Riba secara bahasa bermakna (az-ziyadah) tambahan, (an-numuw) berkembang, (al-irtifa’) meningkat, dan (al-‘uluw) membesar. Riba secara umum adalah pengambilan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam islam.
Riba hukumnya haram bagi umat islam karena terdapat beberapa firman Allah SWT dan hadis Nabi Muhammad SAW yang melarang mengambil riba apa pun jenis dan bentuknya.
Diatara ayat ayat dan hadis larangan riba adalah sebagai berikut :
1. larangan riba dalam al-qur’an
Larangan riba dalam al-qur’an tidak diturunkan sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap.
Tahap pertama (Q.s Ar-Ruum : 39), menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zahir-nya seolah-olah menolong orang yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati Allah SWT.
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ ۖ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”
Tahap kedua (Q.s An-Nisa : 160-161), riba digambarkan sebagai sesuatu yang buruk, Allah SWT mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang yahudi yang memakan riba.
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”
Tahap ketiga (Qs Ali Imran : 130), riba diharamkan dengan dikaitkan kepada sesuatu tambahan yang berlipat ganda.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.
Tahap keempat (Qs Al-Baqarah : 278-279), Allah SWT dengan jelas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari jenis pinjaman dan transaksi lain.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
2. larangan riba dalam hadis
Pelarangan riba dalam agama islam tidak hanya merujuk pada al-qur’an, melainkan juga al-hadis, hal ini menunjukkan bahwasanya posisi umum hadis yang berfungsi menjelaskan lebih mendalam dan rinci keterangan pada al-qur’an.
Dalam amanat terakhirnya pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriyah, Rasulullah masih menekankan sikap Islam yang melarang riba. “Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu, dan Dia pasti akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba, oleh karena itu hutang akibat riba harus di-hapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan.”
Selain itu, masih banyak lagi hadits yang menguraikan masalah riba. Di antaranya adalah :
عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
Jabir berkata bahwa Rasulullah mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda, “Mereka itu semuanya sama.” (H.R. Muslim no. 2995, kitab Al Masaqqah).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah berkata, “Pada malam perjalanan mi’raj, aku melihat orang-orang yang perut mereka seperti rumah, di dalamnya dipenuhi oleh ular-ular yang kelihatan dari luar. Aku bertanya kepada Jibril siapakah mereka itu. Jibril menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang memakan riba.”
رَوَى الْحَاكِمُ عَنِ ابْنْ مَسْعُوْد أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ: الرِّباَ ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَاباً أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ
Al Hakim meriwayatkan dari Ibnu Mas`ud, bahwa Nabi e bersabda: “Riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan), yang paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang me-lakukan zina dengan ibunya.”
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tuhan sesungguhnya berlaku adil karena tidak membenarkan empat golongan memasuki surga atau tidak mendapat petunjuk dari-Nya. (Mereka itu adalah) Peminum arak, pemakan riba, pemakan harta anak yatim, dan mereka yang tidak bertanggung jawab atau menelantarkan ibu bapaknya.”
Sudah banyak ayat dan hadis tentang larangan memakan riba, bahkan jika melihat sejarah persolan riba ini bukan hanya di umat islam saja, tetapi berbagai kalangan di luar islam seperti kalangan yahudi, yunani, romawi dan kristen melarang dan mengecam praktik riba ini, sebagaimana yang terdapat dalam kitab kitab mereka.
kita lihat fenomena akhir-akhir ini, betapa mirisnya pada zaman sekarang, masih banyak para cendekiawan kontemporer yang membenarkan konsep riba dalam bentuk pengambilan bunga pada aplikasi perbankan. Padahal sudah sangat jelas dan sharih ayat-ayat dan hadis mengenai riba ini, tetapi mereka memberikan beberapa penjelasan dan alasan-alasan pembenaran sebagai berikut.
1. dalam keadaan darurat, bunga halal hukumnya
2. hanya bunga yang berlipat ganda saja dilarang, sedangkan suku bunga yang wajar dan tidak mendzalimi di perkenankan
3. bank, sebagai lembaga tidak termasuk dalam kategori mukallaf. Dengan demikian, tidak terkena khitab ayat-ayat dan hadi riba.
4. karena saling ikhlas dan ridho
Dari beberapa penjelasan, mereka yang membenarkan riba dalam aplikasi perbankan secara terang-terangan dan secara perlahan lahan, sudah mencerminkan bahwasanya riba dalam konteks tersebut bersifat khilafiyah, bisa hukumnya haram, makruh, mubah, dan bahkan bisa halal. Dengan demikian akan menimbulkan spesifikasi mengenai hukum bunga bank dan akan menjadi pokok permasalahan baru dikalangan ummat, sebab di akhir-akhir ini, permasalahan hukum bunga bank kembali mengemuka di masyarakat dan menjadi viral. Untuk itu perlu kita ketahui lebih mendalam atas alasan-alasan pembenaran mereka, sehingga masyarakat tidak kebingungan dengan tipuan atau pemahaman yang salah kaprah.
Berikut penjelasannya :
1. Alasan darurat
Untuk memahami pengertian darurat, kita seharusnya melakukan pembahasan yang komperehensif tentang pengertian darurat seperti yang di nyatakan oleh syara’ (Allah dan Rasulnya) bukan pengertian sehari-hari terhadap istilah ini.
Sebagaimana menurut imam suyuti dalam bukunya al-asybah wan-nadzair menegaskan bahwa “darurat adalah suatu keadaan emergency dimana jika seseorang tidak segera melakukan sesuatu tindakan dengan cepat, akan membawanya kehancuran atau kematian. Seperti memakan daging babi di hutan apabila tidak ada makanan lain lagi kecuali daging babi yang diharamkan. Dalam keadaan darurat demikian allah menghalalkan daging babi dengan 2 batasan sebagaimana dalam Qs. Al-baqarah : 173
….فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
…Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang (1) dia tidak menginginkannya (2) dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Sesuai dengan ayat diatas ulama merumuskan kaidah “darurat itu harus dibatasi sesuai kadarnya”
Artinya, darurat itu ada masa berlakunya serta ada batasan ukuran dan kadarnya. Contohnya, seandainya di hutan ada sapi atau ayam, dispensasi untuk memakan dagin babi menjadi hilang. Demikian juga seandainya untuk mempertahankan hidup cukup dengan 3 suap, tidak boleh melampaui batas hingga tujuh atau sepuluh suap, apalagi jika dibawa pulang untuk dibagi-bagikan.
2. Alasan berlipat ganda
Pendapat bahwa bunga hanya dikatakan riba bila sudah berlipat ganda dan memberatkan, sedangkan bila kecil dan wajar-wajar saja di benarkan. Pemahaman ini berasal dari pemahaman yang keliru atas surah ali Imran ayat 130 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan"
Sepintas surah tersebut memang hanya melarang riba yang berlipat ganda. Akan tetapi, memahami kembali ayat tersebut secara cermat, termasuk mengaitkannya dengan ayat-ayat riba yang lainnya secara komprehensif, serta pemahaman terhadap fase-fase pelarangan riba secara menyeluruuh, akan sampai pada kesimpulan bahwa riba dalam segala bentuk dan jenisnya mutlak di haramkan.
Didalam ayat tersebut juga harus dipahami bahwa kriteria berlipat ganda harus dipahami sebagai hal atau sifat dari riba dan sama sekali bukan merupakan syarat. Jika syarat tentu berarti kalau terjadi pelipatgandaan maka riba, jika kecil tidak riba.
- Dr. Abdullah Draz, dalam satu koonferensi fiqih islami di paris 1978, menegaskan kerapuhan asumsi syarat tersebut. Ia menjelaskan secara lunguistik arti (ضْعَفً) arti kelipatan. Sesuatu berlipat minimal 2 kali lebih besar dari semula, sedangkan kata tersebut merupakan bentuk jamak dari kelipatan tersebut. Minimal jika jamak adalah 3 jadi disimpulkan 3x2=6 kali. Jadi menurutnya, kalau berlipat ganda itu dijadikan syarat maka sesuai dengan konsekuensi bahasa, minimum harus 6 kali atau bunga 600%. Secara operasional dan nalar sehat, angka itu mustahil terjadi dalam proses perbankan maupun simpan pinjam lainnya.
- Syekh umar bin abbdul aziz al-matruk penulis buku ar-riba wal-muamalat al mashrafiyyah fi ash-shariah al-islamiah, menanggapi surah ali Imran : 130, ia menegaskan : adapun yang di maksud ayat 130 surah ali Imran, termasuk redaksi berlipat ganda dan penggunannya sebagai dalil, sama sekali tidak bermakna bahwa riba harus sedemikian banyak. ayat ini menegaskan tentang karakteristik riba secara umum bahwa ia mempunyai kecendrungan untuk berkembang dan belipat sesuai dengan berjalannya waktu. Dengan demikian, redaksi ini, (berlipat ganda) menjadi sifat umum dari riba dalam terminology syara (Allah dan Rasulnya).
- Dr. Sami Hasan Hamoud dalam bukunya, fathwiir al-a’maali al-mashrifiyyah bimaa yattafiqu wasy-syarii’ah al-islaamiyyah hlm. 138-139, menjelaskan bahwa bangsa arab bangsa arab disamping melakukan pinjam meminjam dalam bentuk uang juga melakukannya dalam ternak. Mereka biasa meminjamkan ternak berumur 3 tahun (bint labun). Kalau meminjam bint labun, meminta kembalian (haqqah) ternak berumur 4 tahun. Kalau meminjam haqqah, meminta kembalian (jadzaa) ternak berumur 5 tahun. Kreteria tahun dan umur ternak terkadang loncat dan tidak harus berurutan bergantung pada kekuatan permintaan dan penawaran dipasar. Dengan demikian, kriteria tahun bisa berlipat dari ternak berumur 1 ke 2, bahkan ke 3 tahun. Perlu di renungi pula bahwa menggunakan kaidah mafhum mukhalafah dalam koontteks ali Imran : 130 sangatlah menyimpang, baik dari segi siyaqul kalam, konteks ayatnya, kronologis penurunan wahyunya, maupun sabda-sabda rasulullah seputar pembungaan uang serta praktikn riba pada masa itu.
Secara sederhana, jika kita menggunkan logika mafhum mukhalafah yang berarti konsekuensi secara terbalik jika berlipat ganda dilarang, kecil boleh : jika tidak sendiri, bergerombol: jika tidak didalam, diluar: dan sebagainya. Maka kita akan salah kaprah dalam memahami pesan-pesat Allah SWT. Sebagai contoh, jika ayat larangan berzina dan larangan memakan daging babi kita tafsirkan secara mafhum mukhalafah. Janganlah mendekati zina ! yang dilarang adalah mendekati, berarti perbuatan zina sendiri tidak dilarang. Demikian juga larangan memakan daging babi ! yang dilarang memakan dagingnya, sedangkan tulang, lemak dan kulit babi halal..?
Pemahaman pesan pesan Allah seperti itu jelas sangat membahayakan karena seperti dikemukakan diatas, tidak mengindahkan siyaqul kalam, kronologi turunnya wahyu, konteks antar ayat, sabda-sabda rasulullah seputar subjek pembahasan,demikian juga diisiplin ilmu bayan, badi’ dan maa’ni. Dan yang terakhir, diatas itu semua harus pula dipahami sekali lagi bahwa ayat 130 ali Imran diturunkan pada tahun ke 3 H. hal ini harus diapahami bersama bahwa ayat 278-279 al-baqarah yang turun terakhir pada tahun ke-9 H. dan para ulama menegaskan bahwa ayat terakhir tersebut merupakan “ayat sapu jaad” untuk segala bentuk, ukuran, kadar, dan jenis riba.
3. badan hukum yang taklif
Ada sebagian ulama berpendapat bahwa ketika ayat riba turun dan disampaikan di jazirah Arabia, belum ada bank atau lembaga keuangan, yang ada hanyalah individu-individu. Dengan demikian, BCA, Bank danamon, atau bank lippo dan bank bank lainnya tidak terkena hukum taklif karena pada saat nabi Muhammad hidup belum ada.
Pendapat ini jelas memiliki banyak kelemahan, baik dari sisi historis maupun teknis. Tidaklah benar bahwa pada zaman rasulullah tidak ada badan hukum sama sekali. Sejarah mengatakan, romawai, Persia, dan yunani menunjukkan ribuan lembaga keuangan yang mendapat pengesahan dari pihak penguasa. Dengan kata lain, persoalan mereka telah masuk kelembaran negara.
Pendapat ini jelas memiliki banyak kelemahan, baik dari sisi historis maupun teknis. Tidaklah benar bahwa pada zaman rasulullah tidak ada badan hukum sama sekali. Sejarah mengatakan, romawai, Persia, dan yunani menunjukkan ribuan lembaga keuangan yang mendapat pengesahan dari pihak penguasa. Dengan kata lain, persoalan mereka telah masuk kelembaran negara.
Dalam tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering disebut sebagai jurdicial personality atau syaksyiah hukmiyah, yang dimana hal ini secara hukum adalah sah dan dapat mewakili individu-individu secara keseluruhan.
Kemudian dilihat dari sisi mudharat dan manfaat, perusahaan dapat melakukan mudhrat jauh lebih besar dari perseorangan. Sebagai contoh, kemampuan seoran pengedar narkotika dibandingakan dengan sebuah lembaga mafia dalam memproduksi, mengekpor, dan mendistribusikan obat-obat terlarang tidaklah sama, lembaga mafia jauh lebih besar dan berbahaya. Alangkah naifnya bila kita menyatakan bahwa apa pun yang dilakukan lembaga mafia tidak dapat terkena hukum taklif karena bukan insan mukallaf. Memang sih, ia bukan insan mukallaf, tetapi melakukan fi’il mukallaf yan lebih besar dan berbahaya. Demikian juga dengan lembaga keuangan, apa bedanya antara seorang rentenir dan lembaga rente. Kedua-duanya lintah darat yang mencekikn rakyat kecil. Bedanya, rentenir dalam sekala kecamatan atau kota, sedangkan lembaga rente meliputi provinsi, negara bahkan global.
4 . karena saling ikhlas dan ridho
Semua utang yang menuntut adanya kelebihan adalah riba.
Ibnu Qudamah mengatakan,
كل قرض شرط به أن يزيده فهو حرام بغير خلاف
"Semua utang yang mempersyaratkan harus dilebihkan (pelunasannya) hukumnya haram tanpa ada perbedaan (sepakat ulama). (al-Mughni, 4/390)."
Keterangan lain disampaikan Ibnul Mundzir,
أجمعوا على أن المسلف إذا شرط على المستسلف زيادة أو هدية فاسلف على ذلك أن أخذ الزيادة على ذلك ربا
"Ulama sepakat bahwa apabila orang yang memberi utang mempersyaratkan pihak yang dihutangi harus memberi tambahan atau hadiah, kemudian dilakukan transaksi utang piutang dengan kesepakatan itu, maka mengambil tambahan tadi statusnya riba. (al-Ijma’ , hlm. 90)."
Semua pengajuan kredit di bank, ada ketentuan harus membayar bunga sekian persen perbulan. Dan sangat jelas ini riba, berdasar sepakat ulama. Bunga atas pinjaman ini adalah manfaat yang didapatkan pihak bank karena memberikan dana utangan ke nasabah.
Kita memang tidak bisa mendapatkan keterangan tentang bunga bank di buku-buku klasik. Karena ketika itu belum ada bank. Tapi bisa kita dapatkan dari pernyataan ulama kontemporer yang menjumpai bank. Salah satu kesepakatan mereka dinyatakan dalam kitab Ahkam al-Mal al-Haram, “Muktamar Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah di Kairo, tahun 1965, hingga muktamar tertinggi di Mekah, yang dihadiri lebih dari 300 ulama besar, menetapkan bahwa semua bunga bank adalah haram.” (Ahkam al-Mal al-Haram, hlm. 168).
Namum meraka menyangkal kembali dengan memertanyakan...! bukankah bunga bank itu saling ridho, Benar, riba itu saling ridha...? Dan saling ridha dalam hal ini tidak mengubah hukum riba menjadi halal.
Sahabat Abdullah bin Sallam radhiyallahu ‘anhu pernah berpesan kepada Abu Burdah ketika beliau berkunjung ke rumahnya Abdullah,
إِذَا كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ فَأَهْدَى إِلَيْكَ حِمْلَ تِبْنٍ أَوْ حِمْلَ شَعِيرٍ أَوْ حِمْلَ قَتٍّ فَلا تَأْخُذْهُ فَإِنَّهُ رِبًا
“Apabila kamu mengutangi orang lain, kemudian orang yang diutangi memberikan fasilitas membawakan jerami, gandum, atau pakan ternak maka janganlah menerimanya, karena itu riba.” (HR. Bukhari 3603)
Judi juga saling ridha… sebelum bermain, para penjudi bersepakat, siapa yang kalah, harus menyerahkan hartanya. Tapi saling ridha tidak menyebabkan judi menjadi halal. Sogok dan gratifikasi juga saling ridha… sebelum menang tender, vendor sudah mengikat perjanjian dengan oknum pejabat, akan ada bagi hasil setelah proyek selesai. Tidak semua akad menjadi halal karena saling ridha. Yang dipersyaratkan saling ridha adalah jual beli atau perdagangan. Agar hasilnya halal, disyaratkan pelaku akad harus saling ridha.
Dengan alasan demikian dapat disimpulkan bahwa Mayoritas jumhur ulama sepakat bahwa praktik bunga yang ada di perbankan konvensional adalah sama dengan riba dan termsuk dosa besar oleh karena itu haram. Walaupun ada sejumlah layanan perbankan yang tidak mengandung unsur bunga. Ditambah lagi beberapa fatwa dan ormas islam yang berpengaruh di dunia maupun di indonesia seperti Nahdatul Ulama, Mejlis tarjih Muhammadiyah, Mufri negara mesir, konsul kajian islam dunia, akademi fiqih liga muslim, pimpinan pusat dakwah kerajaan arab Saudi telah sepakat bahwa bunga bank itu adalah riba’ ditambah lagi fatwa MUI 24 januari 2004 juga menyatakan bahwa bunga bank termasuk riba.
Dengan demikian, alangkah malunya dita di mata Allah SWT dan Rasulullah SAW. Ketika saat ini sudah berdiri dua bank syariah secara penuh dan 78 bank perkreditan rakyat syariah, asuransi takaful, reksadana syariah, dan ribuan baitul maal wat-tanwil (dengan segala kekurangan dan kelebihannya), kita masih belum mebuka hati untuk “bertanggung jawab” terhadap ajaran agama kita. Bagi seorang muslim yang taat dan berada dalam kondisi yang ideal dan berada dalam posisi yang dapat memilih, tentunya akan lebih baik dan berusaha menjauhi praktik bank-bank konvensional yang diharamkan. Yaitu dengan beralih ke bank-bank Syariah.
والله أعلمُ
0 Komentar