Hukum Menyentuh Kemaluan dan Hal-Hal Terkait dalam
Perspektif Mazhab Fikih
Dr. H. Najamuddin, Lc.,MA
Wudu merupakan
syarat penting dalam ibadah umat Islam, sehingga pembatalannya menjadi
pembahasan krusial. Salah satu topik yang sering diperdebatkan adalah hukum
menyentuh kemaluan dan hal-hal terkait. Para ulama mazhab memiliki pandangan
berbeda tergantung pada kondisi, cara sentuhan, dan objek yang disentuh.
Perbedaan ini mencerminkan keragaman interpretasi terhadap dalil syar’i,
seperti hadis Nabi Muhammad SAW. Artikel ini akan mengulas pendapat empat
mazhab utama (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali) serta faktor lain yang
memengaruhi status wudu, seperti tidur, kontak kulit, dan aktivitas
tertentu.
Menyentuh
kemaluan sendiri menjadi pembahasan utama. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa
sentuhan dengan tangan—baik telapak atau punggung—tidak membatalkan wudu secara
mutlak. Berbeda dengan Syafi’i yang membatalkan wudu jika sentuhan menggunakan
telapak tangan tanpa penghalang, terlepas dari ada atau tidaknya syahwat.
Mazhab Hambali lebih ketat: sentuhan dengan bagian tangan mana pun dianggap
membatalkan. Sementara Maliki membedakan berdasarkan niat; jika disertai
syahwat, wudu batal, sebaliknya tidak. Perbedaan ini berakar pada pemahaman
terhadap hadis yang menyebutkan bahwa “siapa yang menyentuh kemaluannya,
hendaklah berwudu” (HR Ahmad), dengan variasi penafsiran tentang makna
“menyentuh”.
Menyentuh
kemaluan orang lain menimbulkan perbedaan lebih kompleks. Syafi’i dan Hambali
sepakat bahwa hal ini tidak membatalkan wudu, baik bagi yang menyentuh maupun
disentuh. Namun, Maliki membuat pengecualian jika yang disentuh adalah anak
kecil, sementara Hanafi tidak membedakan usia. Untuk dubur, Hanafi dan Maliki
tidak membatalkan wudu, sedangkan Syafi’i dan Hambali berpendapat sebaliknya.
Menariknya, semua mazhab sepakat bahwa menyentuh biji pelir (testis) tidak
membatalkan wudu selama tidak ada penghalang. Hal ini menunjukkan bahwa letak
dan objek sentuhan turut memengaruhi hukum.
Kontak kulit
antara laki-laki dan perempuan juga diperselisihkan. Syafi’i menyatakan wudu
batal jika menyentuh non-mahram tanpa penghalang. Maliki dan Hambali
mengaitkannya dengan syahwat, sementara Hanafi hanya membatalkan jika terjadi
ketegangan pada zakar. Dalam hal tidur, semua mazhab sepakat tidur berbaring
membatalkan wudu, tetapi berbeda pada posisi tertentu. Misalnya, Syafi’i (qaul
jadid) membatalkan wudu jika tidur di luar posisi duduk stabil, sementara
Hanafi tidak selama tidak rebah. Perbedaan ini menunjukkan variasi dalam
menilai tingkat “kelalaian” yang memicu hadas.
Selain
sentuhan kemaluan, faktor lain seperti tertawa terbahak dalam shalat (Hanafi:
batal wudu), memakan daging unta (Hambali: batal), atau memandikan jenazah
(Hambali: batal) juga memengaruhi status wudu. Istinjak menjadi kewajiban
menurut Syafi’i, Maliki, dan Hambali, sementara Hanafi menganggapnya sunah.
Perbedaan ini mengajarkan umat untuk menghormati keragaman pendapat dan
konsisten pada mazhab yang diikuti. Penting bagi setiap muslim untuk
mempelajari dasar hukum dan berkonsultasi dengan ulama agar ibadah tetap sah
sesuai tuntunan syariat. Wa Allahu A’lam
0 Komentar