ اعْتَدٰى بَعْدَ ذٰلِكَ فَلَهٗ عَذَابٌ اَلِيْمٌ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu (melaksanakan) qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, dan perempuan dengan perempuan. Siapa yang memperoleh maaf dari saudaranya hendaklah mengikutinya dengan cara yang patut dan hendaklah menunaikan kepadanya dengan cara yang baik. 48) Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Siapa yang melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih.”(Al-Baqarah [2]:178)

وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيْهَآ اَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْاَنْفَ بِالْاَنْفِ وَالْاُذُنَ بِالْاُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّۙ وَالْجُرُوْحَ قِصَاصٌۗ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهٖ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهٗ  ۗوَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ

Artinya: “Kami telah menetapkan bagi mereka (Bani Israil) di dalamnya (Taurat) bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisasnya (balasan yang sama). Siapa yang melepaskan (hak kisasnya), maka itu (menjadi) penebus dosa baginya. Siapa yang tidak memutuskan (suatu urusan) menurut ketentuan yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim.”(Al-Mā'idah [5]:45)

Dijelaskan dalam kedua ayat di atas bahwa Qiṣāṣ adalah mengambil pembalasan yang sama. Namun demikian, Qiṣāṣ itu tidak diterapkan apabila si pembunuh mendapatkan pengampunan dari ahli waris korban, yakni dengan membayar diyah/ganti rugi. Pembayaran ganti rugi ini hendaknya dilakukan dengan cara yang baik, seperti dengan tidak mendesak si pembunuh. Bagi si pembunuh pun hendaknya membayar ganti rugi dengan baik, seperti dengan tidak mengundur-undurnya. Apabila ahli waris korban membunuh anggota keluarga si pelaku karena dendan atau membunuh si pelaku setelah menerima diyah/ganti rugi, maka ia harus menerima hukuman Qiṣāṣ di dunia, dan di akhirat ia akan mendapatkan siksa yang pedih. (Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2010: 144)

Diyah/ganti rugi dalam hukum Qiṣāṣ sifatnya baku, tidak memiliki batas minimal dan maksial. Karena dalam jarimah Qiṣāṣ/diyah merupakan hak pribadi. Maksudnya adalah, pihak koban bisa menggugurkan hukuman Qiṣāṣ tersebut, dengan memaafkan tanpa ganti rugi maupun memaafkan dengan ganti rugi. Karena hak Qiṣāṣ/diyah merupakan hak pribadi korban maka hak tersebut bisa diwarisi oleh ahli warisnya. (Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2010: 147)

Selain itu, ketetapan hukum Qiṣāṣ juga dijelaskan dalam hadis Nabi yang artinya, “Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah da aku (Muhammad) adalah utusan Allah kecuali karena salah satu dari tiga hal; pezina yang telah kawin, membunuh jiwa, dan orang-orang yang meninggalkan agamanya dan memisahkan diri dari jama’ahnya ”. (Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2010: 144)

Sebelum membahas mengenai penafsiran Kemag RI terhadap ayat-ayat Qiṣāṣ dalam diskursus Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai hal-hal yang berkaitan yaitu definisi Hak Asasi Manusia dan ruang lingkupnya. 

Dalam UU No.39 tahun 1999 pasal 1 dijelaskan bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang harus dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintahan dan setiap orang, demi kehormatan dan perlindungan harkat serta martabat manusia. (Sulisworo, dkk, 2012: 2) Selain itu, dalam UU No.39 tahun 1999 juga termakbul sepuluh bentuk hak-hak asasi manusia, yaitu pertama; hak untuk hidup, kedua; hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, ketiga; hak mengembangkan diri, keempat; hak memperoleh keadilan, kelima; hak memperoleh kebebasan pribadi, keenam; hak atas rasa aman, ketujuh; hak atas kesejahteraan, kedelapan; hak turut serta dalam pemerintah, kesembilan; hak wanita, dan kesepuluh; hak anak. (Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2010: 279-280)

Beberapa sepuluh poin penting yang telah dijelaskan diatas, hak atas hidup merupakan hal yang menjadi acuan pemikiran dalam diskursus islam dan hak asasi manusia khusunya dalam hukum Qiṣāṣ, berikut penjelasanya.

وَلَكُمْ فِى الْقِصَاصِ حَيٰوةٌ يّٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

Artinya: “Dan dalam Qiṣāṣ itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa.” (Qs. al-Baqarah(2):179)

Hukum Qiṣāṣ dalam ayat ini, mencerminkan upaya untuk memberikan efek jera pada masyarakat; menghukum satu orang berarti menghidupkan sekian ribu orang lainnya. meskipun hukum islam (fikih) menekankan pentingnya kepastian hukum, namun tetap ada peluang negoisasi dan pemaafan. Pembunuhan sengaja yang diancam hukuman mati dapat dibatalkan dengan adanya pemberian maaf dari keluarga korban. Sebagai gantinya, terpidana mati tersebut harus membayar diyah/ganti rugi kepada keluarga korban.(Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2010: 281)

Ayat diatas menegaskan bahwa melalui ketetapan hukum Qiṣāṣ, kelangsungan hidup orang banyak menjadi terjamin. Begitupun orang yang memiliki niat membunuh mengetahui hukuman macam apa yang akan dihadapinya yaitu hukuman mati, tentunya ia pasti tidak akan melaksanakan niatnya itu. Boleh jadi hikmah ini tidak dipahami oleh semua orang, tetapi mereka mempunyai akal sehat dan mau meggunakannya tentu bisa memahaminya dengan baik. Maka darisinilah tidak dapat dipungkiri memunculkan sebagian kalangan menilai hukuman mati sangat tidak manusiawi, melanggar HAM, atau cenderung bernuansa balas dendam. (Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2010: 281-282)

Sebelumnya diatas telah dijelaskan mengenai perspektif hak asasi manusia, setiap manusia memang memiliki hak yang paling dasar yaitu hak untuk hidup. Dalam pasal 6 kovenan hak sipil dan politik berbunyi, “Pada setiap insan manusia melekat hak untuk hidup yang harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun yang secara gegabah (melawan hukum, ilegal) boleh dirampas hak hidupnya.” 

Secara teoritis, hak hidup termasuk dalam kelompok hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan dengan alsan apapun seseorang tidak boleh dirampas hak hidupnya. Deklarasi Universal HAM dalam pasal 3 menyatakan, “Setiap orang mempunyai hak hidup, bebas merdeka, dan keamanan pribadi.” Pada hal ini, negara-negara menyikapi pidana mati secara berbeda, ada negara yang mengahapus hukuman mati, adapula yang masih mempertahankannya. Termasuk negara Indonesia adalah negara dari banyak negara yang masih tetap melegalkan hukuman mati.( Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2010: 282-283)

Dari penjelsan diatas, dapat diambil kesimpulan dalam ayat-ayat Qiṣāṣ ini terdapat dimensi Hak Asasi Manusia yaitu peluang negosiasi dan pemaafan. Selain itu, dalam pelaksaan hukuman mati ini juga memiliki hikmah yaitu sebagai upaya untuk memberikan efek jera pada masyarakat; dan melalui ketetapan hukum Qiṣāṣ, kelangsungan hidup orang banyak menjadi terjamin. Kemudian, terkait dengan pelaksanaan hukuman mati ini dalam diskursus Hak Asasi Manusia di Indonesia, negara Indonesia menyikapi pidana mati secara berbeda, sehingga negara Indonesia merupakan yang masih tetap melegalkan hukuman mati.

Posting Komentar

0 Komentar