Munasabah

MUNASABAH AL-QUR’AN 

Oleh Siti Nur Asiah 

A. PENDAHULUAN 

     Al-Qur’an merupakan mukjizat yang paling besar yang diterima oleh nabi Muhammad SAW. Segala yang ada di dalamnya tidak ada sama sekali keraguan. Hal tersebut terjadi karena Allah telah berjanji akan menjaga isi kandungan Al-Qur’an hingga hari kiamat. 

     Oleh karena itu kita sebagai umat Muslim dianjurkan untuk membacanya. Bukan hanya sekedar membacanya saja, tapi juga harus mengetahui isi kandungannya. Dan untuk dapat menafsirkan al-Qur’an dengan baik dan benar maka kita harus mempelajari Ulumul Qur’an terlebih dahulu. 

     Ulumul Qur’an sendiri berasal dari dua kata yakni, ulum dan al-Qur’an. Ulum berarti ilmu, sedangkan al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang tidak akan berubah isi kandungannya hingga akhir zaman. Dan didalam Ulumul Qur’an ada materi tentang Ilmu Munasabah. 

     Para ulama al-Qur’an memasukkan ilmu munasabah, yaitu pengetahuan tentang keterkaitan, hubungan antar ayat dan surah dalam al-Qur’an sebagai bagian dari Ulumul Qur’an. Oleh karena itu, ada yang berpendapat bahwa sebelum menjelaskan atau menafsirkan sesuatu ayat, seorang mufassir selain menunjukkan asbab an-nuzul agar terlebih dahulu juga menunjukkan hubungan antara ayat tersebut dengan ayat sebelumnya. Demikian juga halnya dalam membicarakan suatu surah dalam al-Qur’an.

     Keyakinan terhadap munasabah yang ada dalam al-Qur’an dikuatkan pula dengan adanya kesepakatan ulama bahwa susunan ayat-ayatnya bersifat tauqifi, sesuai petunjuk Nabi SAW. Bahkan dapat dikatakan sebaliknya yaitu adanya kesepakatan tentang tauqifi dari susunan ayat-ayat itu sendiri yang merupakan landasan yang kuat untuk membangun teori tentang adanya munasabah di dalam al-Qur’an. Pernyataan terakhir ini seolah memandang bahwa munasabah itu merupakan sesuatu yang Ijtihadi, dan dengan demikian membuka peluang untuk terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama. 

   Oleh karena itu, penulis akan membahas tentang Ilmu Munasabah dalam makalah ini. 

B. PEMBAHASAN 

1. Definisi Munasabah dalam Al-Qur’an 

    Tanasub dan munasabah berasal dari akar kata yang sama, yaitu نسب al- munasabah mengandung arti berdekatan, bermiripan. Oleh karena itu ungkapan فُللاَنٌ يُناَسِبُ فُلاَناً bermakna si pulan itu mirip dengan pulan yang lain; dua orang bersaudara disebut satu nasib (نسب : keturunana) karena keduannya bermiripan. Menurut Jalal al-Din al-Suyuthi, munasabah secara etimologis adalah musyakalah dan muqarabah yang berarti kesamaan dan kedekatan. Ibn al-Qayyim al-Jauzi menamakan tanasub dengan tasyabuh yang berarti keserupaan. Dengan demikian, arti munasabah secara etimologis adalah kecocokan, kesesuaian, kesamaan, kedekatan, dan keserupaan. Konkretnya, munasabah adalah hubungan atau relevansi antara satu dengan yang lain. 

   Secara istilah pengertian munasabah menurut para ahli cukup banyak, diantarannya: 

a. Secara sederhana Mannâ' al-Qaththân mendefinisikan munasabah sebagai berikut: ”Bentuk hubungan antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat, atau antara satu ayat dengan ayat lain dalam satu kelompok ayat, atau antara satu surat dengan surat yang lain”. 

 b. Menurut al-Alma’i mendefinisikan munasabah sebagai “pertalian antara dua hal dalam aspek apapun dari berbagai aspeknya”.

c. Qhadi Abu Bakar Ibnu al-Arabi, munasabah adalah pengetahuan tentang segala sesuatu yang mempunyai hubungan antara ayat yang satu dengan ayat yang lainnya sehingga semuanya menjadi seperti satu kata yang maknanya serasi Dan susunannya teratur. 

 d. Al-Suyuthiy mengatakan munasabah adalah penghubungan atau persesuaian tidak terlepas adanya pengikat antara satu dengan yang lainnya, baik bersifat umum maupun khusus, menurut pertimbangan akal, persamaan atau imajinasi; seperti illat dan ma’lul, hubungan persamaan atau perlawanan. 

e. Yunahar Ilyas mengatakan munâsabah adalah mencari kedekatan, hubungan, kaitan, antara satu ayat atau kelompok ayat dengan ayat atau kelompok ayat yang berdekatan, baik dengan yang sebelumnya maupun yang sesudahnya. Termasuk mencari kaitan antara ayat yang berada pada akhir sebuah surat dengan ayat yang berada pada awal surat berikutnya atau antara satu surat dengan surat sesudah atau sebelumnya. 

f. Sedangkan menurut al-Biqa’i, ilmu munasabah ialah ilmu yang dapat mengantarkan untuk mengetahui illat-illat tertib bagian al-Qur’an. 

   Definisi-definisi tentang munasabah di atas tampil dalam redaksi yang berbeda-beda, namun hakikatnya tidak jauh berbeda. Bila diteliti lebih jauh, kesamaan itu dapat mengacu pada tiga kata kunci yaitu: al-muqarabat (berdekatan), al-musyakalat (bermiripan), al-irtibat (bertalian) 

2. Macam – Macam Munasabah Al-Qur’an 

    Ditinjau dari segi materinya, munasabah dibagi kepada beberapa macam : 

a. Munasabah antara Satu Kalimat dengan Kalimat Sebelumnya dalam Satu Ayat 

    Munasabah jenis ini mencari hubungan atau kaitan antara satu kalimat dengan kalimat sebelumnya dalam satu ayat. Misalnya ayat berikut ini: 

1) Q.S. Al-Baqarah [2] 189: Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

 يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْاَهِلَّةِ ۗ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ۗ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِاَنْ تَأْتُوا الْبُيُوْتَ مِنْ ظُهُوْرِهَا وَلٰكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقٰىۚ وَأْتُوا الْبُيُوْتَ مِنْ اَبْوَابِهَا ۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ 

 “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, “Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji.” Dan bukanlah suatu kebajikan memasuki rumah dari belakangnya, tetapi kebajikan adalah (kebajikan) orang yang bertakwa. Masukilah rumah-rumah dari pintu-pintunya dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 189) 

   Ada dua pertanyaan yang mendasar tentang hubungan hukum antara bulan sabit dan ketetapan memasuki rumah. Menurut al-Zarkasyi, jawaban itu dapat dilihat dari berbagai aspek, di antaranya pertanyaan mereka tentang hikmah bulan sabit yang membesar (sempurna) dan mengecil (kurang) adalah maklum. Artinya, segala sesuatu yang dikerjakan Allah mengandung hikmah secara riil dan maslahat bagi hamba-hamba-Nya. Seharusnya mereka itu memperhatikan perbuatannya yang tidak baik kemudian dianggapnya baik. Dengan demikian, yang tidak relevan itu bukan bulan sabitnya tapi pertanyaan mereka. Oleh karena itu, menurut Shubhi al-Shalih, dua susunan kalimat ini saling berangkai dalam satu ayat dan kita harus menyingkap hubungan ini agar akhir ayat tidak menampakkan keterpisahan dari awal ayat. 

 2) Q.S. Al-Baqarah [2] 195: Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: 

 وَاَنْفِقُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلَا تُلْقُوْا بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَاَحْسِنُوْا ۛ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ 

 "Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena kesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (Q.S. Al-Baqarah 2: 195) 

   Apakah ada kaitan langsung antara perintah berinfak (Dan belanjakanlah (harta bendamu di jalan Allah) dengan larangan membinasakan diri (dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan), atau masing-masing bagian dari ayat tersebut berdiri sendiri? Kalau kita renungkan lebih mendalam tentu akan ditemukan kaitan logis antara dua bagian isi ayat tersebut. Apabila umat Islam karena kikir atau kurangnya kesadaran akan pentingnya peranserta aktif setiap orang dalam pendanaan semua amal usaha dan perjuangan umat tidak mau menyumbangkan sebagian harta bendanya untuk perjuangan, maka tentu saja perjuangan itu tidak akan berhasil. Apabila perjuangan tidak berhasil, dampak negatifnya juga akan dirasakan oleh umat itu sendiri. Umat Islam akan tetap miskin, tertinggal dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, kalah bersaing dengan umat-umat lain, dan pada akhirnya tidak tertutup kemungkinan mereka akan dijajah, sekalipun tidak lagi dalam bentuk penjajahan fisik, tapi ekonomi, politik dan budaya. Hal itu berarti umat Islam yang tidak mau berinfak sengaja menghancurkan diri mereka sendiri.  

b. Munasabah antara Satu Ayat dengan Ayat Sesudahnya 

Munasabah jenis ini mencari hubungan antara satu ayat dengan ayat sesudahnya. Diantara adalah: 

1) Q.S. Al-Isra’ [17] 1 dan 2: Allah SWT berfirman: سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ 

 “Mahasuci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya425) agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Al-Isra' [17]: 1)

 وَاٰتَيْنَا مُوْسَى الْكِتٰبَ وَجَعَلْنٰهُ هُدًى لِّبَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اَلَّا تَتَّخِذُوْا مِنْ دُوْنِيْ وَكِيْلًاۗ 

 “Kami memberi Musa Kitab (Taurat) dan menjadikannya sebagai petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman), “Janganlah kamu mengambil pelindung selain Aku.” (Al-Isra’ [17]: 2) 

   Apa hubungan antara peristiwa 'Isra' Nabi Muhammad SAW yang disebutkan pada ayat pertama dengan diberikannya kitab Taurah kepada Nabi Musa AS pada ayat yang kedua? Menurut Quraish Shihab, ayat pertama menyebutkan anugerah Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW Yang mengisra' kan beliau dalam waktu yang sangat singkat, sedangkan ayat kedua menyebutkan anugerah-Nya kepada Nabi Musa AS yang mengisra'kan beliau dari Mesir ke negeri yang diberkati pula yaitu Palestina tetapi memakan waktu yang lama. Penyebutan Nabi Musa juga mempunyai kaitan yang sangat jelas dengan peristiwa Isra' dan Mi'raj, karena beliau yang berulang-ulang mengusulkan agar Nabi Muhammad SAW memohon keringanan atas kewajiban shalat 50 kali sehari semalam. 

 2) Q.S. Ali ‘Imran [3] ayat 11 dan 10: Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

 كَدَأْبِ اٰلِ فِرْعَوْنَۙ وَالَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْۗ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَاۚ فَاَخَذَهُمُ اللّٰهُ بِذُنُوْبِهِمْ ۗ وَاللّٰهُ شَدِيْدُ الْعِقَابِ 

 “(Keadaan mereka) adalah sebagai keadaan kaum Fir‘aun dan orang-orang yang sebelumnya; mereka mendustakan ayat-ayat Kami” (Ali ‘Imran [3]: 11).

 اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَنْ تُغْنِيَ عَنْهُمْ اَمْوَالُهُمْ وَلَآ اَوْلَادُهُمْ مِّنَ اللّٰهِ شَيْـًٔا ۗوَاُولٰۤىِٕكَ هُمْ وَقُوْدُ النَّارِۗ 

 “Sesungguhnya orang-orang yang kufur, tidak akan berguna bagi mereka sedikit pun harta benda dan anak-anak mereka (untuk menyelamatkan diri) dari (azab) Allah. Mereka itulah bahan bakar api neraka.” (Āli ‘Imrān [3]:10) 

   Dalam munasabah tampak hubungan yang kuat antara ayat 11 surat Ali-‘Imran [3] dengan ayat 10 Surat Ali-‘Imran [3], sehingga ayat 11 itu dianggap sebagai bagian kelanjutan dari ayat 10. Dengan demikian, ayat 11 mengisi ayat 10 untuk mempertegas penjelasan makna yang terkandung di ayat 10. Kelanjutan ini memberi pengertian bahwa ayat 11 dan 10 adalah satu kesatuan dan melengkapi. 

c. Munasabah antara Kelompok Ayat dengan Kelompok Ayat Sebelumnya 

   Munasabah jenis ini mencari hubungan antara satu kelompok ayat dengan kelompok ayat berikutnya. Misalnya Surat Al-Baqarah ayat 1-20 tentang beberapa kategori manusia ditinjau dari segi keimanannya. Ayat 1-5 berbicara tentang orang-orang yang bertaqwa yaitu orang-orang yang memadukan dalam diri mereka aspek Iman, Islam dan Ihsan. Ayat berikutnya 6-7 berbicara tentang orang-orang kafir, yaitu orang yang lahir batin mengingkari Allah SWT. Ayat selanjutnya 8-20 berbicara tentang orang-orang munafiq, yang di luar mengaku beriman,tetapi di dalam mengingkari Allah SWT. 

d. Munasabah antara Awal Surat dengan Akhir Surat Sebelumnya 

    Munâsabah jenis ini mencari hubungan antara awal satu surat dengan akhir surat sebelumnya. 

1) Q.S. Al-fatihah [1] 7 dan Q.S. Al-Baqarah [2] 1 dan 2: Allah SWT berfirman: 

صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ ࣖ “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat.” (Al-Fātiḥah [1]:7)

 الۤمّۤ ۚ (1) ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْن(2) 

 “Alif Lam Mim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya; (ia merupakan) petunjuk bagi orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah [2]:1 dan 2)

    Munasabah antara kedua surat di atas terlihat oleh karena adanya manusia yang memohon hidayat jalan lurus kepada Tuhan. Permohonan itu kemudian dijelaskan/diperinci oleh surat al-Baqarah ayat 1-2 bahwa jalan yang lurus itu adalah al-Kitab (al-Quran). 

 2) Q.S. Al-Waqi’ah [56] 96 dan Q.S. Al-Hadid [57] 1: Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: 

 فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيْمِ 

 “Maka, bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha agung.” (Al-Wāqi‘ah [56]: 96) سَبَّحَ لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ 

 “Apa yang ada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah. Dialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Al-Ḥadīd [57]: 1) 

   Ayat akhir Surat Al-Wâqi'ah berisi perintah untuk bertasbih (Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Agung), sedangkan ayat pertama Surat Al-Hadîd menyatakan telah (Bertasbih kepada Allah semua yang berada di langit dan yang berada di bumi). Terlihat ada keserasian antara dua ayat tersebut. 

e. Munasabah antara Satu surat dengan Surat lainnya 

    Munasabah jenis ini mencari hubungan antara nama satu surat dengan nama satu surat sebelum dan sesudahnya, hubungan antara kandungan satu surat dengan surat berikutnya, hubungan antar akhir surat dengan awal surat berikutnya. Salah satu contohnya adalah munasabah antara Surat Al-Fâtihah dan Surat Al-Baqarah dari segi nama. Diantara isi penting Surat Al-Fâtihah adalah tentang Tauhid, baik dari segi rubûbiyah, mulkiyah maupun ilâhiyah-Nya. Dengan doktrin Tauhid, seseorang dilarang menuhankan apa dan siapa pun selain Allah SWT termasuk menuhankan Al-Baqarah sebagaimana yang dilakukan oleh Bani Israil di bawah inisiatif as-Samiri. Guna melakukan pembinaan dan mempertahankan Tauhid secara konsekuen diperlukan pembinaan dalam keluarga. Dan salah satu keluarga yang menjadi teladan adalah keluarga 'Imrân Ali 'Imrân. Salah satu sebab penting keberhasilan sebuah keluarga adalah peran kaum perempuan An-Nisa' terutama ibu. Sebuah keluarga tentu memerlukan kecukupan ekonomi terutama untuk makan dan minum. Makanan dan minuman yang dibutuhkan tentu saja makanan yang halal lagi baik dan bergizi seperti diisyaratkan dalam surat Al-Maidah yang berarti hidangan makanan. 

   Ditinjau dari segi sifatnya munasabah dibagi menjadi dua macam: 

a. Munasabah yang nyata (Dzahir al-irtibat), yaitu hubungan yang jelas, atau persesuaian antara ayat atau surat Al-Qur’an yang satu dengan yang lain tampak jelas dan kuat karena kaitan kalimat yang satu dengan yang lain erat sekali, sehingga kalimat yang satu tidak bisa menjadi kalimat sempurna, seperti surah Al- Isra ayat 1 dengan ayat 2:

 سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ 

 “Mahasuci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya425) agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Al-Isra’ [17]: 1) وَاٰتَيْنَا مُوْسَى الْكِتٰبَ وَجَعَلْنٰهُ هُدًى لِّبَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اَلَّا تَتَّخِذُوْا مِنْ دُوْنِيْ وَكِيْلًاۗ 

 “Kami memberi Musa Kitab (Taurat) dan menjadikannya sebagai petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman), “Janganlah kamu mengambil pelindung selain Aku.” (Al-Isra’ [17]: 2) 

   Hubungan antara kedua ayat ini tampak jelas mengenai diutusnya kedua orang nabi, gimana pada ayat pertama menjelaskan peristiwa isra' Nabi Muhammad SAW. Dan ayat kedua menjelaskan diturunkannya kitab taurat kepada Nabi Musa as. 

b. Munasabah yang tidak jelas (Khafiyyu al-Irtibath), yaitu samarnya hubungan antara ayat atau surat Al-Qur’an atau surat lain sehingga tidak tampak adanya hubungan keduanya, bahkan seolah-olah masing-masing ayat atau surat itu berdiri sendiri, baik karena ayat yang satu di atap kan kepada yang lain, seperti surah Al-Baqarah ayat 189 dengan ayat 190: Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

 يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْاَهِلَّةِ ۗ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ۗ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِاَنْ تَأْتُوا الْبُيُوْتَ مِنْ ظُهُوْرِهَا وَلٰكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقٰىۚ وَأْتُوا الْبُيُوْتَ مِنْ اَبْوَابِهَا ۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ 

 “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, “Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji.” Dan bukanlah suatu kebajikan memasuki rumah dari belakangnya, tetapi kebajikan adalah (kebajikan) orang yang bertakwa. Masukilah rumah-rumah dari pintu-pintunya dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 189) 

 وَقَاتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوْا ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ 

 “Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu dan jangan melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Baqarah [2]:190) 

3. Kedudukan munasabah dalam Penafsiran Al-Qur an 

    Kajian tentang asbabun nuzul sangat diperlukan dalam penafsiran Al-Qur’an. Mengetahui asbabun nuzul sangat membantu untuk mengetahui ayat Al-Qur’an serta mengetahui rahasia-rahasia yang dikandungnya. Begitu juga dengan kajian tentang munâsabah sangat diperlukan dalam penafsiran al-Qur’an untuk menunjukkan keserasian antara kalimat dengan kalimat dalam satu ayat, keserasian antara satu ayat dengan ayat berikutnya, bahkan juga keserasian antara satu surat dengan surat berikutnya. Tatkala menemukan ayat-ayat yang sepertinya tidak punya kaitan sama sekali, sebagian orang yang tidak mengerti munâsabah akan langsung mempertanyakan kenapa penyajian Al-Qur’an melompat-lompat dari satu masalah ke masalah lain, atau dari satu tema ke tema lain secara tidak sistematis. Setelah mengetahui munâsabah, tentu orang yang terburu-buru menilai seperti itu akan segera menarik pandangannya dan menyadari betapa Al-Qur’an tersusun dengan sangat serasi dan sistematis, tetapi tentu saja berbeda dengan sistematika buku-buku dan karya ilmiyah buatan manusia. Menurut al-Suyuti, ilmu munasabah adalah ilmu yang sangat penting dalam proses penafsiran al-Qur’an, namun hanya sedikit di antara para mufassir yang memberikan perhatiannya karena ilmu ini dinilai sangat memerlukan ketelitian dan kejelian bagi orang menafsirkan al-Qur’an. Di antara mufassir yang banyak memberikan perhatian terhadap ilmu munasabah adalah Imam Fakhruddin al-Razi. Menurut Al-Razi bahwa sebagian besar rahasia yang tersembunyi dari al-Qur’an tersimpan dalam persoalan urutan surah dan ayat serta kaitan antara satu dengan yang lainnya. Khusus tentang Surah al-Baqarah misalnya, al-Razi menyatakan bahwa siapa saja yang memperhatikan rahasia susunan ayat-ayat dalam surah ini akan mengetahui bahwa al-Qur’an, tidak hanya mukjizat dari segi kefasihan lafal-lafal dan kehebatan isinya, namun juga mukjizat dari segi susunan surah dan ayat-ayatnya. 

   Ada empat arti penting dari munâsabah sebagai salah satu metode dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur’an. Pertama, dapat mengembangkan bagian anggapan orang bahwa tema-tema al-Qur’an kehilangan relevansi antara satu bagian dan bagian yang lainnya. 

   Kedua, dari sisi Balâghah, korelasi antara ayat dengan ayat menjadikan ayat-ayat Al-Qur'an utuh dan indah. Bila dipenggal maka keserasian, kehalusan, dan keindahan kalimat yang teruntai didalam setiap ayat akan menjadi hilang. 

   Ketiga, ilmu munasabah dapat memudahkan orang dalam memahami makna ayat atau surat. Tanpa memahami kaitan antara satu kalimat dengan kalimat berikutnya dalam satu ayat, atau kaitan antara satu ayat dengan ayat berikutnya, bisa saja seorang yang membaca Al-Qur'an tidak dapat menangkap keutuhan makna, bahkan dapat menimbulkan kesalahan dalam pemaknaan seperti yang sudah dijelaskan dalam bagian sebelumnya.

   Keempat, ilmu munasabah sangat membantu seorang mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an, sehingga dapat menjelaskan keutuhan makna ayat atau kelompok ayat. Juga dapat menjelaskan keserasian antara kalimat dengan kalimat dan ayat dengan ayat, bahkan antara surat dengan surat. Ilmu munâsabah akan sangat membantu terutama dalam istinbâth hukum. 

C. PENUTUP 

 Munasabah adalah suatu pembahasan atau materi didalam ilmu Ulumul Qur’an yang sangat penting dalam penafsiran al-Qur’an. Munasabah adalah ilmu tentang keterkaitan, kedekatan, kemiripan, dan pertalian antara hubungan satu kalimat dengan kalimat lainnya dalam satu ayat, atau antara satu ayat dengan ayat sesudahnya, atau antara satu kelompok ayat dengan kelompok ayat, atau antara awal surat dengan akhir surat, atau antara satu surat dengan surat lainnya. 

   Secara garis besar ilmu ini terbagi dua pembagian yaitu ditinjau dari segi materinya yang memiliki bagian lagi seperti yang sudah disebutkan diatas dan ditinjau dari segi sifatnya yaitu munasabah secara nyata (Dzahir al-irtibat) dan secara tidak jelas (Khafiyyu al-Irtibath). Melalui munasabah, kita dapat mengetahui arti penting atau kegunaan dari munasabah, (1) Keindahan dari sisi balaghah, (2) Memudahkan dalam memahami Al-Qur’an, dan (3) mudahkan dalam penafsiran. 

DAFTAR PUSTAKA 

   Maulidia, Mega Nur. 2016. Makalah: Ilmu Munasabah. Madura: Universitas 

   Trunojoyo Madura Fitrawansah. 2019. Makalah: Munasabah. Makassar: Universitas Islam Negri Alauddin Makassar 

   Baidan, Nashruddin. 2005. Wawasan Baru Ilmu Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar ni 

   HM, Sahid. 2016. Ulum Al-Qur’an: Memahami Otentifikasi Al-Qur’an. Surabaya: Pustaka Idea 

   Ilyas, Yunahar. 2013. Kuliah Ulumul Qur’an. Yogyakarta: ITQAN Publishing 

   Ritonga, Asnil Aidah. 2009. Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Bandung: Citapustaka Media Perintis 

   Iman, Fauzul. 1997. Munasabah Al-Qur’an. Jurnal Al-Qalam. Vol. XII No. 63 

Syafril. 2018. Asbabun Nuzul: Kajian Historis Turunnya Ayat Al-Qur’an, Jurnal Syahadah, Vol. VI, No. 2

Posting Komentar

0 Komentar