HIKMAH SUMPAH DI DALAM AL-QUR'AN

 HIKMAH SUMPAH DI DALAM AL-QUR’AN

Oleh :Mirnawati

Nim: 602201010020


Di dalam buku karangan Prof. Dr. Nashrudin Baidan yang berjudul wawasan ilmu tafsir di sana dijelaskan sumpah dalam Al-Qur’an perlu di catat di sini, bahwa Allah dalam bersumpah tak pernah memakai lafal حَلَفَ, melainkan senantiasa memakai lafal atau kata kerja أَقْسَمَ atau cukup dengan huruf (adat) qasam tanpa menyebut lafal أَقْسَمَ.

Jika diamati lebih jauh, ternyata lafal حَلَفَ berbeda konotasinya dari أَقْسَمَ sebab lafal حَلَفَ tidak menjamin bahwa si pelaku sumpah (muqsim) berada diatas kebenaran, boleh jadi ia berbohong seperti diisyaratkan Allah dalam ayat 56 dari At-Taubah :

وَيَحْلِفُوْنَ بِاللّٰهِ اِنَّهُمْ لَمِنْكُمْۗ وَمَا هُمْ مِّنْكُمْ وَلٰكِنَّهُمْ قَوْمٌ يَّفْرَقُوْنَ

Artinya : “dan mereka (orang-orang munnafik) bersumpah dengan nama Allah bahwa sesungguhnya mereka termasuk golonganmu, padahal mereka bukan golonganmu, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang sangat takut kepadamu”  (Q.S At-Taubah [9] : 56).

Contoh lain seperti terdapat pada ayat 89 dari Al-Maidah:

                                              ذٰلِكَ كَفَّارَةُ اَيْمَانِكُمْ اِذَا حَلَفْتُمْ 

Artinya: “itulah kifarat (tebusan) sumpahmu apabila kamu bersumpah (kemudian kamu langgari)”. ( Q.S Al-Ma'idah [5] : 89).

Dari kedua ayat di atas tampak jelas dalam kedua ayat itu lafal حَلَفَ dipakai untuk menggambarkan suatu sumpah yang boleh jadi si pelakunya (muqsim) berbohong seperti pada ayat pertama. Atau sumpah tersebut dilanggarnya seperti pada ayat kedua.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bersumpah dengan حَلَفَ belum tentu si pelakunya (muqsam) berada diatas kebenaran. Tak mustahil dia berpura-pura agar orang lain percaya maka dia bersumpah. Di sinilah terletak antara lain perbedaan konotasi dua lafal sumpah itu, tidak salah bila dikatakan bahwa tidak digunakan nya lafal حَلَفَ itu untuk bersumpah oleh Allah dalam Al-Qur’an menjadi salah satu indikasi bahwa semua sumpah yang terdapat dalam kitab suci itu adalah benar, tidak berpura-pura apalagi bohong. Maha suci Allah dari semua itu.

Dari uraian-uraian yang di kemukakan di bagian terdahulu tampak dua hal yang dijadikan Allah untuk bersumpah,, yaitu diri-Nya sendiri dan atau makhluk-Nya, maka itu adalah untuk menunjukkan keagungan dan kekuasaan-Nya. Sementara jika Dia bersumpah dengan sebagian makhluk-Nya, tulis ibnu Qoyyim, itu menunjukkan bahwa makhluk tersebut merupakan salah satu di antara ayat-ayat (tanda) kebesaran-Nya.

Apa yang dinyatakan oleh Ibnu Al-Qayyim itu ada benarnya karena jika diamati benda-benda atau sesuatu yang dijadikan media untuk bersumpah oleh Allah adalah yang mempunyai peranan yang besar dalam kehidupan. Dengan demikian, terasa sekali bahwa Allah maha besar dan maha tau segala sesuatu serta maha kuasa. Contoh-contoh yang telah dikemukakan di atas seperti Allah bersumpah dengan masa, pohon tin, Zaitun, Bukit Thursinina, Al-Qur’an dan lain-lain, 

Juga dijumpai Tuhan bersumpah dengan memakai kata yang berarti “Tidak” sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Mengapa Allah memakai kata tersebut? Jika diamati dengan seksama, ternyata pemakaian kata itu mengandung makna yang mendalam seperti dalam surah Al- Balad ayat pertama (لَآ اُقْسِمُ بِهٰذَا الْبَلَدِۙ ). menurut Quraish Shihab di dalam bukunya yaitu “tafsir Al-Amanah (surah Al-Balad)”  ada tiga kemungkinan terjemahan ayat tersebut:

“tidak... aku bersumpah dengan negeri/kota ini;

“aku tidak bersumpah dengan negeri /kota ini;

“aku benar-benar bersumpah dengan negeri/kota ini;

Apabila diamati lebih jauh perbedaan terjemahan itu, maka tampak kepada kita bahwa terjemahan pertama mengisyaratkan bahwa lafal لَا dalam ayat itu mengandung arti nafi (menidakkan) berita sebelumnya dalam surah Al- Fajr tentang azab yang akan ditimpakan kepada orang kafir pada hari kiamat. Sehingga seakan-akan ayat tersebut mengandung makna, “tidak, bukan sebagaimana yang kalian anggap bahwa azab pada hari kiamat itu tak akan datang, tidak, akan bersumpah dengan menyebut negeri itu.” Sedangkan pada terjemahan kedua lafal لَا di pahami, sebagai menafikan kalimat seandainya. Dalam hal ini, tulis Quraish Shihab lagi, sama halnya dengan seseorang menasehati anaknya dengan berkata “Rasanya saya tidak perlu berpesan kepadamu, untuk memperhatikan orang tuamu” 

Apabila terjemahan ketiga berangkat dari prinsip bahwa lafal لَا tersebut ialah za’idah (tambahan) untuk penguat arti karenanya lafal لَا itu tidak diterjemahkan, tapi cukup diberikan penekanan arti seperti “aku benar-benar bersumpah” sebagaimana telah disebut. Pendapat ketiga ini lebih dekat kepada maksud ayat pertama dari surah itu karena didukung oleh ayat ketiga dari surah At-Tin yang berbunyi وَهٰذَا الْبَلَدِ الْاَمِيْنِۙ (Demi negeri yang aman /mekkah).

Setelah memahami dan memperhatikan pembahasan sumpah dalam Al-Qur’an, maka tergambar dalam benak kita bahwa seorang muslim apalagi mufasir perlu sekali memahami sumpah-sumpah yang terdapat dalam Al-Qur’an secara baik agar tidak timbul anggapan yang keliru terhadap kalam suci itu. Meskipun unsur atau rukun sumpah dalam Al-Qur’an tak berbeda dari sumpah yang dilakukan manusia, namun tujuan qasam dalam Al-Qur’an berbeda secara substansi dari sumpah yang dilakukan manusia. Selain memberikan penegasan tentang pentingnya isi berita yang memakai kalimat sumpah dalam Al-Qur’an dalam kalimat itu juga tersirat bahwa muqsam bih mempunyai pernan yang amat penting dan menentukan dalam kehidupan umat manusia. Konotasi semacam ini tak dijumpai dalam sumpah yang dilakukan oleh manusia 

والله أعلام بشواب

Posting Komentar

0 Komentar