Pict, kumparan.com |
Penyakit Coronavirus 2019 (COVID-19) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh sindrom pernapasan akut coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Penyakit ini pertama kali diidentifikasi pada Desember 2019 di Wuhan, ibu kota provinsi Hubei China, dan sejak itu menyebar secara global, mengakibatkan pandemi coronavirus 2019-2021 yang sedang berlangsung. Gejala umum termasuk demam, batuk, dan sesak napas. Gejala lain mungkin termasuk nyeri otot, produksi dahak, diare, sakit tenggorokan, kehilangan bau, dan sakit perut. Sementara sebagian besar kasus mengakibatkan gejala ringan, beberapa berkembang menjadi pneumonia virus dan kegagalan multi-organ (Eman Supriatna, 2020).
Jika kita merunut kepada sejarah, bahwa dimasa Rasulullah SAW wabahpun pernah terjadi dan menimbulkan korban jiwa. Wabah penyakit yang terjadi pada zaman Rasulullah adalah sejenis penyakit kusta, penyakit kusta ini juga termasuk penyakit keras, menular dan hingga menyebabkan kematian selain itu penyakit kusta ini dalam menjangkit manusia sangat cepat proses penyebarannya dimasa kala itu. Selain di zaman Rasullah wabah penyakit juga pernah melanda di masa para sahabat yaitu pada masa khalifah Umar bin Khatab, adapun wabah penyakit yang terjadi pada masa Umar bin Khatab adalah penyakit kolera, yang pada saat itu rombongan khalifah Umar bin Khatab dan rombongan tengah mengadakan perjalanan menuju negeri Syam (Tasri, 2020).
Dalam konteks sekarang, dengan adanya virus corona merupakan salah satu cobaan. Semua orang dibuat takut dan khawatir oleh penyebaran virus COVID-19 ini. Oleh sebab itu, sikap yang diambil adalah meyakini bahwa virus adalah makhluk Allah, tunduk dan taat atas perintah Allah Swt. Dengan demikian, manusia diharuskan kembali kepada jati dirinya yaitu ada Yang Maha Kuasa dibalik semua kejadian di muka bumi ini. Sikap selanjutnya adalah berdoa, karena kekhawatiran akan menyebarnya virus corona bukan menjadikan paranoid, sebagai insan beriman kita harus yakin bahwa semua itu atas kehendak-Nya, maka berdoa agar selamat dan dijaga dari penyebaran penyakit akibat virus corona menjadi sesuatu yang harus kita mohonkan kepada Allah Swt. Sikap selanjutnya sesuai dengan apa yang dianjurkan oleh Rasulullah Muhammad Saw (Mukharom, Havis Arafik, 2020).
Wabah virus corona yang terjadi saat ini, jika kita rujuk pada sejarah Nabi merupakan wabah yang sudah terjadi dengan kondisi yang hampir sama, sehingga penanganannya pun sama. Oleh karena itu, untuk mengatasi wabah tersebut salah satunya adalah dengan menerapkan karantina atau isolasi terhadap penderita. Ketika itu Rasul memerintahkan untuk tidak dekat-dekat atau melihat para penderita kusta. Dengan demikian, metode karantina telah diterapkan sejak zaman Rasulullah untuk mencegah wabah penyakit menular menjalar ke wilayah lain. (Eman Supriatna, 2020).
Berdasarkan al-Maqashid as-Syari’ah pada prinsipnya hukum syariat bertujuan untuk mencapai kebahagiaan hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Kebahagiaan tersebut dapat tercapai apabila mencari dan mengumpulkan segala sesuatu yang bermanfaat, dan menghindarkan diri dari segala yang merusak. Dalam terminologi ushul fiqh dikenal dengan kaidah dar’ul mafasid muqoddam ‘alâ jalbil masholih (menghindarkan kerusakan/kerugian diutamakan atas upaya membawakan keuntungan/kebaikan) dan adh-dhororu yuzalu (bahaya haruslah dihilangkan). Islam juga tidak menghendaki kemudharatan kepada umatnya. Oleh karena itu, setiap kemudharatan wajib hukumnya untuk dihilangkan, sehingga pencegahan terhadap hal-hal yang mendatangkan kemudharatan lebih dikedepankan daripada menarik suatu kemaslahatan di dalamnya. Termasuk mencegah merebaknya virus corona ini harus dilakukan dengan segala upaya termasuk mengambil risiko yang bahayanya lebih sedikit untuk menghindarkan diri dari bahaya yang lebih besar. Dengan demikian baik kebijakan lockdown maupun social distancing merupakan salah satu cara untuk mengindarkan diri dari mafsadat (keburukan) yang ditimbulkan wabah virus corona yang telah menjadi pendemi global (Mukharom, Havis Arafik, 2020).
Sejak merebaknya virus Corona banyak lembaga fatwa yang mengeluarkan fatwanya dalam menghadapi virus Corona tersebut, diantaranya yaitu dilarang bersalaman, dilarang melakukan shalat Jum’at dan diganti dengan shalat Dzuhur (Ahmad Sanusi: 24). Hal ini didasarkan pada QS al-Baqarah ayat 30, yang berbunyi:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui"
Manusia sebagai khalifah yakni sebagai pemimpin di dunia ini maka manusia berkewajiban menjaga ketahanan manusia di dunia ini dan juga wajib bagi manusia menjaga ketahanan alam sekitar atau lingkungan. Hal itu sesuai dengan Maqashid Syariah Hifdzul Bi’ah. Menjaga lingkungan saja hukumnya wajib, apalagi menjaga keberlangsungan hidup manusia dan itu sudah barang tentu sangat diwajibkan. Oleh karena itu manusia sebagai khalifah sudah seharusnya menjaga alam sekitar dan manusia itu sendiri. Apabila manusia tidak berikhtiar mencegah pandemi virus Corona, maka niscaya semua manusia akan terkena wabah itu dan hilanglah keberlangsungan hidup manusia. oleh karena itu karena hal tersebut sudah merupakan hajat manusia dalam mencegah wabah dan hajat itu bisa menempati posisi dharurat dan dharurat itu bisa membolehkan yang dilarang (Ahmad Sanusi: 25). Hal itu sebagaimana dikatakan dalam kaidah fiqhiyah sebagai berikut:
الحاجة تنزل منزل الضرورة
Artinya: “Hajat itu bisa menempati posisi darurat”
الضرورة تبيح المحظورات
Artinya: “Darurat itu bisa membolehkan yang tidak boleh”.
Pelaksanaan ibadah shalat jum’at merupakan satu kefardhuan bagi setiap laki-laki mukallaf yang bermukim, namun ia berada pada kedudukan hajiyyat atau tahsiniyyat bukan dharuriyyat. Manakala pelaksanaan ibadah shalat berjamaah di masjid tanpa menafikan keutamaan dan fadhillahnya, ia hanya merupakan bentuk pelengkap (mukammil) kepada konsep hifdz al-din. Dengan demikian dapat dipahami bahwa selagi umat muslim mengerjakan atau melaksanakan ibadah shalat, maka hifdz al-din tetap terlaksana sekalipun pelaksanaan ibadah shalat Jum’at maupun shalat berjamaah di masjid harus ditangguhkan sementara waktu (Hudzaifah Achmad Qotadah, 2020).
Dengan demikian kita dapat memahami persoalan yang sedang terjadi saat ini yaitu pandemi virus Corona, yang mana salah satu pencegahannya dengan melakukan Social Distancing. Pada dasarnya hukum dari Social Distancing adalah mubah atau boleh. Karena dapat kita pahami bahwa hukum asal dari segala sesuatu adalah mubah apabila tidak ada dalil yang melarangnya, seperti halnya Social Distancing. Namun hukum dari Social Distancing dapat bervariasi sesuai dengan situasi dan kondisi, apakah wajib, mubah, makruh atau haram. Maka dari itu, disini dapat ditarik kesimpulan hukumnya dengan menggunakan landasan Maqashid Syariah, karena Social Distancing menempati tingkatan daruriyah pada posisi hifdz al-nafs, yakni dalam rangka menyelamatkan nyawa sendiri dan orang lain di sekitar di tengah pandemi COVID-19 sekarang ini. Karena apabila Social Distancing ini tidak dilakukan, maka akan mengakibatkan penularan dari manusia satu ke manusia yang lainnya dan bahkan dapat menimbulkan kematian. Maka dari itu tindakan Social Distancing ini harus dilakukan, dan secara otomatis hukumnya sudah tidak lagi mubah, akan tetapi meningkat menjadi wajib dalam rangka menjaga jiwa (Zenzen Zainul Ali, 2020: 89).
0 Komentar