TARIKH AL-MASHAHIF | Dede Lutfiah Sabela

PENDAHULUAN

Al-Qur’am diturunkan Allah SWT kepada Rasulullah SAW melalui perantara malaikat Jibril a.s sebagai panduan hidup umatnya hinggalah ke hari akhirat. Rasulullah SAW. pula telah menyempurnakan tugas sebagai penyampai risalah Allah SWT dengan mengajarkan Al-Qur’an kepada para sahabat r.a secara Talaqi dan Musyafahah sehinggalah mereka dapat menghafal Al-Qur’an seterusnya mengamalkan isi kandungannya di dalam amalan seharian mereka. Para sahabat pula seterusnya menyampaikan tugas ini kepada tabi’in dengan kaedah yang sama dan kemudian kaedah inilah yang dipakai dari satu generasi ke generasi selanjutnya sehinggalah sampai kepada kita saat ini.

Sulitnya melacak jejak dan asal-muasal tulisan bahasa Arab boleh jadi karena tradisi bangsa Arab kurang akrab mendokumentasikan interaksi mereka dengan bangsa dan komunitas lain. Berita perihal dinamika dan aktivitas mereka kebanyakan diperoleh dari goresan puisi para penyair atau dongeng yang dikisahkan secara turun-menurun dari generasi ke generasi.

Sehingga, banyak terjadi distorsi sejarah yang sulit untuk dikaji. Kajian tentang fakta sejarah tersebut, kenyataannya mempunyai korelasi penting dalam pembahasan mengenai perkembangan dan polarisasi penulisan rasm mushaf Al-Qur’an. Rasm AlQur’an adalah ilmu yang mempelajari tentang penulisan mushaf Alquran. 

 hampir tak ada satu pun karya meraka yang sampai di tangan umat hingga saat ini. Karenanya, keberadaan kitab Al-Muhkam fi Naqth al-Mashahif karangan Abu Amar Utsman bin Sa'id ad-Dani (444 H) dinilai sangat strategis. Al-Muhkam dianggap sebagai kitab paling representatif yang berbicara tentang rasm.

PEMBAHASAN

Sejarah Pemeliharaan Keotentisitasan Dari Masa Nabi Sekarang   

Pemeliharaan Al-Qur’an yaitu berasal dari dua kata pelihara yang berarti jaga dan rawat. Adapun definisi Al-Qur’an  secara istilah yang disepakati oleh uilama ushul fiqh dan bahasa, Yaitu:

 الكلا م المعجز المنز ل على ا النى المكتو ب ف المصاخف المنقو ل عنه با لتواتو المتعبد بتلا وته

Firman allah yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada nabi(Muhammad), dituliskan sisalam mushaf, diriwayatkan secara mutawatir, dan membacanya bernilai ibadah. ( Subhi shalih,2000:4). 

Sehingga dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan “pemeliharaan al-quran” adakah segala proses damn cara yang dilakukan untuk menjaga dan memelihara kitab suci al-quran sehingga tetap terjaga orisinalitas, otentisitas, dan validitasnya dari segala bentuk perubahan baik berupa penambahan maupun pengurangan.

Masa kenabian 

Pada masa rasulullah pemeliharaan al-qur’an dimulai dengan menghafal al-qur’an dan mencatat atau menuliskan ayat yang turun. Yang mana al-qur’an itu sendiri turun secara berangsur-angsur selama lebih dari 20-22 thn dan selama itu pula proses penghsafalan dan penulisan terus berlangsung bahkan dalam hal penulisan al-qur’an menadapat tempat khusus dalam hal pengecualian izin untuk menuliskan suatu hal dari rasulullah beliau bersabda, yang berarti:

“Janganlah kalian menuliskan dariku barangsiapa yang menuslikan dariku selain al-qur’an maka hendaknya dia menghapus. Akan tetapi ucapkanlah hadis dariku dan jangan merasa sungkan. Dan barangsiapa yang berdusta atas nama Khamam ( periwayat hadis berkata aku kira beliau berkata secara sengaja, maka hendaknya mereka menyiapkan tempat duduknya dalan neraka)”. 

Hadis ini bukan bermakna rasulullah terlarang menuliskan hadis dari beliau secara mutlak, karena para sahabat sepakat bahwa dibolehkan untuk menuliskan hadis walau ada yang memandangya sebagai perkara yang kurang disukai (makruh).  ( Jalaludin asy-suyuti tadrib ar rawi fi syarhi tadrib annawawi, Riyadh: dar thaoyyibah. hlm. 10). karena rasulullah sendiri pernah memberi perintah pada sahabat untuk menuliskan khutbah beliau kepada Abusyah pada peristiwa Fathul Mekkah Penulisan al-quran sendiri pada masa rasulullah dilakukan dengan media seadanya, menginat saat itu menulis diarab bukanlah suatu hal yang dilakukan ada ayat yang ditulis dengan sarana pelepah kurma,kayu,papan batu, kulit hewan, kertas dan tulang. Ibnu Abbas menceritakan bahwa ketika turun suatu ayat atau surah pada rasulullah maka beliau memanggil orang yang mampu menulis kalau beliau memerintahkan,letakanlah surah ini ditempat yang menyebutkan hal ini dan hal tersebut begitulah penulisan al-quran .sejak awal telah menerangkan tempat ayat dan surat secara Tauqifi (ketentuan baru dari rasulullah) sebagaimana jibril as. Mengajarkan.

Pada Masa Khulafaur Rasyidin

Pemeliharaan al-quran pada masa khulafaurrasyidin dimulai dari masa khalifah abu bakar ash-sidiq. Dipmasa awal kepemimpinannya banyak kelompok yang membangkang dan menolak membayar zakat, selain itu ada juga kelompok nabi palsu dan orang-orang yang murtad kembali kepada agama pagan. 

Abu bakar memilih bersikap tegas dengan memerangi ketiga kelompok tersebut secara keseluruhan, maka peperangan tersebut dinamai dengan hurrub ar-riddah Yaitu perang yang terjadi untuk melawan kemurtadan. Dan perang yang paling berat pada saat itu adalah perang melawan pasukan nabi palsu musailamah al-kazdab yang disebut dengan perang yamamah. Pada perang ini banyak ummat islam yang gugur jumlah mereka sekitar 500 orang dan diantaranya terdapat 30 atau 50 pengahapal al-quran. (Khalifah bin ayath, ,1397:  111).

Umar bin khattab menganggap fenomena gugurnya segolongan besar penghafal al-quran ini sebagai ancaman eksitensi al-quran. Karena itu beliau mengajukan usul kepada khalifah abu bakar agar membukukan al-quran menjadi satu kitab walaupun sempat mengalami penolakan oleh abu bakar dan zaid bin tsabit namun pada akhirnya ide tersebut disetujui dan dilakukanlah pembukuan alquran oleh tim yang diketuai zaid bin tsabit.

Sumber penulisan al-quran adalah para pengahafal al-quran yang mutqin dan juga catatan al-quran yang ada sejak masa rosulullah bahkan untuk menguatkan kaliditas tesk tersebut panitia pembukuan mensyaratkan harus ada dua orang saksi atas benarnya tesk tersebut. Lalu al-quran yang telah ditulis dalam satu mushaf tersebut dipegang oleh abu bakar ash-shidiq hingga beliau wafat setelah itu mushaf tersebut diwariskan kepada ummar bin khattab dan ketika umar wafat maka mushaf itu dipegang oleh hashah istri rasulullah yang juga anak umar bin khattab.

Pada masa Khalifah Umar bin khatab pembebasan wilayah islam tejadi sanagat kenjar sehingga wilayah islam tidak mencangkup mayoritas wilayah Persia,Syam, Palestina hingga livia yang mana kebanyakan wilayah itu bukanlah wilayah yang menggunakan bahasa arab sebagai bahasa sehari-harinya.  Hingga pada masa Utsman bin Affan menjadi khalifah dan wilayah islam semakin meluas dua wilayah ajam (non arab), munculah potensi masalah baru dalam hal bacaan al-quran yang bisa menyebabkan perbedaaan  mencolok dalam bacaan al-quran yang dikhawatirkan bisa bisa membut umat islam pecah belah 

Menurut Dr. Nurudin IT.HR menyebutkan setidaknya terdapat 4 kaidah penulisan yang dilakukan dan dijadikan penulisan mushaf Utsmani yaitu ditulis dengan luqhot Quraisy,bila tidak memungkinkan menulis perbedaan bacaan dalam satu mushaf maka dibuatkan mushaf lainya yang mengakomodir bacaan tersebut, menyingkirkan unsur lainya yang bukan termasuk al-quran, dan menetapkan standar tertinggi dalam melakukan verifikasi dalam tulisanya. Mushaf ini dinamakan dengan Mushaf Utmasni dan digandakan menjadi 7 salinan, 6 lainnya disebar diberbagai wilayah sedangkan 1 salinan sendiri dipegang khalifah yang disebut sebagai mushaf al Imam. Wilayah tersebut adalah: Syam, Kuffah, Basrah, Mekkah, Bahrain dan Yaman.

Namun al Zarkani Al-Zarkasyi menyebutkan dan menguatkan pendapat bahwa salinan tersebut hanya berjumlah 4 buah yang disebar ke Kuffa, Basrah, Syam dan Madinah. Adapun penghujung masa khalifahur rasyidin yaitu masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib menemukan perang yang signifikan dalam berbagai literatir klasik yang ada. Karena kebanyakan mengakhiri pembahasan mengenai Jam’un Qur’an sampai periode Utsman bin Affan. Namun tidak berarti tidak ada perang khalifah Ali dalam menjaga Al-Qur’an karena beliau sendiri merupakan salah satu penghafal Al-Quran secara keseluruhan. Bahwa Ibnu Nadhim mengutip riwayat dari Al-munadi bahwa stelah wafatnya Rasulullah Ali bin Abi Thalib ra sempat menuliskan al-quran secara lengkap dari hafalan beliau selama 3 hari karena khawatir akan hilang al-qur’an.

Fase Setelah Khulafaur rasyidin

Penulisan al-quran secara lengakap dari awal hingga akhir sebagaimana yang diajarkan rasulullah setelah selesai dilakukan pada masa khulafaurrasyidin. Termasuk mengakhiri perbedaan penulisan mushaf yang dapat berkibat pada perpecahan diantara kaum muslimin adapun dalam hal periwayatan al-quran kembali muncul banyak qiraat bacaan al-quran, karena rasulullah mengajarkan qiraat yang berbeda beda kepada para sahabat. Qiraat tersebut mulai dari yang paling lemah hingga paling kuat periwayatannya yaitu mudhu, syadz, ahad, masyhur, dan mutawatir ada juga. Yang boleh dibaca hanyalah qiraat mutawatir dan masyhur.

Periwayatan al-qura’an terus berlangsung dari generasi ke generasi hingga sampe kontemporer sekerang ini. Diantara periwayat yang mahshur pad area kontemporer yaitu Al-alamah Abdul Fatah al Qadhi (1403 H) AS-Syaikh amir As sayid Utsman (1408 H) dan Al-Alamah Husain al kitab (1408 H). dalam penjagaan orisinalitas tulisan teks al-qur’an sejak kodifikasi pada masa Utsman bin Affan, digunakanlah Rasm Utsmani sebagai standar penulisan mushaf. Banyak ulama yang mengahruskan penulisan mushaf menggunakan Rasm Utsmani, bahkan Imam Ahmad mengaharamkan tulisan AL-qur’an dengan selain Rasm Utsmani, dalam penulisan al-qur’an yang tidak kalah pentingnya adalah tanda titik pada huruf yang disebut juga Muqot Al Ijam yang dimakssud dengan Muqot Al-Ijam adalah tanda titik yang terdapat pada huruf yang berbentuk sama agar bisa dibedakan satu sama lain, missal : ح،خ.ج. hal ini dikarenakan pada awal mulanya pada huru mushaf al-qur’an tidak memiliki tanda apapun (mujarodan), lalu dibuatlah titik untuk bisa membedakan antara huruf ى dan ت.( Abu amru ad-dani,ibid.hlm, 35)

Penemuan Manuskrip Al-Qur’an di Dunia

Persoalan Manuskrip Al-Qur’an telah terjadi lama dan karena itu juga banyak spekulasi seputar mushaf. Salah seorang peneliti yang menjelaskan masalah ini secara panjang adalah Dr.Sahar al-Sayyid. Yang berjudul “Adhwa ala Mushaf Ustman Ra wa Rihlatuhu Syarqan wa Gharban.” Menjelaskan bahwa persoalan ini bermula dar keberadaan mushaf yang dahulu dipegang oleh Khalifah Ustman hingga beliau menemui syahidnya, dimana pada beberapa lembaran mushaf itu ditemukan noda darah beliau ra, saat terbunuh. Mushaf ini kemudian tetap berada di Madinah selama beberapa waktu setelah terbunuhnya Ustman. Lalu menghilang ntah kemana sampai kemudian beberapa masjid diwilayah islam mengaku menyimpan mushaf tersebut.

Dr. Sahar al-Sayyid menyebutkan ada 5 tempat yang diketahui menyimpan mushaf diantaranya : Mesir, Basrah, Tashkend, Hism(suriah), dan Murcum Topkapi, Istanbul. Ibn Jubair (w.614 H) menuturkan pernah melihat sebuah manuskrip dimasjid Madinah pada 580 H. beberapa riwayat menerangkan bahwa naskah itu tetap berada disana sampai Kekhalifahan Turki Utsmani m, sengambilnya pada 1344 H, ketika perang dunia 1 berakhir, mushaf ini dibawa ke Berlin dan diserahkan kepada mantan Kaisar William II. Sesuai dengan pasal 246 hari perjanjian Versailes dimana turki merupakan pihak yang kalah perang naskah ini tetap berada dijerman dan akan dipelihara oleh negaranya salah satu isi perjanjian tersebuat adalah:

“Dalam jangka waktu 6 bulan sejak diberlakukanya perjalanan ini jerman akan selalu menjaga naskah asli al-qur’an  milik yang mulia raja Hijaz, yang diambil dari madinah oleh penguasa Turki dan pernah dipersembahkan kepada mantan Kaisar William II” Akhirnya mushaf tersebut dikembalikan lagi ke Istanbul, selai itu juga terdapat sebuah manuskrip al-Qur’an yang disimpan dimasjid al-Husain, kairo. Mushaf ini dinisbatkan kepada Utsman dan ditulis dengan tulisan kufic kuno. Dengan demikian bisa jadi naskah tersebut merupakan salinan dari mushaf Utsmani..  (Adnin Armas 2005 134).

Para orientalis seringkali meragukan dan bertanya mengenai apakah masih ada manuskrip al-qur’an yang ditulis pada abad I H? keraguan sejumlah tokoh orientalis tersebut dijawab oleh rekan seperti: Nabila About didalam karyanya yang berjudul The Rise of the Noth Arabic script and its Kur’anic Developmen, with a full description of the Kur’an manuscrips in the Oriental Institute (1939, University of Chicago press) didalam buku ini, Nabila Abbot membahasa manuskrip al-qur’an yang bertanggal paruh kedua abad pertama Hijriyah, termasuk Mushaf San’a.

Pada tahun 1972, saat dilakukan perombokan masjid jami’ di San’a,Yaman, ditemukan sebuah manuskrip al-qur’an saat itu menemukanya dengan kumpulan naskah dalam jumlah yang sangat besar diruang atas dekat atap. Seluruh tumpukan naskah berada diantara tumpukan karung kentang, tumpukan naskah  itu tidak akan diketahui khalayak jika saja  Dr.Gerard puin tidak datang ketempat itu 7 tahun kemudian. Dr. Gerard puin  adalah seorang ilmuwan dan ahli al-qur’an dari jerman dan seketika itu menyadari pentingnya penemuan tersebut, Dr, Gerard puin  bekerja sama dengan ahli al-qur’an lokal menyusun naskah tersbut secara hati-hati dan membuat ribuan foto. 

Dari sekian banyak naskah 4 pecahan naskah diantaranya menarik perhatian seketika  karena berisi bagian terakhir dari surah al-qur’an selain itu juga  tidak seperti al-qur’an yang ada sekarang, naskah ini mencantukan gambar masjid, hal ini menjadi bukti penting dari keaslian naskah tersebut.

Kumpulan naskah ini juga merupakan al-qur’an tertua di dunia yang dibuat 70 tahun setelah Muhammad wafat, dari kumpulan naskah yang tergeletak diantara karung kentang juga menemukan hamper 1000 naskah al-qur’an  yang berbeda-beda, perbedaan jenis tulisan antara naskah al-qur’an  ini dengan tulisan al-qur’an modern sangat drastis. Tulisan pada naskah ini tanpa ada tanda baca koma atau titik sama sekali (arab gundul), hal ini mengindikasikan bahwa satu huruf bisa mengandung 30 arti yang berbeda temuan manuskrip San’a ini meruntuhkan tuduhan orientalis tentang tidak adanya manuskrip yang ditulis pada awal abah Hijriyah.

Dari hasil penemuan manuskrip ini sebuah buku ditulis untuk memberikan informasi yang detail tentang mushaf ini, buku yang berjudul Mashahif San’a (1985,Dar al-Athar al-islamiyah). Buku ini memuat katalog pameran manuskrip dikuwait Nasional Museum, memuat sejumlah artikel yang ditulis oleh Sabah Salim As-Sabah G.R. Puin, M, Jenkins, U. Dreibhlos, baik dalam bahasa arab atau bahasa inggris.

Kredibilitas historitas al-Qur’an lebih jauh lagi dikukuhkan dengan adanya fakta bahwa salah stau kopian al-Quran yang dikirimi oleh Utsman binAffan masih ada sampai sekarang. Kopian tersebut berada di The Museum of the City of Tashkent di Uzbeskistan, Asia tengah. (yusuf Ibrahim,1933:117) Mushaf Taken ini juga di Columbia Universty Library, amerika serikat, kopian ini membuktikan bahwa teks al-Qur’an yang ada sekarang ini identik dengan teks al-Qur’an yang ada di zaman Raulullah dan para sahabat. Kopian mushaf al-Qur’an yang dikirmi ke Syiria juga ada di Topkapi Museum, Istanbul, mushaf ini diduplikasi sebelum terjadinya kebakaran pada tahun 1310 H/ 1892 M, yang menghancurkan masjid jami dimana mushaf tersebut disimpan, sebuah manuskrip awal dalam bentuk perkamen juga ada di Dar al-Kutub as-Sutaniyah dimesir.

Manuskrip yang lebih awal dari semua periode kesejarahan islam juga ditemukan di Library of Congress di Washington. The Chester Beaty Museum di Dublin (Ireland) dan the London Museum kesemua naskah telah dibandingkan dengan manuskrip yang ada di Tashkent, Turki dan mesir hasilnya tidak ada perubahan didalam teks tersebut dari awal penulisan sampai sekarang.  (Bilal Philips,1977:157). 

Mengkritisi Orientalis Yang Ragu Dengan Al-Qur’an

Tidak dapat dipungkiri bahwa kajian tentang qiro’at juga dapat dilakukan oleh para Orientalis. Salah satu hasil kajian dari mereka membuat sebagian umat Islam ragu dengan apa yang sudah dilakukan oleh para ulama Islam tentang tentang Al-Qur’an. Demikian juga sejak awal umat Islam sedikit pun tak ada yang pernah meragukan kemurnian dari Al-Qur’an. “Sesungguhnya kami menurunkan Al-Qur’an, dan kami memeliharanya."(QS. Al-Hijr 15:9)

Dengan jaminan ayat Al-Qur’an di atas setiap muslim percaya bahwa apa yang dibaca dan didengarnya dalam Al-Qur’an sama persis dengan apa yang pernah dibaca oleh Rasulullah SAW. dan didengar oleh para sahabat Nabi. Namun keyakinan tersebut mulai terusik ketika para orientalis melakukan kajian yang hasilnya menggulirkan keraguan terhadap teks dalam Al-Qur’an khususnya mushaf Utsmani yang sejak awal menjadi pegangan kaum Muslimin.

Sebetulnya persoalan ini telah dijelaskan oleh para ulama Islam bahwa masalah qira’at sudah menjadi kesepakatan sahabat untuk menggunakan mushaf standat yaitu mushaf Utsmani. ( Abdul Halim al-Najar,1995:52).  Namun hal ini nampaknya tidak dibaca dengan baik oleh para orientalis sehingga mereka menuduh unifikasi yang dilakukan otoritas ‘Utsmani ini telah meniadakan varian bacaan yang dilegitimasi oleh Nabi SAW. sendiri, yaitu Al-Qur’an yang turun dalam “tujuh huruf”.

Salah satu seorang orientalis yang berpendapat demikian adalah Noldeke. Dalam pandangannya, tulisan Arab menjadi penyebab perbedaan Qira’at. Senada dengan Noldeke, Ignaz Golziher juga demikian. Ia berkata bahwa qira’at teks Al-Qur’an yang berbeda-beda terkadang menggambarkan satu titik orientasi yang dapat mengingatkan bahwa teks Al-Qur’an yang diterima secara luas sebenarnya bersandar kepada kesalahan penyalin teks naskah sendiri. Bagi Golziher dibakukannya cara membaca serta membukukan Al-Qur’an oleh sahabat Utsman ra. itu yang menimbulkan sebuah polemik otentisitas mushaf Utsmani. Noldeke dan Golziher mendapat motivasi mengumpulkan qira’at yang lemah dan menyimpang, Gotthelf Bergstrasser berusaha mengedit karya Ibn Jinni dan Ibn Khalawayh. (Adnin armas,2005:107).Yang dilanjutkan oleh Arthur Jeffery, ia adalah orientalis asal Australia yang pernah juga mengajar di American University Kairo dan menjadi guru besar di Columbia University, konon ingin merestorasi Al-Qur’an berdasar kitab al-Mashahif karya Ibn Abi Dawud as-Sijistani.

Pendapat mereka itu dapat dimaklumi karena mereka menggunakan standar kritik terhadab Bibel tentang variasi bacaan perjanjian baru. Dalam perjanjian baru John Mill menemukan sekitar 3000 variasi bacaan yang berbeda dengan textus recepetus dalam versi bahasa Yunani kuno. ( Bruce M. Metzger, The Teks of The New Testament, 107-108. Adnin Armas, Metodologi Bibel, 37).

Untuk memperkuat pendapatnya tersebut mereka kemudian membuat beberapa contoh perbedaan qira’at. Mislanya Goldziher mengajukan sejumlah contoh yang ia bagi ke dalam dua bagian.

Pertama, perbedaan karena ketiadaan titik pada bentuk huruf tertulis.

ونادى أصحاب الأعراف رجالا يعرفونهم بسيماهم قالوا ما أغنى عنكم جمعكم وما كنتم تستكبرون

Menurut Goldziher, sebagian sarjana (ulama) qira'at membaca lafadz تستتكبرون yang tertulis dengan huruf ba' (dengan satu titik) dengan bacaan تستكثرون yaitu dengan huruf tha' (bertitik tiga).

وهو الذي يرسل الرياح بشرا بين يدي رحمته

Kata بشترا dibaca dengan huruf nun sebagai ganti dari ba', sehingga menjadi نشرا .

ياأيها الذين أمنوا إذا ضربتم في سبيل الله فتبينوا ولا تقولوا لمن ألقى إليكم السلام لست مؤمنا

Mayoritas ulama qira'at terpercaya (tsiqat) membaca lafadz فتبينتوا dengan lafadz فتثبتوا

Kedua, perbedaan karena harakat, salah satu contoh:

ما ننزل الملائكة إلا بالحق وما كانوا إذا منظرين

Goldziher menjelaskan dengan mengikuti perbedaan bacaan diantara sarjana qira'at pada lafadz yang menunjukan turunnya malaikat, apakah itu نُنَت ل زل atau تنتزل atau diturunkan تُنتزل maka secara praktis menunjukan bahwa sebuah pengamatan yang obyektif mengenai perbedaan harakat, turut berperan dalam menyebabkan munculnya perbedaan qira'at. Bahkan menurut Arthur Jeffery, kekurangan tanda titik dalam mushaf Utsmani berarti merupakan peluang bebas bagi pembaca memberi tanda sendiri sesuai dengan konteks makna ayat yang ia fahami. ( Arthur Jeffery,2005:172). 

Bentuk Penjagaan Keotentitasan Al-Qur’an

Menghafal Al-Qur’an (Pemeliharaan di dalam dada)

Sejak pertama kali diturunkan, Al-Qur’an telah mulai dijaga dalam bentuk hafalan oleh Rasulullah SAW maupun umat Islam lainnya. Rasulullah  SAW membacakan Al-Qur’an secara perlahan kepada para sahabat agar mereka bisa menghafalnya. (Muhammad Az-Zurqani, cet. 3, vol. 1: 240). Pada saat itu, bangsa arab dikenal memiliki tradisi menghafal yang sangat kuat, selain itu tradisi membaca dan menulis juga belum begitu populer bagi bangsa arab. Sehingga, mereka disebut sebagai kaum Ummiyin (orang-orang yang buta huruf), di antaranya adalah firman Allah  SWT dalam surat Al-Jumu’ah ayat 2.

هُوَ ٱلَّذِى بَعَثَ فِى ٱلْأُمِّيِّۦنَ رَسُولًۭا مِّنْهُمْ يَتْلُوا۟ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتِهِۦ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ

وَإِن كَانُوا۟ مِن قَبْلُ لَفِى ضَلَٰلٍۢ مُّبِينٍۢ

“Dialah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”

Walaupun baca tulis telah populer saat ini dan bahkan telah menjadi satu mushaf, umat Islam masih tetap berbondong-bondong untuk menghafalkan Al-Qur’an. Salah satu hal yang mendorong umat Islam untuk menghafalkan Al-Qur’an adalah banyaknya motivasi dalam hadits Rasulullah SAW untuk menghafalnya, diantaranya yaitu :

مثل الذي يقرأ االقران وهو حافظ له مع السفرة الكرام البررة ومثل الذي يقرأ وهو يتعاهده وهو عليه شديد فله اجران 

“Permisalan orang yang membaca Al-Qur’an dan dia telah menghafalnya, maka dia akan bersama malaikat yang mulia lagi berbakti. Dan perumpamaan yang membaca (Al-Qur’an) dan dia selalu menekuninya padahal dia merasa berat di dalam (membaca)nya, maka dia memperoleh dua pahala.” (H.R. Bukhari).  ( , Al-Jaami’ Al-Musnad As-Shahih Al-Mukhtashor min Umuuri Rasulillah SAW wa Sunanihi wa Ayyaamihi, Beirut: Daar Thauq An-Najaat, 1422 H, vol. 6, hlm. 166). 

Penulisan Al-Qur’an (Penjagaan dalam bentuk baris-baris tulisan)

Selain menghafal Al-Qur’an, beberapa sahabat juga ada yang menuliskan ayat Al-Qur’an pada lembaran kulit yang disamak, pelepah kurma, tulang, dan sebagainya. ( Muhammad Abu Syuhbah,2003:335).  Ayat Al-Qur’an pada periode kenabian tersebut tidaklah ditulis secara menyeluruh per surat dan berurutan, karena masing-masing sahabat mencatat hasil pendiktean Rasulullah  SAW berdasarkan kapan wahyu itu turun kepada beliau. ( Abdul Malik bin Hisyam, 1955: 345). 

Al-Bukhari dalam kitab beliau dalam beberapa tempat, sebuah hadits yang menceritakan kejadian tatkala diturunkannya surat An-Nisa ayat 95. Saat itu Rasulullah SAW memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mencatatnya dan Rasulullah SAW membacakan ayat tersebut kepadanya.

Pembukuan Al-Qur’an

Pembukuan Al-Qur’an merupakan proses penulisan ulang seluruh isi Al-Qur’an yang terpisah tersebut menjadi satu mushaf dan disusun secara berurutan mulai dari surat Al-Fatihah dan An-Naas sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada para sahabat. Perbedaan antara penulisan dan pembukuan Al-Qur’an terletak pada keadaan Al-Qur’an ketika dicatatkan. Adapun penulisan hanya berupa pencatatan teks semata, sedangkan pembukuan lebih kepada proses penyatuan catatan-catatan maupun hafalan Al-Qur’an menjadi satu.

Kodifikasi Al-Qur’an

Kodifikasi Al-Qur’an merupakan proses penulisan ulang Al-Qur’an atau upaya dalam menghimpun, menggolongkan, mencatat, serta memberi kode dalam penulisan teks Al-Qur’an yang terjadi pada masa Utsman bin Affan RA, berupa penetapan satu macam tulisan untuk berbagai macam bacaan atau qira’ah Al-Qur’an. Adapula ulama yang menyebutnya sebagai proses Naskhul Qur’an atau penggandaan teks Al-Qur’an. (Muhammad bin Abdullah Az-Zarkasyi,1957:235). 

Tujuan dari kodifikasi Al-Qur’an yang dilakukan pada masa Utsman bin Affan RA adalah untuk mencegah terjadinya konflik antar umat Islam yang disebabkan karena perbedaan bacaan (qiraat) AlQur’an. Selain itu, juga bertujuan untuk mencegah terjadinya penyelewengan bacaan yang disebabkan berbagai faktor, seperti ajamiyah atau ketidak fasihan bahasa karena bukan berasal dari arab.

Penyempurnaan Tulisan Al-Qur’an dan Kaidah Tajwid

Pada periode awal, Al-Qur’an dituliskan tanpa adanya tanda baca seperti titik huruf dan juga harakat. Namun umat Islam saat itu masih mampu untuk membaca Al-Qur’an, karena bahasa arab adalah bahasa yang mereka gunakan sehari-hari. Selain itu, banyak juga dari mereka menyandarkan bacaan Al-Qur’an pada hafalannya. Namun ketika Islam semakin menyebar hingga memasuki negeri non arab (ajam), terkadang muncul kesalahan dialek atau pengucapan dalam bahasa arab. Oleh karena itulah kemudian muncul tanda baca untuk mencegah terjadinya kesalahan tersebut. (Muhammad Tahir Al-Kurdi,1946:179). 

Kemudian, disusunlah kaidah tajwid dengan konsep yang lebih sederhana berdasarkan qiraat yang digunakan, untuk menjadi patokan-patokan dasar dalam membaca Al-Qur’an. Walaupun pada awalnya ilmu tajwid hanyalah konsumsi para Qari’ yang mutqin hafalannya dan juga mereka yang memiliki sanad Qira’ah Al-Qur’an. ( Muhammad Sayyidi Al-Amin,2002:19). 

Validitas dan Otentisitas Al-Qur’an (Penjagaan Kehujjahan Al-Qur’an)

Sejak dahulu, telah banyak dari berbagai kalangan yang memberikan tuduhan-tuduhan atas validitas dan otentisitas Al-Qur’an. Berikut ini, merupakan hasil penelitian para cendikiawan muslim yang dapat digolongkan juga sebagai salah satu upaya pemeliharaan terhadap Al-Qur’an dengan menjaganya dari tuduhan-tuduhan yang dapat mengakibatkan jatuhnya validitas serta otentisitasnya, yakni:

Tuduhan yang berkaitan dengan i’rab Al-Qur’an (gramatikal Al-Qur’an). Maka kemudian munculah bantahan semisal yang disusun oleh Dr. Yusuf Khalaf Al-Isawi dalam bukunya Radd Al-Buhtan an I’raabi Aayaati min Al-Qur’an Al-Karim. 

Tuduhan yang berkaitan dengan validitas Al-Qur’an sebagai wahyu ilahi, yang menuduh Rasulullah  SAW yang mengarang isi daripada Al-Qur’an. Maka kemudian muncul bantahan sebagaimana yang disusun oleh:

Dr. Muhammad Sa’id Jamaluddin dalam bukunya Asy-Syubuhaat Al-Maz’uumat Haula Al-Qur’an Al-Karim fii Daairat Al-Ma’aarif Al-Islamiyyah wa Al-Bariithaniyyah.

Adapula Syaikh Su’ud bin Abdul Aziz Khalaf dengan karyanya Dahdhu Da’wa Al-Mustasyriqiin anna Al-Qur’an min ‘Indi An-Nabiy SAW. 

Tuduhan terhadap Al-Qur’an yang muncul pada zaman kontemporer. Maka Dr. Abdul Muhsin Al-Muthiri membantah tuduhan tersebut dalam bukunya Da’awa At-Thaa’iniin fii Al-Qur’an Al-Kariim fi Al-Qarn Ar-Raabi’ Asyar Al-Hijri wa Ar-Radd ‘alaiha. 

Tuduhan terhadap rasm Al-Qur’an dan qiraatnya. Maka, Dr. Abdul Fattah Syalbi membantah di dalam kitabnya yakni Rasm Al-Mushaf Al-Utsmani wa Auhaam Al-Mustasyriqiin fi Qiraat AlQur’an Al-Kariim. 

Tuduhan yang berkaitan dengan misionaris (imam kristen katolik) dan salah interpretasi terhadap Al-Qur’an. Maka, muncul bantahan dari:

Dr. Abdur Radhi dengan menyusun Al-Gharat At-Tanshiriyah ala Ashalat Al-Qur’an Al-Kariim.

Dr. Shalah Abdul Fattah dengan karyanya Al-Qur’an wa Naqdhu Mathaa’in Ar-Ruhbaan. 

Dalam membahas tuduhan orientalis secara khusus, Dr. Muhammad Maher Ali menyusun Mazaa’im Al-Mustasyriqiin Haula Al-Qur’an Al-Kariim.

KESIMPULAN

Jika melihat catatan sejarah, maka Al-Qur’an yang beredar dan digunakan sampai saat ini adalah Al-Qur’an yang melalui proses panjang pada setiap pengumpulannya. Secara umum, ada dua metode dalam pengumpulannya, yaitu metode menghafal dan metode menulis. dalam pengumpulan Al-Qur’an terdapat tiga periodesasi. Pertama, periode Nabi Muhammad SAW. adalah seorang hafidz pertama sekaligus contoh paling baik perihal hafalan Al-Qur’an-nya, periode ini dominan pada hafalan. Kedua, periode Abu Bakar Ash-Shiddiq. Pada masa ini trjadi banyak kekacauan, terutama kekacauan yang dipimpin oleh Musailamah Al-Kadzdzab bersama para pengikutnya. Salah satunya adalah perang Yamamah yang terjadi pada 12 H, tercatat 70 Hafidz gugur. Ketiga, periode Utsman bin ‘Affan. Wilayah penyebaran Islam semakin luas, para pengajar Al-Qur’an pun diperlukan lebih.

Manuskrip Al-Qur’an yang diteliti di Universitas Birmingham Inggris diklaim sebagai manuskrip yang tertua di dunia. Dalam rilis resmi yang disampaikan oleh pihak Universitas, Al-Qur’an itu terdiri dari dua lembar perkamen. Ada beberapa bagian ayat dari surat Al-Kahfi sampai Thaha di dalam perkamen tersebut. Namun tak semuanya utuh karena faktor usia.

Pada masa Rasulullah pemeliharaan Al-Qur’an dimulai dengan adanya hafalan Al-Qur’an dan juga dengan menulis ayat-ayat yang turun. Yang mana Al-Qur’an itu diturunkan secara berangsur-angsur selama lebih dari 22 tahun. Dan selama ituproses penghafalan dan penulisan terus berlangsung. Penulisan Al-Qur’ann sendiri pada masa Rasulullah menggunakan media seadanya, mengingat saat itu tulis menulis di Arab bukanlah suatu hal yang sering dilakukan. Ada ayat yang ditulis dengan sarana pelepah kurma, kulit kayu, papan batu, kulit hewan, dan tulang.


DAFTAR PUSTAKA

Faizin, Hamam. 2012. Sejarah Pencetakan Al-Qur’an. Yogyakarta: Era Baru Pressindo

Darmadi, Didik. PEMELIHARAAN AL-QUR’AN SEJAK ERA KENABIAN HINGGA ZAMAN KONTEMPORER Upaya Menjaga Orisinalitas & Validitas Al-Qur’an

Agus Darmawan, Agus. Mengkritisi Orientalis yang Meragukan Otentisitas Qur’an. Surabaya: Sekolah Tinggi Agama Islam YPBWI Surabaya

Sayyid bin Ahmad asy-Syathiri, Muhammad. 2011. Terj. 'Ardlul Adillah wal Barohin ala Kitabatil Mashohif Kamilatan fi Hayati Sayyidil Mursalin Shollallahu alaihi Wasallam wa fi Ahdil Khulafa'irrosyidin (Otentisitas al-Qur'an; Argumen dan Fakta Sejarah). Rembang: TB. Al-Anwar 1

Posting Komentar

0 Komentar