TRANSMISI QIRO’AH AL QUR’AN DI BANYURIP | Maulia Khafidhoh

Kelurahan Banyurip adalah satu Kelurahan di Kecamatan Pekalongan selatan, Kota Pekalongan yang berbatasan dengan Kelurahan Buaran disebelah utara, Desa Kertijayan di sebelah selatan, Kelurahan Kradenan di sebelah Timur dan Desa Curug di sebelah barat. Dari urutan jumlah terbesar sampai terkecil, penduduk Kelurahan Banyurip memiliki mata pencaharian sebagai karyawan, pedagang, etani, pertukangan, pensiunan, nelayan, pemulung, jasa, dan buruh (sebagai PRT di kota-kota besar ataupun di luar negeri). Dari segi ekonomi, sebagian besar penduduk Kelurahan Banyurip ini termasuk golongan ekonomi menengah. Masyarakat Kelurahan Banyurip sebagian besar berafiliasi ke NU sehingga NU sangat berpengaruh terhadap praktik keagamaannya. Praktik keagamaan yang dipengaruhi oleh NU yaitu Yasinan dan tahlilan, Tingkeban atau tujuh bulanan, Berzanjian, Pembacaan Manaqib, Ziarah kubur. (Tim Penyusun, 2015)

Sedangkan untuk pendidikan agama sebagian besar anak-anak usia sekolah SD dan SMP di Kelurahan Banyurip mendapatkannya melalui Madrasah diniyah, majelis ta’lim, dan sekolah formal. Pendidikan agama Islam di Madrasah diniyah dan majelis ta’lim atau TPQ meliputi pendidikan Aqidah, akhlak, al-Qur’an dan hadits, sejarah Islam, fiqih dan lain-lain. Hari-hari besar dalam Islam juga diperingati di Kelurahan Banyurip, seperti misalnya: nuzulul Qur’an, tahun baru Islam, Isra’ mi’raj, dan tentu saja dua hari raya Id dan hari besar lainnya. Biasanya pada peringatan hari besar Islam kegiatan diisi dengan pengajian umum, khitan masal dan juga semaan al-Qur’an. Selain kegiatan sosial kegamaan, ada pula kegiatan sosial keagamaan yang lainnya, yaitu kegiatan semaan al-Qur’an yang juga rutin dilakukan, baik yang dilakukan tiap minggu, maupun tiap bulan, yang bertempat di masjid, mushala maupun rumah-rumah penduduk yang menyelenggarakan kegiatan semaan al-Qur’an. Kegiatan ini di ikuti oleh laki-laki dan juga perempuan dari segala usia. (Tim Penyusun, 2015)

Salah satu majelis yang ada di Kelurahan Banyurip yaitu Majelis Ta’lim Qur’an Darul Furqon, yang dipimpin oleh KH. Abdurrahim. Beliau hafidz al qur’an dan belajar di Kairo selama 7 tahun. Beliau terfokus pada pengajaran ilmu alqur’an, dengan menyimak  santrinya yang hafalan alqur’an dan mendekte setiap ayat alqur’an kepada santrinya yang tidak menghafal al qur’an di Pondok Junaid. Tetapi dalam Majelisnya beliau tempatkan dirumahnya, setiap hari selasa jam 8 pagi dimulainya pengajian Qiro’ah Sab’ah. Majelis ini sudah dibentuk dari lama, akan tetapi kurangnya minat masyarakat Banyurip dalam belajar ilmu qiro’at menyebabkan sedikitnya orang yang belajar di majelis ta’lim Darul Furqon.

Kebanyakan santri yang mengaji di majelis ini berasal dari jauh, rata-rata sudah berumah tangga dan masing-masing santri mempunyai bakat di bidang tilawah. Namun hal itu tidak menyurutkan niat KH Abdurrahim untuk tetap mengajarkan ilmu qiro’ah. Cara pengajaran yang di lakukan KH Abdurrahim yaitu menggunakan qiro’ah sab’ah.  Membaca alqur’an satu ayat dengan menggunakan Qiro’at Sab’ah dan membacanya harus dengan tartil atau tilawah. Setelah itu mengoreksi qiro’at yang sudah di baca dan menjelaskan qiro’ah sab’ahnya dengan perkata. Kemudian beliau juga memberitahu kitab-kitab qiro’ah sab’ah yang dulu pernah beliau pelajari.

Majelis ta’lim Darul Furqon menerima siapa saja yang mau belajar alqur’an dan untuk bisa belajar mengenai Qiro’ah sab’ah ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu sudah menghatamkan al qur’an baik bi nadhor maupun bil ghoib, lancar dalam membaca alqur’an dan mahkhrajnya jelas, mempunyai bakat dalam bidang tartil maupun tilawah. Untuk syarat yang terakhir dikecualikan, yang terpenting dalam membaca alqur’an makhroj, tajwidnya serta lancar dalam membaca. 

Transmisi merupakan hal yang memorial untuk melegitimasi sebagai proses pembacaan yang kreatif, sedangkan transformasi merupakan model dan nilai universal yang dipraktikkan dalam konteks yang khas dan selalu berubah. Dalam hal qirā‟at al-Qur’an, kelisanan bersifat konservatif (berusaha menjaga tradisi), bahwa kelisanan alQur’an berbasis pada tradisi–Nabi, bersifat homeostatis, artinya dimaknai berdasarkan makna pada saat konteks itu juga, sedangkan pola tulisan mengkonstruk struktural. Qira`at merupakan bentuk jamak dari Qira`ah yang artinya baca`an. Sedangkan menurut istilah bahwa qira`at meruppakan metode atau cara baca lafadz atau kalimat didalam al-qur`an dari berbagai macam segi (riwayat), sebagaimanan yang diriwayatkan langsung dari rosulullah SAW. (Bahtian, 2019:229)

Dalam konteks Indonesia, tradisi dimulai dari hal yang mendasar, mulai dari belajar melafalkan al-Qur’an, menghafalkannya, memahami makna, mengamalkannya hingga menggunakan al-Qur’an untuk kebutuhan tertentu. Dari proses itu, bisa dipahami bahwa al-Qur’an bersifat oral dan literal. Orang Arab mempunyai aneka ragam lahjah (dialek) yang timbul dari fitrah mereka dalam langgam, suara dan huruf-huruf sebagaimana diterangkan secara komprehensif dalam kitab-kitab sastra, setiap kabilah mempunyai irama tersendiri dalam mengucapkan kata-kata yang tidak dimiliki kabilah-kabilah lain. (Ade, 2018:103) Adapun Jenis-jenis qira`at

Qira`at berdasarkan kuantitas 

Secara kuantitas qira’at terbagi menjadi tiga bagian yang terkenal di antaranya: Qira`at sab`ah Qira’at sab‘ah adalah qira’at yang disandarkan kepada tujuh imam yang telah disepakati oleh para ulama, antara lain: Ibnu Amir. Adapun yang dimaksud dengan Qira’at Empat Belas (Qira’at Al-Arba’ ‘Asyarah) adalah sepuluh Qira’at ditambah dengan empat Qira’at yaitu Hasan Al-Bishry, Muhammad bin Abdu Ar-Rahman, Yahya bin Al-Mubarak Al-Yazidiy, Abu Al-Faraj Muhammad bin Ahmad Al-Syanbudziy. Namun 4 bacaan tambahan ini tidak lolos seleksi, sehingga di kategorikan sebagai bacaan syadz yang tidak terpakai, karena dalam sanadnya tidak shahih.

Qira’at berdasarkan Kualitas

Para ulama berbeda-beda pada pendapatnya mengenai kualitas qiraat, antara lain Al-Suyuthi dalam kitabnya Al-Itqan fi Ulum Al-Quran ‖ menyebutkan bahwa secara kualitas qira’at terbagi menjadi: mutawatir, masyhur, ahad, syadz, mudraj, maudlhu.

Mutawatir adalah sesuatu yang penukilannya oleh orang banyak yang tidak memungkinkan adanya kebohongan dari awal sampai akhir sanadnya.

Masyhur adalah sesuatu yang sahih sanadnya namun tidak sampai ke tingkatan mutawatir, namun sesuai dengan kaidah bahasa arab atau sesuai dengan rasm usmani.

Ahad adalah sesuatu yang sahih sanadnya, namun tidak sesuai dengan rasm usmani atau kaidah bahasa arab.

Syadz adalah sesuatu yang tidak sahih sanadnya, seperti bacaan (malaka yau middin) surat AlFatihah dengan bentuk fiil madli atau kata kerja lampau. e. Mudraj adalah sesuatu yang ditambahkan dalam qira’at dengan bentuk penafsiran. f. Maudlu adalah bacaan yang tidak ada aslinya, atau kaidahnya. (Ahmad, 2018)


Struktur sosial yang mejemuk, tidak selalu memiliki satu paradigma yang sama tentang sebuah fenomena, juga tentang qira’at sab’ah. Dalam masyarakat santri, qira’at sab’ah menjadi ilmu yang terlembaga dan mempengaruhi pola pendidikan santri dalam bidang al-Qur’an. Kemutawatiran qira’at sab’ah dilegitimasi oleh guru menjadi bagian penting tersendiri, sebab, secara umum bagi santri, sanad keilmuan qira’at sab‟ah alQur’an adalah poin emas dalam keilmuan Islam, juga sebagai bukti nyata dalam struktur sosial kemasyarakatan. Para penghafal al-Qur’an yang banyak bermunculan di media, agaknya juga perlu menguasai qira’at al-Qur’an sebagai salah satu bagian upaya menjaga kelisanan al-Qur’an, disamping ‘hanya sekedar’ menyandang gelar “ḥamalah al-Qur‟ān” atau “hafiż al-Qur’an”. Sebab, al-Qur’an sendiri telah menjadi sebuah sumber keilmuan yang ‘dilembagakan’ untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam fenomena sosial. Dan hal ini yang sedang banyak dicoba oleh beberapa santri yang ada di Majelis Ta’lim Darul Furqon dalam rangka mengamalkan ilmu dan menjaga tradisi ulama al-Qur’an, salah satunya ilmu tentang qira’at sab’ah. (Ade, 2018:111)

Posting Komentar

0 Komentar