PROFIL MAJELIS TA’LIM ‘AQOIDUL KHOMSIN KRADENAN, KOTA PEKALONGAN, DAN CINTA LINGKUNGAN | Rian Nur Diansyah

Profil Majelis Ta’lim ‘Aqoidul Khomsin Kradenan, Kota Pekalongan

Majlis Ta’lim ‘Aqoidul Khomsin yang terletak di kota Pekalogan ialah majlis ilmu yang berfokus pada kajian akidah Islam secara mendalam. Majlis ini beralamat lengkap di jalan Urip Sumoharjo, Gg. 1, Kelurahan Buaran Kradenan, Kecamatan Pekalongan Selatan, Kota Pekalongan. Majelis ini kajian keilmuannya terkait dengan keislaman, terutama kajian pemahaman akidah Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah menurut aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah. 

Majlis ini didirikan oleh beliau Ustad Muhammad Syarif sekitar tahun 1992. Mulanya majelis ini betempat di rumah mertua beliau yang tidak jauh dari tempat majelis yang sekarang berdiri, sekaligus rumah pendiri majelis. Pendirian majelis ini ialah bentuk ikhtiar beliau agar ilmu akidah yang telah diperoleh di pesantren dapat bermanfaat. Majelis ini berasaskan Pancasila yang tertulis dalam pembukuan UUD tahun 1945 dengan berakidah Islam Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah menurut faham Asy’ariyah dan Maturidiyah dan berdasarkan al-Qur’an, Hadis, Ijmak, dan Qiyas. Lingkup masyarakat di mana majelis ini lahir berafiliasi pada organisasi Nahdhatul Ulama. 

Dalam perkembangannya tidak bisa diprediksi mulai menyebar, namun pada dekade terakhir di tahun 2018 diketahui sudah mulai menyebar dan dibuka majelis-majelis cabang baik di kota pekalongan sendiri, kabupaten pekalongan, bahkan mulai menyentuh kawasan kabupaten batang. Penulis sendiri termasuk yang mengikuti kajian ini di salah satu cabang yang berada di Kabupaten Pekalongan yang bertempat di rumah Ustad Ali Mutohar Dukuh Sabaran, Desa Wangandowo, Kec. Bojong. 

Majelis ini mempunyai maksud dan tujuan yakni Pertama, majelis ini bertujuan untuk menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar dan mengajarkan akidah Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah menurut faham Asy’ariyah dan Maturidiyah. Kedua, melanjutkan dakwah Islamiyyah dan melaksanakan amr ma’ruf nahi munkar dengan mengorganisasikan kegiatan-kegiatan dalam satu wadah yaitu Majelis Ta’lim Aqaid al-Khomsin yang bertujuan untuk megamalkan ajaran Islam. Ketiga, setiap kader santri didorong untuk ma’rifat kepada Allah dan para utusan Allah (Nabi dan Rasul) serta meyakini tentang perkara sam’iyyat. Keempat, menumbuhkan kesadaran menjalankan syari’at islam menurut ajaran Ulama Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah kepada seluruh santrinya. Kelima, membentuk jaringan kader santri untuk melanjutkan dakwah Islamiyyah dengan membentuk kegiatan belajar dan mengajarkan akidah Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah.

Pada Majelis ini kitab pokok yang dikaji salah satunya Ta’lim Al-Mubtadi-in Fii ‘Aqooid Ad-Diin Ad-Darsu Al-Awwalu karya dari K.H. Sa’id Bin Armiya’ Giren Kaligayam, Talang, Tegal, Jawa Tengah. Kitab ini berbahasa jawa dan logat tegal, mempelajari secara mendalam akidah lima puluh yaitu 20 sifat wajib bagi Allah, 20 sifat mustahil Allah dan satu sifat jaiz-Nya. Lalu 4 sifat wajib bagi Rasul, 4 sifat mustahil bagi Rasul dan satu sifat jaiz bagi Rasul. Dalam berjalannnya waktu kitab-kitab akidah Islam yang juga dipelajari diantaranya seperti aqidah al-Awwam, Jawahir al-Kalam, Umm al-Barahin dan sebagainya. 

Santri-santri yang mengikuti majelis ini berasal dari berbagai latar belakang. mulai dari yang sudah pernah dipesantren, pekerja, pegawai negeri sipil (PNS), mahasiswa atau akdemisi, bahkan dari yang memiliki latar belakang kriminalitas. dari semua itu tidak ada kesenjangan status karena dalam pengajaran materi diperlakukan sama (Fahmi, 2018: 45-53). 

Cinta Lingkungan

Manusia dalam kajian ekologi mempunyai hubungan dengan komponen fisik, non-fisik (ruhaniah), dan metafisik. Hubungan fisik ini dengan komponen biotik, abiotik dan sesamanya. Hubungan non-fisik ini ialah hubungan dengan perilakunya, bagaimana manusia itu bisa berinteraksi dengan dirinya sendiri, yang dalam hal ini bagaimana perilakunnya dengan lingkungan. hubungan metafisik ini yaitu hubungan seorang hamba kepada tuhannya (ibadah kepada allah)(Khaeron, 2014: 101-102).

Namun, sangat disayangkan di kota Pekalongan daerah aliran sungai setu, yang alirannya mencakup tiga kelurahan, yaitu kradenan, jenggot, dan kuripan lor. Daerah aliran sungai ini memiliki hulu sungai asem binatur. Secara fisik kondisi air kehitam-hitaman di kelurahan jenggot, tidak hanya itu, dalam aliran sungai dan bantarannya juga terdapat banyak sampah (Sonta et al., 2017: 216). Seharusnya manusia juga peduli terhadap lingkungannya, agar keseimbangan alam dapat terwujud. Perwujudan itu melalui tiga kutub yang berjalan selaras, seimbang dan harmonis yaitu Tuhan, alam, dan Manusia (Quddus, 2012: 318).

Hubungan manusia dan lingkungan serta dengan seluruh jagat ini akan indah sebagaimana yang diberikan islam, apabila mampu menumbuhkan rasa cinta, meskipun sederhana. Cinta lingkungan ini terhadap makhluk hidup dan makhluk mati. Diantara makhluk hidup itu seperti halnya hewan yang perlu kita lihat selayaknya makhluk seperti diri kita. Kemudian terhadap makhuk mati pun juga harus sama dalam melihatnya, karena makhluk mati juga bersujud kepada Allah sebagaimana firman-Nya: 

اَلَمْ تَرَ اَنَّ اللّٰهَ يَسْجُدُ لَهٗ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَمَنْ فِى الْاَرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُوْمُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَاۤبُّ وَكَثِيْرٌ مِّنَ النَّاسِۗ وَكَثِيْرٌ حَقَّ عَلَيْهِ الْعَذَابُۗ وَمَنْ يُّهِنِ اللّٰهُ فَمَا لَهٗ مِنْ مُّكْرِمٍۗ اِنَّ اللّٰهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاۤءُ ۩ۗ

“Tidakkah engkau tahu bahwa siapa yang ada di langit dan siapa yang ada di bumi bersujud kepada Allah, juga matahari, bulan, bintang, gunung-gunung, pohon-pohon, hewan-hewan yang melata dan banyak di antara manusia? Tetapi banyak (manusia) yang pantas mendapatkan azab. Barangsiapa dihinakan Allah, tidak seorang pun yang akan memuliakannya. Sungguh, Allah berbuat apa saja yang Dia kehendaki.”(Q.S. Al-Hajj:18).

Ketika kita mampu memelihara lingkungan maka dapat menumbuhkan rasa cinta. Perasaan cinta itu tumbuh dari insaf di antara orang-orang yang selalu bersujud dan mennyucikan Allah dengan perasaan cinta dan kasih sayang. Selain itu, memang apa yang ada di bumi dan langit itu juga sujud (ibadah) kepada Allah swt. (Al-Qaradhawi, 2002: 34-36).

Kesimpulan

Ketika manusia sudah bisa mengenal dan beriman kepada tuhannya dengan belajar akidah yang benar, seharusnya manusia mampu memahami bahwa alam ini merupakan esensi wujud dari adanya tuhan yang sudah menciptakan alam semesta ini. Ketika sudah faham maka kerusakan lingkungan itu harusnya bisa dihindari ataupun dicegah lebih dini, dan yang harusnya muncul ialah rasa cinta yang bisa membuat keseimbangan di alam.

Posting Komentar

0 Komentar