RASM AL-QUR'AN | Aldy Syahputra

RASM Al – QUR’AN

Oleh : Aldy Syahputra


Pendahuluan

Rasm berasal dari kata rasama yarsumu, berarti menggambar atau melukis.istilah  rasm dalam Al-Qur’an yang digunakan oleh usman bin affan dan sahabat – sahabatnya ketika menulis dan membukukan al-Qur’an lalu , pola penulisan itu menjadi gaya penulisan standar dalam pengandaan mushaf yang popular dengan nama Rasm utsmani .

 Rasm Qur’an merupakan salah satu bagian disiplin ilmu al-Qur’an yang di dalamnya mempelajari tentang penulisan mushaf al-Qur’an yang dilakukan dengan cara khusus, baik dalam penulisan lafal-lafalnya maupun bentuk-bentuk huruf yang digunakan.

Tulisan al-Qur’an Utsmani adalah tulisan yang dinisbatkan kepada khalifah Utsman bin Affan ra. (Khalifah ke III). Istilah ini muncul setelah rampungnya penyalinan al-Qur’an yang dilakukan oleh team yang dibentuk oleh Ustman pada tahun 25 H. Oleh para ulama cara penulisan ini biasanya diistilahkan dengan Rasmul ‘Utsmani. 

Para ulama berbeda pendapat tentang penulisan ini, diantara ada yang berpendapat bahwa tulisan tersebut bersifat taufiqi (ketetapan langsung dari Rasulullah), mereka berlandaskan riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah menerangkan kepada salah satu kuttab (juru tulis wahyu) yaitu Mu’awiyah tentang tatacara penulisan wahyu. Diantara ulama yang berpegang teguh pada pendapat ini adalah Ibnul al-Mubarak dalam kitabnya al-Ibriz yang menukil perkataan gurunya Abdul ‘Aziz al-Dibagh, bahwa tulisan yang terdapat pada Rasm ‘Utsmani semuanya memiliki rahasia dan tidak ada satupun sahabat yang memiliki andil, seperti halnya diketahui bahwa al-Qur’an adalah mu’jizat begitupula tulisannya”. Namun disisi lain, ada beberapa ulamayang mengatakan bahwa, Rasmul Ustmani bukanlah taufiqi, tapi hanyalah tatacara penulisan al-Qur’an saja.


Pembahasan

Pengertian  Rasm Al- Qur’an

Rasm berasal dari kata rasama yarsamu, berarti menggambar atau melukis. Yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah melukis kalimat dengan merangkai huruf-huruf  hijaiyah. Dengan kata lain, Ilmu Rasm Al-Qur’an adalah ilmu yang mempelajari tentang penulisan mushaf Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara khusus, baik dalam penulisan lafal-lafalnya maupun bentuk-bentuk huruf yang digunakannya.

Proses penulisan Al-Qur’an telah dimulai semenjak zaman Nabi. Kerinduan Nabi terhadap kedatangan wahyu tidak saja diekspresikan dalam bentuk hafalan, tetapi juga dalam bentuk tulisan. Nabi sendiri memiliki sekretaris pribadi yang khusus bertugas mencatat wahyu, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abban bin Sa’dan, Khalid, Sa’id, Khalid bin Walid, dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi masih dilakukan secara sederhana, yaitu di atas lontaran kayu, pelepah korma, tulang, dan batu. Kegiatan tulis menulis Al-Qur’an pada masa Nabi, di samping dilakukan para sekretaris Nabi, juga dilakukan para sahabat lainnya. Kegiatannya itu didasarkan pada hadits Nabi yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim:

“janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dari, kecuali Al-Qur’an. Barang siapa telah menulis dariku selain Al-Qur’an, Hendaknya ia menghapusnya. Ceritakan saja apa yang diterima dariku, itu tidak mengapa. Siapa yang sengaja berdusta atas namaku, niscaya dia akan menduduki posisinya di neraka ‘ (HR MUSLIM).

Uraian di atas memperlihatkan bahwa penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi tidak ditulis pada satu tempat, melainkan pada tempat yang terpisahpisah. Hal ini bertolak dari dua alasan berikut ini:

Proses penurunan Al-Qur’an masih berlanjut sehingga ada kemungkinan ayat yang turun belakangan “menghapus” redaksi dan ketentuan hukum ayat yang sudah turun terlebih dulu.

 Penertiban ayat-ayat dan surat-surat Al-Qur’an tidak bertolak dari kronologi turunnya, tetapi bertolak dari keserasian antara satu ayat dengan ayat lainnya, atau antara ayat atau surat yang turun belakangan ditulis lebih dahulu daripada ayat atau surat yang turun terlebih dahulu.

Pada dasarnya, seluruh ayat Al-Qur’an telah ditulis pada zaman Nabi Nabi Muhammad Saw.. Hanya saja, surat dan ayat-ayatnya masih terpencar-pencar. Orang yang pertama kali menyusunnya dalam satu mushaf adalah Abu Bakar ash-Shiddiq. Abu Badillah al-Muhasibi berkata dalam kitabnya Fahm as-Sunan, “Penulisan Al-Qur’an bukanlah sesuatu yang baru sebab Rasulullah sendiri pernah memerintahkannya. Hanya saja, pada saat itu tulisan Al-Qur’an berpencar-pencar pada pelapah kurma, batu halus, kulit, tulang unta, dan bantalan dari kayu. Abu Bakar-lah yang kemudian berinisiatif menghimpun semuanya.” Usaha pengumpulan tulisan Al-Qur’an yang dilakukan Abu Bakar terjadi setelah Perang Yamamah pada tahun 12 H. Peperangan yang bertujuan menumpas para pemurtad yang merupakan pengikut Musailamah al-Kadzdzab itu telah menyebabkan 700 orang sahabat penghafal Al-Qur’an syahid. Hal ini menyebabkan terancamnya kelestarian Al-Qur’an. Umar lalu datang menemui khalifah pertama Abu Bakar agar menginstruksikan pengumpulan Al-Qur’an dari berbagai sumber, baik yang tersimpan di dalam hafalan maupun tulisan.

Dalam hadist Nabi yang diriwayatkan al- bukhari, disebutkan bahwa penetapan bentuk al-Qur’an dikarenakan adanya perbedaan serius dalam qira’at (cara membaca) Al-Qur’an yang ada di dalam salinan-salinan Al-Qur’an pada masa Utsman bin Affan. Diberitakan kepada kita, ketika pengiriman ekspedisi militer ke Armenia dan Azerbaijan, timbul perselisihan tentang bacaan Al-Qur’an di kalangan tentara muslim, yang sebagiannya direkrut dari Syria dan sebagian lagi dari Irak. Perselisihan ini cukup serius hingga mendorong pimpinan tentara muslim Hudzaifah untuk melaporkannya kepada khalifah Utsman (664-656) dan mendesak beliau untuk mengambil langkah guna mengakhiri adanya perbedaan bacaan tersebut, khalifah lalu berembuk dengan para sahabat senior Nabi, lalu menugaskan Zaid bin Tsabit mengumpulkan Al-Qur’an. Bersama Zaid bin Tsabit, ikut bergabung tiap anggota keluarga Mekah terpandang yaitu Abdullah bin Zubair, Sa’ id bin al-Ash, dan Abd ar-Rahman bin al-Harits.

Satu prinsip yang harus mereka ikuti dalam menjalankan tugas ini adalah mengikuti dialek Quraisy-suku dari mana Nabi berasal apabila terdapat perbedaan dialek. Keseluruhan Al-Qur’an direvisi dengan cermat dan dibandingkan dengan suhuf yang berada di tangan Hafshah serta mengembalikan kepadanya setelah penggarapan resensi Al-Qur’an selesai digarap. Sejak saat itu, telah diterapkan suatu naskah otoritatif.

Al-Qur’an, yang sering juga disebut mushaf Utsmani. Sejumlah salinan dibuat dan dibagikan ke pusat-pusat utama daerah Islam. Inisiatif Utsman untuk menyatukan penulisan Al-Qur’an ini sangat beralasan. Menurut beberapa riwayat, perbedaan cara membaca Al-Qur’an pada saat itu sudah berada pada titik yang menyebabkan umat Islam saling menyalahkan dan memicu terjadinya perselisihan di antara mereka. Sebuah riwayat menjelaskan bahwa perbedaan cara membaca Al-Qur’an ini terlihat pada waktu pertemuan pasukan perang Islam yang datang dari Irak dau Syria. Mereka yang datang dari Syam (Syria) mengikuti Qira’at Ubay bin Ka’ab, sedangkan mereka yang berasal dari Irak membacanya dengan qira’at Ibnu Mas’ud. Tak jarang pula, ada di antara mereka yang mengikuti qira’at Abu Musa al-Asy’ari. Masingmasing pihak merasa bahwa qira’at yang dimilikinya lebih baik. 

Pada zaman Nabi, Al-Qur’an masih ditulis dengan menggunakan khat Arab dalam bentuk yang sangat sederhana, yaitu khat  Nibthi yang berasal dari bangsa Ambar. Bentuk tulisan ini sangat berbeda dengan khat Arab sekarang. Satu kata ditulis dengan menggunakan huruf terpisah-pisah. Di samping itu, terdapat pula kata-kata Al-Qur’an yang berbeda antara tulisan dan pengucapannya, seperti kata dan pada perkembangan selanjutnya, setelah memisahkan diri dari pengaruh khat Nibthi, khat Arab tampil dalam dua bentuk berikut :

Khat al-jaf yang lebih dikenal dengan khat al-madani (tulisan ala Madinah) dan banyak dipergunakan oleh penduduk Madinah dikenal pula dengan khat yang memiliki sudut (dzi azzawaya). 

Khat al-ayin yang digunakan dalam persoalan-persoalan keseharian, dan dikenal dengan khat makki dan banyak digunakan penduduk Mekah. Abd al-Aziz Marzuq menegaskan bahwa pada zaman Nabi para sahabat lebih banyak menggunakan khat makki ketika menulis ayat Al-Qur’an karena lebih mudah ditulis, sedangkan surat-surat yang dikirim kepada para raja ditulis dengan menggunakan dua macam khat itu.


Kaedah Rasm Al-Qur’an

Sebelum Islam, bangsa Arab dalam tulis menulis menggunakan khot Hijri. Setelah datang Islam dinamakan Khot Kufi. Sejauh itu Bahasa dapat terpelihara dari kerusakan-kerusakan, karena ada kemampuan berbahasa yang tertanam dalam jiwa mereka. 

Pada masa khalifah Utsman bin Affan, umat Islam telah tersebar ke berbagai penjuru dunia sehingga pemeluk agama Islam bukan hanya orang-orang Arab saja. Pada saat itu muncul perdebatan tentang bacaan Al-Qur’an karena masing-masing pihakmempunyai dialek yang berbeda. Masing-masing pihak merasa bahwa bacaan yang di gunakannya adalah yang terbaik.

Untuk mengantisipasi kesalahan dan kerusakan serta untuk memudahkan membaca al-Qur`an bagi orang-orang awam, maka khalifah Utsman bin Affan membentuk panitia untuk menyusun penulisan dan memperbanyak naskah al-Qur`an. Mushaf itu ditulis dengan kaidah-kaidah tertentu. Para ulama meringkas kaidah-kaidah itu menjadi 6 (enam) istilah, yaitu:

Al-hadzf (membuang, menghilangkan atau meniadakan huruf). Contohnya menghilangkan huruf alif pada ya’ al-nida  dari ha’ al-tanbih pada lafazh jalalah  dan dari kata na.

Al-Jiyadah (penambahan), seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang mempunyai hukum jamak  dan menambah alif setelah hamzah marsumah (hamzah yang terletak di atas tulisan wawu .

Al-Hamzah, salah satu kaidahnya bahwa apabila hamzah berharkat sukun, ditulis dengan huruf ber-harakat yang sebelumnya, contoh “i’dzan dan “u’timin”.

Badal (Menggantikan huruf dengan huruf lain). Contohnya huruf alif yang ditulis dengan ya’ pada kata-kata ila, ‘ala, anna.

Washal dan fashl (penyambungan dan pemisahan). Contohnya kata yang bersambung dengan ditulis bersambung dengan menghilangkan nun,  sehingga menjadi mimman, bukan min man.

Kata yang dapat dibaca dua bunyi, satu kata yang dapat dibaca dua bunyi penulisannya disesuaikan dengan salah satu bunyinya. Atau ayat yang mempunyai 2 (dua) qiraat yang berbeda. Misalnya , surat al-Fatihah (1) ayat 4 dan al-Baqarah (2) ayat 9. Pada ayat pertama, kata “maaliki” dibaca “maliki”, dan kata “yakhda’una” bisa dibaca yakhdu’una, atau bisa pula dibaca yukhadi’una.

Pendapat Ulama Tentang Rasm Al – Qur’an

Para ulama telah berpendapat mengenai status rasm al-Qur’an (tata cara penulisan al-Qur’an) :

Sebagian dari mereka berpendapat bahwa Rasm Utsmani itu bersifat taufiqi (yakni bukan produk manusia, tetapi sesuatu yang ditetapkan berdasarkan wahyu Allah yang Nabi sendiri tidak mempunyai otoritas untuk menyangkalnya) yakni bukan produk budaya manusia yang wajib diikuti siapa saja ketika menulis al-Qur’an. Mereka bahkan sampai pada tingkat menyakralkannya. Untuk pendapat ini, mereka merujuk pada sebuah riwayat yang menginformasikan bahwa Nabi pernah berpesan kepada Mu’awiyah, salah seorang sekretarisnya yang artinya “letakkanlah tinta. Pegang pena baik – baik. Luruskan huruf ba’. Bedakan huruf sin. Jangan butakan huruf mim. Buat baguslah (tulisan)Allah. Panjangkan (tulisan) al-rahman dan buatlah bagus (tulisan) al-rahim. Lalu , letakkanlah penamu di atas telinga kirimu karena itu akan membuatmu lebih ingat.

Sebagian besar ulama berpendapat bahwa rasm utsmani bukan taufiqi, tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan yang disetujui ‘Utsman dan diterima umat, sehingga wajib diikuti dan ditaati siapa pun yang menulis al-Qur’an tidak ada yang boleh menyalahinya.10 Banyak ulama terkemuka yang menyatakan perlunya konsistensi menggunakan rasm ‘utsmani. Asyhab bercerita bahwa ketika ditanya tentang penulisan al-Qur’an, apakah perlu menulisnya seperti yang dipakai banyak orang sekarang, Malik menjawab.

 “ Saya tidak berpendapat demikian, seseorang hendaklah menulisnya sesuai dengan tulisan pertama.” Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata.

Artinya: “Haram hukumnya menyalahi khath mushaf ‘utsmani dalam soal wawu,alif, ya, atau huruf lainya.

Sebagian dari mereka berpendapat bahwa Rasm ‘Utsmani bukanlah tauqifi. Tidak ada halangan untuk menyalahinya tatkala suatu generasi sepakat menggunakan cara tertentu untuk menulis al-Qur’an yang notabene berlainan dengan rasm ‘Utsmani. Dalam hal ini, Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani berkata : adapun tulisan, sedikit pun Allah tidak mewajibkan kepada umat. Allah tidak mewajibkan juru tulis al-Qur’an dan kaligrafer mushaf suatu bentuk tertentu dan mewajibkan mereka meninggalkan jenis tulisan lainnya. Sebab keharusan untuk menerapkan bentuk tertentu harus ditetapkan berdasarkan al-Qur’an atau Hadis. Padahal tidak ada di dalam nash al-Qur’an, tidak ada juga tersirat dari suatu ( mafhum) nya yang mengatakan bahwa rasm dan dhabith al-Qur’an hanya dibenarkan dengan cara tertentu dan ketetapan tertentu yang boleh dilanggar, tidak juga di dalam sunnah yang mewajibkan dan menunjukkan yang demikian. Dan tidak pula ditunjukkan qiyas syar’i. Bahkan, sunnah menunjukkan bolehnya menuliskannya (mushaf) dengan cara bagaimana saja yang mudah. Sebab Rasulullah dahulu menyuruh menuliskannya tanpa menjelaskan kepada mereka bentuk (tulisan) tertentu. 

Oleh karena itu, telah terjadi perbedaan khath mushaf (yang ada). Ada di antara mereka yang menulis kalimat berdasarkan makhraj lafal dan ada pula yang menambah dan menguranginya berdasarkan pengetahuannya bahwa rasm ‘utsmani hanyalah istilah semata. jelasnya siapa saja mengatakan bahwa siapa saja wajib mengikuti cara penulisan tertentu ketika menulis al-Qur’an, hendaklah ia mendukungnya dengan berbagai argumentasi dan kami bersiap membantahnya.

 Berkaitan dengan tiga pendapat di atas, Al-Qaththan memilih pendapat kedua karena lebih memungkinkan untuk memelihara al-Qur’an dari perubahan dan penggantian hurufnya. Seandainya setiap masa diperbolehkan menulis al-Qur’an sesuai dengan tren tulisan pada masanya, menurutnya perubahan tulisan al-Qur’an terbuka lebar pada setiap masa. padahal, setiap kurun dan waktu memiliki tren tulisan yang berbeda-beda.

Mengomentari pendapat Al-Baqilani di atas, Al-Qaththan menegaskan bahwa perbedaan khath pada mushaf-mushaf yang ada merupakan satu hal, dan cara menulis huruf merupakan hal lain. Jika yang pertama berkaitan dengan bentuk huruf, sedangkan yang kedua berkaitan dengan cara penulisan huruf. Untuk memperkuat pendapatnya, Al-Qaththan mengutif ucapan Al-Baihaqi di dalam kitab Syu’b Al-iman. “siapa saja yang hendak menulis mushaf, handaknya memerhatikan cara orang-orang yang pertama kalinya menulisnya. Janganlah berbeda dengannya. Tidak boleh pula mengubah sedikitpun apa-apa ucapan dan kebenarannya lebih dipercaya, serta lebih dapat memegang amanat daripada kita. Jangan ada diantara kita yang merasa dapat menyamai mereka.


Penutup

Rasm berasal dari kata rasama yarsamu, berarti menggambar atau melukis. Yang dimaksud adalah melukis kalimat dengan merangkai huruf-huruf hijaiyah. Dengan kata lain, Ilmu Rasm Al-Qur’an adalah ilmu yang mempelajari tentang penulisan mushaf Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara khusus, baik dalam penulisan lafal-lafalnya maupun bentuk-bentuk huruf yang digunakanya.

Pada zaman rasulullah al-Qur’an menggunakan khat Arab yaitu khat Nibthi. Selanjutnya berkembangnya zaman memisahkan dari pengaruh khat nibhi dan khat arab terbagi menjadi dua bentuk yaitu Khat al – Jaf (tulisan ala madinah ) dan Khat al – ayyin (tulisan ala mekkah ).

Para ulama meringkas kaidah-kaidah rasm al-Qur’an menjadi 6 (enam) istilah, yaitu: Al-hadzf (membuang, menghilangkan atau meniadakan huruf),Al-Jiyadah (penambahan)  Badal (Menggantikan huruf dengan huruf lain)  Washal dan fashl (penyambungan dan pemisahan) Al-Hamzah ( Hamzah berharkat sukun ) dan kata kata yang dibaca dua bunyi. 


FAFTAR PUSTAKA


Ajahari, (2018). Ulumul Qur’an (Ilmu-Ilmu Al-Qur’an). Sleman:Aswaja Pressindo.   

Syafril.(2018). Asbabun Nuzul:Kajian Historis Turunya Ayat Al-Qur’an,  Jurnal Syahadah Vol.VI. No.2.

Mukarramah, Oom, (2013). Ulumul Qur’an. Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada.

Posting Komentar

0 Komentar